Saturday, February 24, 2007

BUNAKEN

Pengantar dan Ucapan Terima Kasih

Bunaken adalah nama sebuah pulau yang terletak di mulut Teluk Manado, yang berdekatan dengan Tanjung Pisok. Pulau ini sejak awal 1980-an menjadi magnet bagi para penyelam wisata bawah laut karena keanekaragaman biota dan topografi terumbu karang yang terjal. Lambat laun, nama Bunaken diambil untuk kawasan konservasi taman nasional laut di Sulawesi Utara.

Lokasi taman nasional ini meliputi bagian utara Pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage, Nain dan sekitar perairan Meras hingga Tiwoho di Pulau Sulawesi. Di bagian selatan mulai dari pantai Poopoh hingga Wawontulap. Setiap lokasi ini memiliki keunikan dan keunggulan sendiri. Awalnya, kawasan ini berada di Kota Madya Manado dan Kabupaten Minahasa. Seiring dengan perkembangan dan dampak otonomi daerah, kawasan ini telah meliputi, Kota Madya Manado, Kabupaten Minahasa (induk), Minahasa Selatan dan Minahasa Utara.

Bahan-bahan yang ada dalam buku ini telah dikumpulkan sejak tahun 1991. Pengalaman belajar di lapangan, khususnya di kawasan Bunaken dan sekitarnya dilakukan tahun 1993-1996, dilanjutkan dengan studi etnofarmokologi tentang manfaat mangrove untuk pengobatan.

Berikut ini, penjelasan setiap bab dalam buku ini:

Prolog, Ikan dan Konservasi, menggambarkan tentang pentingnya kawasan perlindungan laut yang melibatkan masyarakat.

Bab 1, Proyek Percontohan, menjelaskan tentang awal kerjasama Departemen Kehutanan-Bappenas dengan USAID dalam proyek pengelolaan sumberdaya alam.

Bab 2, Sejarah Kawasan, menguraikan kehidupan penduduk di kawasan TN Bunaken sejak abad 15 hingga muncul kegiatan pariwisata bawah laut, serta penetapannya sebagai obyek wisata, cagar alam laut dan taman nasional.

Bab 3, Tradisi dan Hak Ulayat Laut, membahas kebiasaan masyarakat di kawasan TN Bunaken dan beberapa kampung pesisir di Sulawesi Utara, terutama di Kepulauan Sangihe dan Talaud yang pernah dan masih menjalankan praktek pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara bersama, melalui kepemilikan yang berkaitan dengan hak menangkap ikan.

Bab 4, Zonasi, menguraikan proses zonasi tahun 1993 hingga tahun 1997.

Bab 5, Perbaikan Zonasi, membahas tentang proses revisi zonasi yang menimbulkan penolakan, konflik, serta kekerasan.

Bab 6, Penegakkan Hukum, menjelaskan tentang tim patroli bersama yang menimbulkan kontroversi dalam penangkapan dan penahanan, sebab patroli ini lebih mementingkan kegiatan bisnis wisata bawah laut.

Bab 7, Sistem Tarif Masuk, untuk pertama kali taman nasional di Indonesia berhasil mengumpulkan dana yang cukup besar dari setiap pengunjung. Tapi, sebagian besar dana yang digunakan tersedot untuk penegakkan hukum yang meminggirkan dan memperkecil ruang nelayan mencari ikan.

Bab 8, Multipihak, menjelaskan tentang terbentuknya Forum Masyarakat Peduli TN Bunaken dan Dewan Pengelolaan TN Bunaken. Dewan yang diharapkan menjadi model dalam pengelolaan taman nasional ini masih menimbulkan kontroversi dan diminta untuk dibubarkan.

Bab 9, Pendekatan Patisipatif, membahas delapan tangga partisipasi Sherry R. Arnstein dan dipadukan dengan pengertian partisipasi menurut Sri Edi Swasono.

Bab 10, Otonomi Daerah, menjelaskan tentang masa transisi dan otonomi daerah yang bukannya membawa kesejahteraan bagi rakyat, tapi menimbulkan konflik kepentingan.

Bab 11, 14 Tahun Program NRM / USAID di Bunaken, menjelaskan proyek NRM dari tahun 1990 hingga 2004 di kawasan TN Bunaken dan sekitarnya.

Bab 12, Program Lain di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya, menguraikan peran organisasi yang tertarik untuk berkegiatan di kawasan konservasi di Sulawesi Utara, antara lain CIDA, Coremap, MREP, Seacology dan WCS.

Bab 13, Reklamasi Pantai Manado, membahas masalah pembangunan reklamasi pantai untuk mengantisipasi perdagangan bebas.

Bab 14, Bunaken dalam Konteks Globalisasi-Neoliberalisme, menjelaskan tentang standar ganda USAID dalam proyek-proyek lingkungan.

Bab 15, Kolonialisme, memaparkan tentang masuknya pelaut-pelaut Eropa ke kerajaan Bawontehu. Selain itu, posisi geografis Indonesia di Pasifik yang dianalisis Sam Ratu Langie.

Bab 16, Kopra, Permesta dan G 30 S/PKI, menguraikan tentang ekonomi kopra dalam skala internasional, munculnya Permesta atau perjuangan semesta alam dan peran CIA dalam permesta dan peta perpolitikan di Indonesia.

Bab 17, Tantangan Gerakan lingkungan, menjelaskan tentang berkembangnya gerakan lingkungan untuk pemberdayaan rakyat yang lahir sebagai keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan.

Bab 18, Buyat, membahas tentang kasus lingkungan di Teluk Buyat.
Catatan Akhir, Pengabaian Keselamatan dan Kesejahteraan Rakyat, menguraikan tentang peran NRM yang lebih berpihak pada kepentingan bisnis usaha wisata dan gagasan lainnya.

Ada banyak yang telah membantu penulisan buku ini. Saya berterima kasih kepada Rahman Dako dan R. Yando Zakaria yang memberikan dorongan untuk merampungkan setiap gagasan yang muncul dalam penulisan naskah ini sejak tahun 2003.

Saya berterima kasih kepada dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat: Rizald Max Rompas, Gybert Mamuaya, Bambang Soeroto dan Janny Dirk Kusen. Saya mengucapkan terima kasih buat Celia Lowe, Hendro Sangkoyo, Mbak Suraya Afiff, Agus Widianto, Sri Hardiyanti, Ais Kai, Yunanhelmy Balamba, Agus Tyono Amas Noer, Basri Amin, Lily Djenaan, Suhendro Boroma, Alex John Ulaen, Taufiq Pasiak, Benjamin Brown, Arief Wicaksono, Zulhan Harahap, Gustaf Mamangkey, Suwiryo Ismail, Graham Usher, Reed Merrill dan Mark Erdmann serta tim NRM-III, Kelola, Dewan Pengelolaan TN Bunaken, Japesda Gorontalo, Angkatan 1989 Ilmu Kelautan Unsrat dan kawan-kawan lain yang tak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penghargaan sebesar-besarnya dan terima kasih yang mendalam untuk warga di kawasan Taman Nasional Bunaken. Kebaikan hati mereka untuk berbagi ilmu di lapangan tak ternilai harganya.



Verrianto Madjowa

Daftar Isi

Pengantar dan Ucapan Terima Kasih

Daftar Isi

Prolog
Ikan dan Konservasi

Bab 1
Proyek Percontohan

Bab 2
Sejarah Kawasan

Bab 3
Tradisi dan Hak Ulayat Laut

Bab 4
Zonasi

Bab 5
Perbaikan Zonasi

Bab 6
Penegakkan Hukum

Bab 7
Sistem Tarif Masuk

Bab 8
Multipihak

Bab 9
Pendekatan Partisipatif

Bab 10
Otonomi Daerah

Bab 11
14 Tahun Program NRM / USAID di Bunaken

Bab 12
Program Lain di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya

Bab 13
Reklamasi Pantai Manado

Bab 14
Bunaken dalam Konteks Globalisasi-Neoliberalisme

Bab 15
Kolonialisme

Bab 16
Kopra, Permesta dan G 30 S/PKI

Bab 17
Tantangan Gerakan Lingkungan

Bab 18
Buyat

Catatan Akhir
Pengabaian Keselamatan dan Kesejahteraan Rakyat


Daftar Singkatan
Daftar Pustaka

Prolog. Ikan dan Konservasi

Setiap orang yang tidak menjadi bagian ikan,
maka ia merasa kenyang akan air.
Dan setiap orang tanpa rezeki,
maka hari-harinya terasa panjang. Tipudaya
tak menemukan keadaan (hal) yang
mematangkan pengalaman.

Untuk meringkas ungkapan kami ini,
maka kami cukupkan saja.
Wahai anakku! Tidakkah keperihan yang
tersimpan akan menjadi emas dan perak?
Mengabsahkan kepemimpinanmu dan membebaskan
darinya. Apabila engkau ingin
menciduk air lautan hanya dengan segelas piala.
Bukankah piala hanya cukup menampung kebutuhanmu selama sehari?
1


Ikan memang tidak pernah kenyang dengan air. Konstruksi tubuh ikan yang tak memiliki leher membuatnya mampu bergerak cepat menembus badan air dan beradaptasi dengan lingkungannya. Tubuh ikan ada tiga bagian: kepala, badan dan ekor. Batas kepala mulai dari moncong hingga bagian belakang penutup insang. Ikan bernafas dengan insang dan bergerak dengan menggunakan siripnya.

Memulai kehidupan dalam fase larva, anakan, populasi muda dan menjadi dewasa, ikan jarang memiliki kekhasan.2 Ikan dan biota laut lainnya, memulai kehidupan sebagai plankton. Plankton merupakan organisme yang berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus lautan.

Ada plankton yang hidup sebagai hewan atau zooplankton dan tumbuhan atau fitoplankton. Zooplankton termasuk golongan hewan perenang aktif yang dapat bermigrasi secara vertikal. Golongan larva ini berupa coelenterata, polychaeta, moluska, echinodermata, krustasea dan ikan. Dalam proses fotosintesis, fitoplankton dapat mengubah energi kinetik menjadi bahan organik. Fitoplankton juga menjadi indikator tingkat kesuburan suatu perairan.

Plankton memiliki peran penting di laut dan sebagai pakan bagi kebutuhan hidup manusia. Meski manusia tidak langsung mengkonsumsi plankton, tapi melalui rantai makanan, plankton inilah sebagai dasar kehidupan berbagai organisme laut. Sebab, plankton sebagai sumber makanan ikan komersial yang akhirnya menjadi sumber pakan manusia. Itu sebabnya, kita sangat tergantung pada plankton. Bila plankton terakumulasi logam berat, semisal merkuri (Hg) atau senyawa sianida (CN), maka ini akan membahayakan kehidupan organisme laut, termasuk manusia. Yang akan terkena dampak pencemaran tidak hanya di lokasi buangan limbah, tapi juga dapat menyebar jauh puluhan atau bahkan ratusan kilo meter.

Kelleher dan Kenchington (1991), menguraikan bahwa populasi muda atau anakan hewan laut dan pakannya, begitu pula dengan benih-benih tumbuhan laut, zat-zat hara, serta bahan pencemar menggunakan badan air untuk menempuh jarak yang jauh. Jaraknya dapat melintasi perairan teritorial beberapa negara. Selain itu, hewan laut pun sering melakukan migrasi dengan jarak yang cukup jauh pula.3

Ikan perenang cepat dapat menempuh jarak bermil-mil setiap jam. Umpamanya jenis ikan tuna (Thunnus thynnus), ikan tenggiri (Scomberomorus guttatus) dan tongkol (Eutymus sp). Di laut, menurut Kelleher dan Kenchington, habitat-habitat sangat jarang yang memiliki kekhasan atau kekritisan yang terbatas. Kemampuan jenis-jenis biota mempertahankan kehidupannya tidak selalu terkait dengan kawasan yang spesifik. Banyak jenis biota yang berenang-renang bebas memiliki kisaran teritorial yang luas, serta arus perairan yang membawa bahan-bahan plasma nutfah, baik dari jenis biota yang menetap maupun yang bermigrasi menempuh jarak yang bahkan mencapai ratusan kilo meter.

Sejak zaman dulu, ikan telah memiliki peran penting dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Manusia hidup dari berburu dan menangkap ikan. Di dalam kelas vertebrata4 ikan tergolong yang terbesar. Terdapat ribuan jenis ikan dengan puluhan juta populasi. Ikan hidup di dasar lautan, di tengah dan di permukaan lautan. Ada juga ikan yang mampu beradaptasi dengan daratan dan melakukan migrasi untuk mendapatkan tempat baru.

Keadaan tubuh ikan tergantung pada lingkungan hidupnya. Ikan yang terkontamisasi zat beracun dapat bertahan hidup dalam kadar yang dapat ditoleransi tubuhnya, hingga meninggal dalam jumlah masal. Bila ikan terkena limbah beracun, tak pernah melakukan protes langsung ke manusia. Namun, kehidupan nelayan yang sangat bergantung dari kehidupan laut akan mengalami kesulitan. Sebab, sumber mata pencahariannya akan terganggu. Begitu juga manusia yang mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi limbah.

Laut tak pernah diam. Jangan mengira laut yang tenang itu pertanda tak bergerak. Di permukaan mungkin hanya terlihat riak-riak, tapi di bawahnya energi arus terus membawa partikel-partikel sesuai dengan pola musim.

Pernah di akhir tahun 1994, saya keluar dengan menggunakan perahu cepat menuju pulau-pulau di TN (Taman Nasional) Bunaken sekitar pukul 10.00 Wita. Dari Pelabuhan Manado dan mulut Kuala Jengki atau Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano terdapat sampah dalam jumlah besar terapung-apung. Di antara sampah itu terdapat balok kayu, tempat burung bertengger. Sore harinya, sekembali dari Bunaken, saya melihat sampah itu sudah berada didekat Pulau Bunaken.

Masalah sampah yang masuk ke Bunaken telah menjadi perhatian berbagai pihak. Sejak awal 1990-an, instansi dari Pariwisata (Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi) menggelar acara seremonial: lomba sapu laut di Pulau Bunaken. Hingga kini sampah dari luar kawasan, terutama Manado masih menjadi masalah yang cukup pelik. Terdapat empat sungai dan beberapa selokan yang mengalir ke Teluk Manado. DAS ini mengalirkan sampah rumah tangga dan buangan dari berbagai aktivitas di Manado dan Minahasa. Di Pelabuhan Manado, kalau kita perhatikan, setiap kali kapal antar pulau merapat, sampah-sampah dibuang begitu saja.

Seiring dengan itu, terus bermunculan konflik pemanfaatan ruang di kawasan TN Bunaken. Sejak dikapling sebagai kawasan konservasi, konflik wilayah pemanfaatan ini terjadi. Untuk apa program konservasi kalau akhirnya tidak mensejahterakan rakyat setempat? Kalau hal ini dipinggirkan dan rakyat dianggap sebagai perusak kawasan, yang dimusuhi, maka niat sebenarnya kegiatan untuk keberlanjutan sumberdaya alam hanyalah isapan jempol belaka. Lalu untuk kepentingan siapa alat-alat negara, lembaga donor, organisasi non pemerintah bekerja di sebuah kawasan konservasi? Untuk menegakkan undang-undang, peraturan-peraturan atau malah kepentingan bisnis para pengusaha dan menjadi kaki tangan sebagai penindak di lapangan. Atau malah secara diam-diam, dalam tataran yang lebih luas untuk melanggengkan akumulasi kapital yang mendepak rakyat miskin, yang hidupnya tergantung pada sumberdaya alam setempat.

Inilah buku tentang Bunaken yang menyingkap tirai perjalanan sebuah kawasan konservasi modern di Provinsi Sulawesi Utara. Penuh hiruk pikuk bernuansa tipudaya dalam pengelolaan proyek konservasi di Indonesia. Makin tenar Bunaken sebagai kawasan wisata bawah laut, sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Makin banyak turis yang datang, ruang gerak nelayan terus dibatasi.

Rakyat dikejar, ditangkap, dibui tanpa melihat kadar kesalahan dan kebiasaan setempat. Sementara turis yang datang dengan membayar pin, dibiarkan merambah ruang-ruang nelayan. Lalu,diskusi pun digelar, pertemuan dirancang, kegiatan dibesar-besarkan: ini proyek percontohan, yang pertama di Indonesia, yang pertama di dunia, yang terbesar di dunia. Inilah bagian dari perilaku dan tipudaya. Menggelorakan sebagai yang pertama, tapi meminggirkan hak-hak rakyat. Rakyat tersingkir ditempatnya berpijak. Antara rakyat yang satu dikotak-kotakkan, sebagai perusak kawasan dengan menggunakan bom ikan dan racun sianida, sehingga menimbulkan perselisihan hingga kekerasan.

Sebenarnya, dari sisi lingkungan kegiatan itu tak memberikan manfaat yang berarti. Karena itu, Antropolog dari University of Washington Seattle, Celia Lowe (2003) mempertanyakan mengapa hanya nelayan di dalam kawasan Bunaken yang menjadi target penangkapan dan diproses ke pengadilan dalam penegakkan hukum. Sedangkan yang menjadi backing atau mereka yang berada dibelakang praktek yang merusak itu tidak disentuh aparat.

Bahkan di kampung-kampung tertentu dimunculkan bahwa di lokasi itu penduduknya suka merusak. Digelarlah patroli sebagai bentuk untuk menegakkan hukum di dalam kawasan konservasi. Lowe (2003) lalu mengidentikkan kasus ini seperti kebanyakan orang Irak yang membenci Saddam Hussein. Tapi, kebanyakan rakyat di Irak tak memiliki hasrat dan keinginan dengan adanya invasi tentara Amerika.5


Dalam syair Rumi:

Setiap perang, dan setiap konflik di antara umat
manusia
terjadi karena adanya perselisihan pendapat
mengenai nama. Itu adalah kebodohan yang
benar-benar tidak perlu, sebab di luar
perselisihan,
ada meja panjang untuk menjalin persahabatan,
yang telah ditata, dan menunggu kita untuk duduk.
6

Kelleher dan Kenchington (1991) menekankan bahwa suatu kawasan perlindungan laut dapat dikatakan berhasil hanya bila masyarakat setempat dilibatkan secara langsung dalam pemilihan lokasi, penetapan dan pengelolaannya. Apalagi, setiap kawasan konservasi laut di dunia memiliki kekhasan isu dan peluang dengan langkah-langkah pemecahan yang berbeda.

Dalam banyak kasus, Kelleher dan Kenchington memaparkan bahwa perlawanan pihak masyarakat akan terus menguat dan akan menghambat keberhasilan pengelolaan kawasan. “Kami percaya bahwa lebih baik menetapkan dan mengelola sebuah kawasan perlindungan laut (taman nasional laut) yang berhasil, yang mungkin tidak ideal secara ekologis,” Kelleher dan Kenchington menuliskan pendapatnya. Meski demikian, kawasan yang telah ditetapkan itu mampu mencapai tujuan-tujuan penetapannya, dibandingkan pendekatan yang arogan, tetapi tidak dapat dilaksanakan untuk mencapai keadaan yang ideal.

Kesalahan sering terjadi bukan karena kebodohan, tetapi karena sikap yang kurang awas, kita melakukan banyak kekeliruan bukan karena mengabaikan hal-hal yang besar (perkara besar memang terlalu penting dan terlalu mencolok untuk diabaikan), tetapi justru karena meremehkan hal-hal kecil.7

Menurut Kelleher dan Kenchington (1991) keterlibatan dan partisipasi kelompok pemanfaat sumberdaya alam laut dalam pengembangan dasar hukum, serta penetapan, pemantauan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan perlindungan laut hampir selalu menjadi kunci penting diterimanya dan berhasilnya pengelolaan kawasan. Pengalaman menunjukkan bahwa keberhasilan program-program pengelolaan kawasan konservasi sangat tergantung kepada dukungan masyarakat setempat.

Selanjutnya, dikatakan, selama satu abad terakhir ini terdapat tiga pendekatan penting dalam konservasi laut. Pertama, menyangkut pengaturan dan pengelolaan kegiatan-kegiatan yang secara spesifik, semisal, perikanan komersial. Kedua, menyangkut penetapan kawasan perlindungan laut dengan wilayah yang tidak terlalu luas. Ketiga, kegiatan-kegiatan pengembangan kawasan, seperti yang banyak dilakukan sekarang, yakni penetapan kawasan perlindungan multiguna dengan wilayah yang relatif luas, melalui sistem pengelolaan terpadu.

Kebutuhan untuk mengembangkan metoda-metoda bagi pengelolaan dan perlindungan laut, serta sumberdaya alamnya menjadi semakin nyata selama tahun 1950-an dan awal 1960-an. Kebutuhan itu, sedikit terjawab dengan penyelenggaraan Konferensi Dunia tentang Taman Nasional Pertama tahun 1962.8 Konferensi tingkat dunia itu memberi perhatian pada kawasan perlindungan pesisir dan laut. Pada tahun 1982, Komisi Taman Nasional dan Kawasan Perlindungan IUCN menyelenggarakan rangkaian lokakarya tentang penetapan dan pengelolaan kawasan perlindungan pesisir dan laut. Lokakarya ini merupakan bagian dari Kongres Taman Nasional Se-dunia III di Bali, Indonesia.9

Apakah pengelolaan kawasan pesisir dan laut melalui konservasi modern ini merupakan bagian dari penundukkan dan penguasaan hak-hak masyarakat lokal (adat)? Mengutip Wolfgang Sachs (1992), Mansour Fakih (2002) menguraikan bahwa dalam skala lokal, modernisasi juga telah menciptakan suatu struktur yang meletakkan masyarakat tradisi atau adat menjadi bagian yang ditundukkan secara kultural. Dalam proses penundukkan budaya tersebut mengakibatkan terlepasnya penguasaan hak-hak sumberdaya alam dan ekonomi, serta rusaknya lingkungan yang selama ini dikonservasi oleh masyarakat tradisi, karena keterikatan budaya mereka pada lingkungan sekitarnya.10

Seperti yang diprihatinkan Sachs bahwa bukanlah “kegagalan developmentalism atau kegagalan modernisasi yang harus dikhawatirkan, melainkan justru keberhasilannya. Karena keberhasilan modernisasi akan membawa pada suatu dunia tunggal, dunia dari perspektif Barat. Akibat dari keberhasilan modernisasi adalah akan menghilangnya segala keanekaragaman pikiran, budaya, kebiasaan, lingkungan hayati, bahkan cara memandang dunia sekalipun. Modernisasi akan membawa ke mono culture (kebudayaan tunggal) yang akan menyingkirkan berbagai kemungkinan bentuk alternatif kehidupan dan bermasyarakat.11

Rumi bersenandung:

Aku cukup bahagia dengan tinggal diam
di dalam mutiara di dalam kulit kerang,

tetapi badai pengalaman
melemparkan keluar dari tempat persembuyian dan menjadikan

aku gelombang yang bergerak menuju pantai,
dan mengucapkan keras
keras
rahasia samudera saat aku pergi, dan kemudian
tinggal di sana, aku tidur seperti kabut yang menempel
pada tebing, kesunyian yang lain.
12


Catatan

1 Jalaluddin Rumi, 2003, “Ratapan Seruling Bambu,” Masnawi Kitab Suci dari Persia, diterjemahkan Haris Ibn Sholihin, diterbitkan Belukar Budaya, Yogyakarta, Cetakan 1, Juni.

2 Yang dimaksud ikan dalam tulisan ini adalah pisces atau ikan bersirip. Sedangkan dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1985, pasal 1 (2) menyebutkan bahwa sumberdaya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut, yang termasuk biota adalah pisces, krustasea (udang, kepiting, rajungan dan lain-lain), moluska (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan lain-lain), coelenterata (ubur-ubur dan sebagainya), echinodermata (teripang, bulu babi, dan lain-lain). Selain itu, amfibi (kodok dan sebagainya), reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan lain-lain), alga (rumput laut dan tumbuhan laut lainnya yang hidup dalam air), serta biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut.

3 Graeme Kelleher and Richard Kenchington, 1991, Guide Lines for Establishing Marine Protected Area (Penetapan Kawasan Perlindungan Laut), penerbit The World Conservation Union (IUCN) bekerjasama dengan Great Barrier Reef Marine Park Authority.

4 Vertebrata adalah hewan bertulang belakang.

5 Celia Lowe, 2003, “Sustainability and the Question of ‘Enforcement’ in Integrated Coastal Management: The Case of Nain Island, Bunaken National Park, Jurnal Pesisir dan Kelautan Bogor, Institute Pertanian Bogor, Special Edition I:49-63. Paper mempertanyakan apakah konfigurasi lembaga donor asing, kepentingan pengusaha elit Indonesia dan kekuatan negara (tindakan polisionil) tepat dan berkelanjutan.

6 Jalaluddin Rumi dari karya Denise Breton dan Christopher Largent, 2003, Cinta, Jiwa & Kebebasan di Jalan Sufi, diterjemahkan Rachmani Astuti, diterbitkan Pustaka Hidayah, cetakan pertama, Januari. Rumi adalah sufi dan penyair sepanjang masa, hidup tahun 1207-1273 M.

7 Ignas Kleden, 2004, Esai: Godaan Subyektivitas, majalah Horison, Januari 2004.

8 Kelleher and Kenchington, 1991, Op. cit

9 Kelleher and Kenchington, 1991, Op. cit

10 Mansour Fakih, 2002, Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, diterbitkan Pustaka Pelajar bekerjasama dengan INSIST PRESS, September, hlm 68-69.

11 Ibid

12 Breton dan Largent, 2003, Op. cit.

Bab 1. Proyek Percontohan

Sejak diusulkan dan berubah menjadi taman nasional, United States Agency for International Development (USAID) tertarik menjalankan program di kawasan Bunaken dan sekitarnya. Proyek dirancang melalui kerjasama Departemen Kehutanan-Bappenas dengan dukungan USAID. Proyek ini lalu disebut Natural Resources Management (NRM) untuk mendukung pembangunan ekonomi Indonesia melalui pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik. NRM merupakan suatu program kerjasama pengelolaan sumberdaya alam antara Pemerintah Indonesia (Bappenas) dengan USAID, pemerintah Amerika Serikat.

Kegiatan NRM/USAID di Bunaken ini menjadi salah satu lokasi proyek percontohan dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam di Indonesia. Lokasi percontohan lainnya mencakup kawasan Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya di Kalimantan.1 Awal proyek percontohan tahun 1991 dana USAID yang disumbangkan sebanyak US$ 18,5 juta untuk lokasi di Kalimantan dan Sulawesi, serta sekretariat di Jakarta.2

Melalui program NRM dari tahun 1991 hingga tahun 2004 ini, USAID telah menyumbang dana miliaran rupiah untuk pengelolan Taman Nasional Bunaken dengan luas sekitar 79.065 hektare itu. Total bantuan USAID melalui program NRM tahap pertama, tahun anggaran 1992/1993 yang berakhir tahun 1996/1997 sebesar Rp. 1.973.693.600.3 Dalam program NRM tahap pertama itu, telah dihasilkan rencana pengelolaan kawasan Taman Nasional Bunaken yang berlaku selama 25 tahun, antara tahun 1996 – 2021, melalui tiga buah buku. NRM tahap dua dimulai tahun 1997/1998.

Penasehat Program NRM/EPIQ, Reed Merrill, mengungkapkan bahwa evaluasi hasil kerja Program NRM-USAID tahun 1993-1997 mengindikasikan adanya proses perencanaan pengelolaan yang dapat dikatakan cukup berhasil di tingkat lapangan, namun masih terdapat beberapa hambatan, terutama biaya yang dibutuhkan dalam proses replikasi.4 Adapun kawasan konservasi di Indonesia meliputi 387 lokasi, terdiri dari taman nasional, cagar alam, hutan wisata, suaka margasatwa, taman hutan raya dan taman hutan buru.

Menurut Merril, NRM/EPIQ bekerjasama dengan para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun non pemerintah, serta masyarakat konservasi di Indonesia. Sebagai fasilitator, NRM/EPIQ memfasilitasi kelompok-kelompok kerja formal dan informal yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi secara partisipatif.

Selama tahun 1997 hingga tahun 2001, NRM mengambil empat fokus. Pertama, membangun kemitraan yang efektif untuk meningkatkan sumberdaya lokal bagi pengelolaan kawasan konservasi. Kedua, memperkuat kesadaran dan kebanggaan terhadap pengelolaan konservasi di daerah. Ketiga, membangun kapasitas untuk lebih memfasilitasi pengelolaan kawasan konservasi yang partisipatif melalui mekanisme konsultasi publik untuk menyelesaikan konflik. Keempat, meningkatkan pendanaan kawasan konservasi dengan memperbaiki alokasi sumberdaya dan menerapkan opsi-opsi keuangan alternatif.

Proyek NRM di Kawasan Taman Nasional Bunaken masih berlanjut hingga November tahun 2004. Secara resmi proyek ini selesai Oktober 2004. Selama sebulan itu dilakukan penyelesaian administrasi dengan Dewan Pengelolaan TN Bunaken, antara lain penyerahan inventaris berupa fasilitas di kantor dan lapangan.



Catatan Bab 1

1 Mengenai Proyek Percontohan, lihat Manado Post, Selasa 30 Juni 1992, “Sulut dan Kalbar Percontohan Pertama Konservasi di Indonesia.”

2 Dalam brosur Proyek Pengelolaan Sumberdaya Alam, Bappenas, Departemen Kehutanan dan USAID yang diterbitkan ARD/USAID-Jakarta, disebutkan bahwa untuk saling melengkapi dengan proyek NRM, telah dirancang proyek SFM (Sustainable Forest Management). Proyek SFM kerjasama Departemen Kehutanan dan ITTO (International Tropical Timber Organization). Total biaya yang dialokasikan untuk proyek NRM dan SFM sebesar US$ 36 juta. Melalui Proyek NRM, USAID menyumbang US$ 18,5 juta dan pemerintah Indonesia US$ 6,5 juta untuk pembiayaan lokal. Sedangkan proyek SFM, ITTO menyumbang US$ 10 juta dan pemerintah Indonesia US $ 1 juta,

3 Lihat Materi Pengelolaan Sumberdaya Alam Kawasan Taman Nasional Bunaken oleh Kepala Balai Taman Nasional Bunaken Ir. Dominggus. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Sumberdaya Alam Sulawesi Utara, Manado 29 September 1998, didukung NRM-II.

4 Baca Buku Memperkuat Pendekatan Partisipatif dalam pengelolaan Kawasan Konservasi di Era Transisi dan Otonomi Daerah. Diterbitkan NRMP, Agustus 2001, Editor Reed Merrill dan Elfian Effendi.

Bab 2. Sejarah Kawasan

Tak jauh dari puncak Gunung Manado Tua, ada sebuah pal atau tonggak batu. Didekat pal itu ada bekas galian. Lubang bekas galian itu memang sengaja dibuat karena diduga didekat pal itu terdapat harta karun. Begitulah cerita yang beredar di Pulau Manado Tua.

Pulau Manado Tua memang memiliki sejarah panjang. Pada abad 15 dan 16 di pulau ini pernah berkembang kerajaan Bawontehu.1 Kerajaan dengan perpaduan etnis Sangihe dan Bolaang Mongondow ini meliputi Pulau Bunaken, Siladen, Mantehage, Nain, Talise, Bangka, Gangga, Lehaga dan semenanjung pesisir utara Minahasa.

Penduduk di kawasan TN Bunaken diperkirakan telah lama mendiami pulau-pulau dan pesisir Pulau Sulawesi. Ada banyak cerita perpindahan penduduk ke lokasi tersebut, terutama yang datang dari Kepulauan Sangihe dan keturunan pelaut Bajau (Bajo). Etnis Sangihe paling dominan mendiami kawasan TN Bunaken. Mereka ini kebanyakan berasal dari Pulau Siau, Kabupaten Sangihe, yang dikenal dengan gunung api Karangetang.

Sedangkan keturunan Bajo, yang sekarang ini tinggal di Pulau Nain dan pesisir Arakan (Rap-rap), diceritakan melakukan eksodus dari Gowa, Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1698. Dengan menggunakan sembilan buah perahu, sebanyak 112 jiwa ini mulanya menetap di pesisir kampung Kima Bajo dan Talawaan Bajo. Di pesisir Minahasa, Pulau Sulawesi, ini mereka mendirikan daseng (rumah kecil dan sederhana di laut). Etnis pelaut ini juga ada yang menyebar di Burau, Kalimantan, dan Filipina. Kedatangan suku Bajo ini mencari kima (Tridacna spp) dan ikan.

Setelah satu abad lebih mendiami pesisir kampung Kima Bajo, tahun 1823, orang Bajo ini pindah ke Pulau Nain. Selain itu, ada yang migrasi ke pesisir Likupang dan Bitung. Selanjutnya, dari Pulau Nain, beberapa keluarga Bajo ada yang mendirikan daseng di utara Pulau Mantehage dan pindah ke Rap-rap.

Untuk mendapatkan makanan dari hasil pertanian, keluarga Bajo menukarkan hasil tangkapan ikannya dengan keluarga etnis Sangihe. Sistem barter ini bertahan cukup lama. Di kawasan TN Bunaken, selain etnis Sangihe dan Bajo, terdapat etnis Minahasa, Gorontalo, Bugis, Bolaang Mongondow, Buton dan Ternate.

Meski dikelilingi laut, kehidupan penduduk kawasan Bunaken, tidak sepenuhnya bergantung pada sumberdaya laut, terutama bagi etnis Sangihe. Bila musim hujan, rakyat setempat ada yang bertani, selain mencari ikan. Karena itu, ada istilah KKO (ka lao ka dara ore) dari rakyat setempat. KKO ini artinya ke laut dan ke darat oke. Bila musim hujan, terutama di bulan September, Oktober, November dan Desember, mereka bercocok tanam. Yang ditanam padi ladang, ketela pohon, pisang, sayur-mayur dan tanaman lainnya. Selain itu, di lahan-lahan warga ini terdapat pula pohon kelapa. Sedangkan musim kemarau, terutama pada bulan Mei, Juni dan Juli mereka melaut.

Pengetahuan masyarakat tradisional melalui kalender musim sangat membantu sistem pemanfaatan sumberdaya alam setempat. Kapan waktunya musim ikan lolosi (Caesio spp), malalugis (Decapterus ruselli), cakalang (Katsuwonus pelamis), mandidihang (Thunnus albacores), deho (Auxis thazard), sako (Tylosurus crocodiles) mereka ketahui. Begitu juga dengan ikan karang. Ikan-ikan yang berseliweran, mengikuti pola arus yang membawa sumber makanan.

Dalam peta sebaran alat tangkap nelayan di kawasan TN Bunaken, berupa pancing (termasuk pancing dengan layang-layang), huhate (pole and line), pukat kantong, pukat cincin dan alat tangkap lainnya. Huhate hanya ada di Desa Bunaken, sedangkan alat tangkap lainnya tersebar di semua kawasan. Guru besar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat, Siegfried Berhimpon (2003) menyebutkan bahwa penyebaran ikan di kawasan TN Bunaken antara lain, jenis cakalang, malalugis, selar dan teri. Potensi budidaya hasil laut yang dapat dikembangkan antara lain lobster, bandeng, kepiting, udang, kerang mutiara, ikan hias, teripang dan rumput laut.

Perpindahan sementara dari pulau-pulau ke Manado atau tempat lain untuk mencari pekerjaan juga dilakukan rakyat setempat. Kala pergolakan Permesta tahun 1958-1959, pulau-pulau di kawasan itu juga sempat menjadi tempat persembunyian rakyat yang mengungsi dari daratan Pulau Sulawesi. Mereka ini menempati Pulau Mantehage dan bekerja sebagai penebang mangrove (bakau). Hasil tebangan itu lalu dijual ke Manado.

Rakyat setempat berpenghidupan di darat, laut dan bergantung dari pasokan bahan-bahan yang dibeli dari Manado. Saling kunjung antar pulau juga terus terjadi karena masih adanya ikatan keluarga yang kawin-mawin.

Kehidupan rakyat di kawasan itu berjalan normal hingga akhir tahun 1970-an. Dikatakan normal karena Bunaken belum dikenal sebagai lokasi penyelaman bawah laut yang terindah di dunia. Adalah instruktur selam Ricky Lasut dan Locky Herlambang yang mengawali penyelaman di kawasan Bunaken. Survei kawasan Bunaken sebagai obyek wisata bawah laut dilakukan PT Ida Cipta pada tahun 1978. Setahun kemudian Pangeran Bernhard dari Kerajaan Belanda berkunjung ke Pulau Bunaken. Setelah itu, kawasan ini mulai “dijual” sebagai obyek wisata bawah laut yang terindah di dunia.

Cottage, sebagai tempat inap sementara para turis yang ingin menyelam di Bunaken mulai dibangun di Pantai Malalayang, Manado, tahun 1978. Usaha wisata ini dikerjakan oleh Kelompok Tirta Satwa. Hingga tahun 1981, belum ada cottage yang dibangun di Bunaken. Semua turis yang ingin ke Bunaken, tetap bermalam di Manado. Pada tahun 1982, sebuah cottage berdiri di Pantai Liang, Pulau Bunaken. Cottage itu dibangun oleh Stien Julian.

Sebelumnya, tepatnya tanggal 29 Desember tahun 1980, Gubernur Sulawesi Utara telah mengeluarkan Surat Keputusan nomor 224 tahun 1980 tentang obyek wisata laut Manado. Keputusan ini meliputi Pulau Bunaken dan sekitarnya. Gubernur memperluas kawasan ini meliputi perairan Arakan dan Wawontulap yang berada di pesisir Sulawesi, melalui SK nomor 201 tahun 1984.

Peneliti IUCN/WWF Rodney V. Salm dan Graham F. Usher juga telah melakukan survei di kawasan Bunaken. Penelitian tersebut menyangkut rencana pengelolaan zonasi taman laut Bunaken yang diajukan untuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA).2

Pada bulan Juli tahun 1984, Rodney V. Salm (IUCN/WWF) dan Matheus Halim (Sub Direktorat Konservasi Lautan, PHPA) mengajukan data atlas kawasan konservasi laut di seluruh Indonesia.3 Dalam data atlas itu, pada nomor 143 disebutkan bahwa Pulau Bunaken dan sekitarnya berstatus sebagai taman wisata laut. Sedangkan keterangan pada nomor 144, disebutkan bahwa Arakan sebagai suaka margasatwa. Di perairan kawasan Arakan dan Wawontulap ini merupakan habitat mamalia laut yang dilindungi, Dugong dugon (duyung).

Pada tahun 1986, kawasan perairan Arakan – Wawontulap, Bunaken dan sekitarnya dijadikan kawasan Cagar Alam Laut. Menteri Kehutanan mengeluarkan SK nomor 328/Kpts-II/1986 untuk Arakan – Wawontulap dan Bunaken. Status cagar alam laut ini sangat ketat. Kegiatan yang dapat dilakukan di lokasi itu hanya penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan serta kegiatan yang menunjang budidaya.

Benturan kepentingan antara Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara terjadi setelah keluar SK tersebut. Sebab, bila itu kawasan cagar alam, otomatis tidak diperbolehkan ada kegiatan wisata di tempat itu. Selang tiga tahun, yakni pada tahun 1989, SK Cagar Alam Laut itu mulai diralat. Diusulkan kawasan itu sebagai calon taman nasional. Tanggal 15 Oktober 1991, Menteri Kehutanan menetapkan Pulau Bunaken dan sekitarnya, serta Arakan Wawontulap sebagai taman nasional melalui SK bernomor 730/Kpts-II/91.

Perubahan status ini lantaran kondisi setempat bahwa penduduk sudah lama mendiami kawasan dan sebagian berpenghidupan dari sumberdaya laut dan mulai berkembang wisata bawah laut di Bunaken. Namun, ada anggapan bahwa perubahan status dari cagar alam menjadi taman nasional ini merupakan keistimewaan tersendiri.

Hal seperti ini juga melekat pada pimpinan tim NRM III di Sulawesi Utara, Mark V Erdmann. Entah memahami atau tidak fungsi kawasan sebagai cagar alam laut atau taman nasional, Erdmann menuliskan bahwa Bunaken naik status menjadi taman nasional sejak turun SK nomor 730/Kpts-II/91 dari Menteri Kehutanan.4

Taman Nasional Bunaken melingkupi kawasan Pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage dan Nain. Di Pulau Sulawesi yang masuk kawasan ini mulai dari pesisir Desa Molas hingga Wori. Sedangkan TN Bunaken bagian selatan membentang dari Tanjung Kelapa di Desa Poopoh hingga Popareng. Sebagian kawasan berada di Kotamadya Manado dan lainnya di Kabupaten Minahasa.

Tak ada peningkatan status atau hal yang istimewa dari perubahan, selain faktor adanya para pemanfaat sumberdaya alam di laut Bunaken dan sekitarnya. Dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budi daya. Sedangkan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan Kawasan Pelestarian Alam, disebutkan bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya (Sembiring, 1999). Karena itu, perlu dijaga keutuhan dan kelestarian fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Kawasan suaka alam terdiri dari kawasan cagar alam dan suaka margasatwa. Sedangkan kawasan pelestarian alam mencakup taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.5

Dengan perubahan status dan fungsi, bukan berarti mulus sudah lokasi ini sebagai kawasan konservasi. Antara Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan masih terjadi tarik-menarik. Pemda menginginkan Bunaken sebagai kawasan wisata saja. Ini berlangsung terus, meski krisis ekonomi dan moneter menerpa negeri ini tahun 1997. Krisis multidimensi membawa pengaruh yang besar dalam kawasan. Kegiatan pengeboman dan peracunan ikan terjadi di beberapa tempat di kawasan TN Bunaken.

Apalagi, ada berbagai kepentingan baik instansi dan pengusaha di TN Bunaken. Antara lain, pemerintah kota Manado dan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten Minahasa dan Balai TN Bunaken. Kemudian para pengusaha jasa wisata selam dan organisasi lainnya.

Sejak menjadi kawasan taman nasional, Bunaken, banyak menjadi polemik dan menimbulkan kontroversi dalam pengelolaannya. Kawasan yang banyak menarik turis asing untuk melakukan rekreasi bawah laut ini menjadi rebutan antara Pemda Sulawesi Utara dan Departemen Kehutanan. Pada awal tahun 1990-an bahkan Pemda menginginkan penduduk di dalam kawasan Bunaken dipindahkan. Keinginan Pemda ini mendapat tentangan keras dari pemerhati lingkungan, terutama dari Forum Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Utara.

Konsultan NRM, Jill Belsky yang melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Bunaken6 mengungkapkan bahwa banyak penduduk kepulauan mendengar Gubernur Sulawesi Utara ingin merelokasi penduduk Pulau Bunaken dan Arakan-Wawotulap. Seorang penduduk Pulau Bunaken menyatakan bahwa rencananya mereka akan dipindahkan ke Gorontalo dan warga sepakat menolak.

Akibat adanya isu pemindahan penduduk, menurut Kepala Urusan Pemerintahan Desa Alungbanua Yunus Kasehung, menimbulkan keresahan masyarakat di Pulau Bunaken. Pembangunan di desa terhambat karena keragu-raguan dalam mengembangkan kehidupan. Kerugian sosial akibat rencana tersebut sangat besar.














Catatan Bab 2

1 Menurut tua-tua kampung, pemukiman warga Manado Tua sekarang ini bukanlah tempat yang dulunya ditempati Kerajaan Bawontehu. Pemukiman kerajaan ini berada agak ke bukit yang terlindung dengan pepohonan. Pemukiman di bukit ini untuk menghindari serangan-serangan perompak laut, seperti dari Kepulauan Sulu dan Mindanao, Filipina. Dalam Disertasi Doktor Prof. Geraldine Manoppo-Watupongoh menyebutkan bahwa Manado Tua ini sudah dikenal sejak tahun 1514. Hal ini dijelaskan dalam buku Beschrijving der Moluccas, Jilid I, Buku II tahun 1724 yang ditulis Valentijin. Pulau itu disebut Manadu dalam peta Nicolaas Desliens. Sesudah tahun 1682, pulau kecil itu dikenal dengan nama Manado Tua. Sebutan ini muncul setelah daratan Wenang di Minahasa yang berhadapan dengan Pulau Manado Tua berubah menjadi Manado. Penduduk pulau ini disebut “orang dari kejauhan” atau dalam bahasa Tombulu’ (salah satu sub etnis Minahasa) mana’undou. Sebutan itu kemudian menjadi manadu oleh karena ucapan orang Eropa pertama.

2 Lihat Report IUCN/WWF no. project 3108, Marine Conservation, Bogor, February 1984. Awal 1980-an Rodney V. Salm juga telah meneliti di kawasan Bunaken.

3 Lihat Marine Conservation Data Atlas, diajukan Rodney V. Salm dan Matheus Halim untuk Direktorat Jenderal PHPA, Juli 1984.

4 Lihat Lestari, dengan judul Zona Tabungan, Modal Hidup Keberlanjutan. Edisi Sabtu 30 Agustus 2003. Lestari diterbitkan atas kerjasama Harian Manado Post dan program NRM/EPIQ. Edisi Lestari ini semacam sisipan di Manado Post. Sebelum menjadi team leader NRM di Sulawesi Utara, Mark Erdmann adalah penasehat kawasan perlindungan laut.

5 Ada salah penempatan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dalam Sulaiman N. Sembiring dkk (1999) buku Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia; Menuju pengembangan desentralisasi dan peningkatan peran serta masyarakat, yang diterbitkan ICEL-NRM-II/USAID. Di halaman 30, disebutkan bahwa terdapat beberapa jenis kawasan konservasi yang memiliki fungsi sangat strategis dan perlu untuk dilindungi seperti kawasan pelestarian alam (terdiri dari kawasan cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan suaka alam (yang mencakup taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam). Seharusnya kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa, sedangkan kawasan pelestarian alam mencakup taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.

6 Baca Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat di Taman Nasional Bunaken, rekomendasi pelibatan masyarakat setempat (NRMP, Oktober 1993). ARD – USAID, Jkt. Laporan nomor 14, diterjemahkan penasehat pengembangan masyarakat Taman Nasional Bunaken Arief Wicaksono. Dr. Jill Belsky, melakukan survei tahun 1992 di kawasan TN Bunaken. Tujuan utama survei adalah menyajikan data sosial ekonomi yang esensial tentang masyarakat setempat dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan Taman Nasional Bunaken. Asumsi pemandu dalam survei tersebut, pada poin empat menyebutkan bahwa pelarangan pemanfaatan sumberdaya untuk tujuan pelestarian dengan melibatkan strategi penegakkan hukum sangat tidak efektif. Pada poin lima, rencana relokasi penduduk sangat tidak disarankan karena mahalnya biaya, tingkat penolakan yang tinggi, serta berpotensi menciptakan perubahan besar-besaran dalam profil sosial dan ekologis, baik di daerah yang ditinggalkan maupun di tempat pemukiman baru: Rencana pemindahan penduduk di kawasan Bunaken, juga sering disorot melalui pemberitaan di media cetak yang terbit di Manado. Saat pertemuan Dengan Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja tahun 1993, Pemda Sulawesi Utara telah membuat Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, yang antara lain menginginkan adanya pemindahan penduduk dari kawasan TN Bunaken. Alasannya, pemerintah dan pihak swasta ingin memberikan nilai tambah agar kawasan lebih mudah dikelola dan dipantau kelestariannya. Selain itu, berkembang pula isu swastanisasi (penyewaan) Bunaken yang dilakukan pemerintah daerah kepada pengusaha di Manado. Pengusaha ini dapat mengelola Pantai Liang di Pulau Bunaken untuk pengembangan wisatanya dengan membayar Rp 37,5 juta per tahun kepada pemerintah daerah.

Bab 3. Tradisi dan Hak Ulayat Laut

Ote kenta
Pasikete ilomentamai
Aribala daleo he
Bongo pusimbekise
Tamangapa taipamonga
Silome
Kadehooo!


Inilah syair menangkap ikan dengan menggunakan layang-layang yang biasanya diucapkan nelayan dari Desa Alungbanua, Pulau Bunaken. Bagi sebagian orang yang baru melihat, nelayan ini seperti bermain layang-layang di laut. Padahal, nelayan ini sedang mencari ikan dengan alat tangkap yang cukup unik: tali nilon, umpan dari sarang laba-laba dan layang-layang. Ikan target yang ditangkap dengan menggunakan layang-layang ini adalah jenis sako (Tylosurus crocidales).

Tidak setiap hari ada nelayan yang menangkap ikan dengan layang-layang. Sebab, ikan sako tidak muncul dalam jumlah banyak pada setiap musim. Nelayan baru melaut menangkap sako, tiap musim Barat, antara bulan Oktober hingga Desember.

Adapun “kata-kata” diatas akan diucapkan saat melaut. Arti ucapan tersebut:

Oke sako
Tangkap (makan) itu laba-laba
Jangan biarkan begitu saja
Penusuk satu ikat
Mengapa harus disimpan
Kalau tidak digunakan
Untuk menangkap umpan
Si laba-laba
Tahan Kuat!


Pada musim barat, jenis ikan sako ini banyak muncul di perairan sekitar Pulau Bunaken dan sekitarnya. Ikan ini menyukai tempat yang berarus cukup kuat. Makanya, nelayan akan berada di antara arus yang cukup kuat saat memancing ikan ini.

Penangkapan ikan dengan layang-layang tidak merusak karang. Sebab, nelayan jauh dari daerah terumbu karang. Adapun umpan ini dari sarang laba-laba yang berkaki pendek. Lalu, nelayan akan membuat sarang itu mirip dengan ikan teri. Sehingga ikan sako akan terpedaya dan mengira itu ikan teri yang menjadi mangsanya. Kalau ikan sako masih belum menyentuh atau memakan umpan dari sarang laba-laba ini, nelayan makin kuat berteriak dengan ucapan seperti di atas.

Menangkap ikan dengan umpan sarang laba-laba sambil bermain layang-layang ini hanyalah satu dari berbagai tradisi penangkapan ikan di kawasan TN Bunaken. Namun, sejauh ini, hukum adat, termasuk hak ulayat laut di kawasan TN Bunaken telah luntur seiring dengan modernisasi di berbagai segi kehidupan, termasuk pada alat tangkap ikan. Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan secara turun-temurun menyangkut kebutuhan sosial dan menjadi bagian aturan kehidupan yang tak tertulis. Hal ini disepakati bersama dalam suatu komunitas atau daerah tertentu yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.

Berikut ini gambaran tradisi dan sistem pengelolaan di kawasan TN Bunaken.

Pulau Bunaken dan Siladen

Pulau Bunaken yang berbentuk seperti bulan sabit itu, memiliki luas 696,8 ha. Pulau Bunaken ini memiliki spot-spot penyelaman andalan dan mengalami tekanan dalam hal jumlah turis yang masuk ke Bunaken. Di Pulau Bunaken terdapat dua desa. Pertama, Desa Bunaken dengan wilayah administrasi hingga ke Tanjung Parigi dan Pulau Siladen. Kedua, Desa Alungbanua.

Menurut Sekretaris Desa Alungbanua, Tein Tamamilang, hukum adat yang masih dipertahankan dalam tata cara membangun rumah, berkebun, serta pembuatan perahu besar, perahu bercadik (londe) dan peluncurannya. Saat berkebun, hal pertama yang dilakukan adalah pembabatan yang diawali dengan pembacaan mantera. Tujuannya agar tanaman terhindar dari serangan hama.

Untuk menanam padi, misalnya, didahului dengan penanaman pisang goroho atau mas, cakar bebek dan ganda rusa. Makna yang terkandung dalam kebiasaan ini agar padi menjadi subur dan banyak menghasilkan butir-butir padi. Ketika padi sudah berbuah, harus diberi telur, cermin dan pohon bambu. Pantangan bila akan memetik padi, dilakukan pemotongan kayu atau pohon yang ada di sekitar kebun itu. Jika dilanggar, akan ada serangan hama tikus dan burung. Setelah ada hasil, yang pertama diberi makan adalah peralatan yang digunakan untuk berkebun.

Dalam pembuatan perahu besar atau skoter, tidak sembarangan menebang pohon. Pohon yang akan digunakan untuk pembuatan perahu harus dipotong saat bulan mati di langit. Ini dimaksudkan agar kayu yang digunakan tidak mudah lapuk atau diserang serangga. Menebang pohon dilakukan pada hari genap, Selasa, Kamis dan Sabtu. Sedangkan dalam pembuatan londe, pasak perahu atau paku terbuat dari kayu yang jumlahnya genap. Haluan dan buritan juga perlu untuk dilubangi. Di dalam lubang itu dimasukkan emas. Maknanya, agar perahu mendatangkan hasil yang banyak.

Desa Alungbanua terletak dibagian bawah perbuktian. Dalam bahasa Sangihe, alung banua berarti kediaman dibawah. Alung artinya dibawah dan banua disebut sebagai kediaman. Setiap musim barat nelayan setempat masih ada yang mempertahankan cara penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap layang-layang.

Dalam berkesenian, di Alungbanua masih ditemukan tradisi masamper dan tarian cakalele. Masamper termasuk salah satu jenis pesta dengan melantunkan lagu-lagu. Tradisi masamper, menurut Ulaen, tidak lepas dari unsur kesenian-gereja yang diperkenalkan oleh pekabaran injil. Kesenian ini berkembang pesat dan paling menonjol karena adanya tradisi serupa dalam budaya orang Sangihe dan Talaud pra-Kristen, terutama masambo (Ulaen, 2003).

Tradisi masamper ini tidak hanya sekadar bernyanyi bersama yang disertai dengan gerak tari si pembawa lagu. Ulaen mengemukakan bahwa pengaturan tempat dalam tradisi masamper selalu membentuk sebuah bulatan. Orang-orang yang terlibat dalam masamper ini membiarkan bagian tengahnya kosong. Ini yang menjadi tempat bagi mereka yang mendapat giliran memimpin lagu.

Sedangkan tarian cakalele, seperti halnya yang berkembang di Maluku Utara, untuk menyambut tamu-tamu agung bila berkunjung ke suatu daerah.


Pulau Manado Tua

Pulau Manado tua yang berbentuk kerucut ini memiliki tinggi sekitar 800 meter dari permukaan laut. Pulau seluas 1.052,1 ha ini pernah menjadi pusat kerajaan Bawontehu, kerajaan tertua di kawasan itu. Tercatat tahun 1523, orang Portugis datang ke Manado Tua dan pesisir Manado. Tapi yang paling berpengaruh saat kedatangan orang Portugis bernama Diego de Magelhaes yang membaptis sebanyak 1500 orang, termasuk raja Manado Tua.1 Antropolog Universitas Sam Ratulangi Manado, Alex J. Ulaen menambahkan bahwa perkembangan kedatuan Siau --yang berakar dari Kedatuan Bawontehu (Manado Tua) mempunyai ikatan genealogi dengan keturunan Medellu—sangat dipengaruhi oleh kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol.2

Nilai konservasi yang pernah ada di Pulau Manado Tua, antara lain, larangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di puncak Manado Tua. Larangan ini diberlakukan saat kolonialisme Belanda. Lokasi larangan untuk kegiatan penanaman atau berkebun pada ketinggian sekitar 500 hingga puncaknya. Di beberapa lokasi juga ada tempat-tempat pertemuan yang disebut los.

Di Pulau Manado Tua, terdapat satwa endemik kera hitam (Maccaca nigra). Diduga kera hitam ini memiliki perbedaan genetik dengan kera hitam yang ada di daratan Pulau Sulawesi. Populasi kera hitam di Manado Tua sekarang ini sudah menyusut. Di masa Kerajaan Bawontehu, pernah terjadi kekurangan makanan akibat merajalelanya kera hitam ini.

Pulau Mantehage dan Pulau Nain

Pulau Mantehage dengan luas 738,1 ha, dikelilingi hutan mangrove yang cukup luas. Sebelum terjadi pembabatan mangrove besar-besaran, pemukiman di Pulau Mantehage tidak kelihatan dari jauh. Sebab, pulau ini dikelilingi mangrove dengan luas sekitar 1000 hektar. Di Pulau ini terdapat empat desa. Masing-masing Desa Bango, Tangkasi, Buhias dan Tinongko. Sebelum terbagi menjadi empat desa, di pulau ini mulanya hanya ada satu desa dan secara administrasi pernah bergabung dengan Pulau Nain.

Di Desa Bango, pernah ada sistem pengelolaan dan pemanfaatan ikan yang disebut seke. Sistem seke ini merupakan hak ulayat laut yang pernah ada di banyak pulau-pulau di Sangihe (akan dijelaskan lebih lanjut). Wilayah laut ini ditetapkan untuk pemanfaatan ikan karena menjadi tempat yang didatangi gerombolan ikan. Bertahun-tahun sistem ini sudah tidak ditemukan lagi di Desa Bango. Selain itu, nelayan Bango juga telah mengamati gerombolan ikan yang datang ke bagian barat Pulau Mantehage, setiap bulan 13 dan 14 dilangit.

Dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, rakyat di Desa Tangkasi memiliki pengetahuan yang disebut lokasi pemanfaatan dan yang dilindungi. Di masa kolonial Belanda, rakyat yang bekerja sebagai penebang mangrove dapat berkegiatan di tempat yang disebut “blok.” Ada blok tua dan ada blok baru. Blok tua menandakan di tempat itu pernah dilakukan kegiatan penebangan dan penanaman kembali. Lalu, pekerja penebang mangrove akan berpindah ke lokasi lain.

Zona yang dilindungi atau lokasi keramat berada di Pulau Pananggalan dan Lagenang. Pulau Pananggalan yang semua lokasi ditumbuhi mangrove berada di depan Pulau Nain. Bila ada yang melanggar pantangan itu, akan terkena penyakit atau bahkan meninggal dunia. Sistem blok dan daerah larangan ini telah hilang akibat campur tangan pemerintah dalam pengelolaan hutan mangrove. Di masa kemerdekaan, setelah hutan mangrove ditangani instansi Kehutanan, sistem ini tidak diberlakukan lagi. Apalagi, ketika terjadi pergolakan Permesta. Orang-orang dari daratan Pulau Sulawesi yang mengungsi ke Pulau Mantehage akhirnya bertahan hidup sebagai penebang bakau. Intensitas pemanfaatan mengrove kala itu, cukup tinggi mulai tahun 1958 hingga 1962.

Yang menarik lainnya di Pulau Mantehage adalah cara-cara pemanfaatan mangrove sebagai obat tradisional. Pemanfaatan mangrove untuk pengobatan ini sangat beragam. Rakyat setempat memanfaatkan mangrove untuk menyembuhkan berbagai penyakit, terutama di Desa Tangkasi. Sebanyak 18 jenis mangrove (dari sedikitnya 28 jenis mangrove) di Pulau Mantehage telah dimanfaatkan sebagai obat.

Jenis-jenis mangrove di Pulau Mantehage yang dimanfaatkan rakyat setempat sebagai bahan obat alami. Jenis Acanthus ilicifolius (nama lokal gahana atau kamunte) sebagai obat luka baru, menghentikan darah, luti air, sarampa, dan gatal-gatal. Jenis Bruguiera cylindrica (ting putih) dan B. sexangula (makurung) untuk luka baru, sedangkan B. gymnorrhiza (makurung laut) untuk luka baru anti racun ikan dan mangir (jamur pada lidah bayi yang masih menyusu). Jenis Ceriops decandra (ting papua) dan C. tagal (ting) sebagai obat luka baru.

Jenis Excoecaria agallocha (buta-buta) untuk obat pencuci perut, sakit gigi dan gigi berlubang. Heritiera littoralis (kolot kambing) sebagai obat gatal-gatal dan menghaluskan wajah. Nypa fruticans (bobo) untuk obat muntah darah, rematik, nyeri otot, luka dalam, tuberculosis (TBC), anti tetanus, luka baru dan menghentikan darah. Jenis Rhizophora apiculata (lolaro merah), R. mucronata (lolaro/lolaro bulu) dan R. stylosa (lolaro/lolaro putih) untuk luka baru, anti racun ikan, dan sakit lutut.

Mangrove jenis Sonneratia alba (posi-posi), S. caseolaris (posi-posi) dan S. ovata (posi-posi) untuk obat nyeri otot, sakit pinggang atau tulang, rematik, malaria, obat kuat, luka, tuberculosis (TBC). Selain itu, buahnya digunakan untuk menghaluskan wajah. Terminalia cattapa (nusu/ketapang) untuk obat sakit perut dan penawar diare. Jenis Xylocarpus granatum (kira-kira) dan X. mollucensis (kira-kira) untuk obat penawar diare dan bedak. Selain mangrove, terdapat ratusan jenis tanaman lainnya dan biota laut yang digunakan sebagai obat.

Sedangkan di Pulau Nain dengan luas 167,5 ha berada paling luar di kawasan TN Bunaken. Pulau Nain, mulanya banyak ditumbuhi ganemo (melinjo). Dalam bahasa Bajo ganemo ini disebut bagu. Sebelum disebut Pulau Nain, nama pulau ini Bagu. Tetua kampung Nain, Mustopa Nendey (1993) menceritakan nama Nain itu muncul saat pemerintahan Hindia Belanda. Nain artinya pulau ke sembilan, dari hamparan pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage, Talise, Bangka, Gangga dan Lehaga.

Rakyat di Nain tidak memanfaatkan mangrove di pulau itu. Selain lantaran tumbuhan mangrove tidak terlalu luas, juga berfungsi ekologis. Bila mereka memerlukan mangrove akan dibeli atau diambil langsung di Pulau Mantehage. Lokasi mangrove di Pulau Nain ini seluruhnya dilindungi.

Bagi orang luar yang datang ke Pulau Nain, harus membasuh mukanya dan minum air jere yang berada di sumur didekat dermaga Pulau Nain. Tentang air jere yang berada di perkampungan Bajo ini sejak dulu dikeramatkan. Untuk yang mengambil air harus menggunakan daun woka. Air jere ini keluar sedikit-demi sedikit dari bebatuan. Rakyat setempat harus antri terlebih dahulu untuk mengambil air di tempat itu.

Air jere adalah sumur yang tak pernah kering, meski di musim kemarau. Bagi perempuan yang sedang haid, ada pantangan datang atau mengambil air di sumur jere.

Dalam taksonomi ikan-ikan ekonomis, etnis Bajo memiliki banyak varisasi nama untuk tiap jenis. Umpamanya, ikan kerapu (goropa), nelayan Bajo mengenal sedikitnya 12 jenis goropa yang disebut kiapu. Dalam bahasa Bajo, ikan disebut daeng. Daeng kiapu terdiri dari kiapu kola, malabut, silaburan, gembur, bagea, dan kearama. Selain itu, kiapu kekut, lolobu, sunu, karangan, marangsunai dan koteang. Sedangkan dalam bahasa Sangihe, kerapu ini disebut hohapu. Terdapat enam nama hohapu, terdiri dari hohapu bododia, matalenda, kaheu, gembur, kabo, kahaka dan buhintin.

Untuk kepiting, nelayan Bajo menyebut hewan laut ini sebagai kearama, sedangkan nelayan Sangihe mengenalnya dengan nama kahaka. Nelayan Bajo juga sangat mengenal berbagai jenis teripang yang disebut balat. Terdapat 16 nama teripang, seperti balat susuan, bengkulungan, tampelu, garidau, gamat, biru, dan bebat. Selain itu, balat balimbiang, nanasi, mera bulu, pote, garidau pote, abu-abu, ending, tagendong dan matalew.

Pengumpulan teripang sudah lama dilakukan orang Bajo atau biasa disebut sama ini. Bahkan orang sama dari Filipina sejak masa kolonial pemerintahan Hindia Belanda datang mencari teripang di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Menurut Ulaen (2003) pengumpulan hasil laut berupa teripang diperkenalkan para pedagang dan pelaut Cina. Tenaga penyelam atau pengumpul sebagian besar adalah orang sama dari Filipina.

Hak Ulayat Laut di Sulawesi Utara3

Sebelum masuk pada tematik konflik di kawasan TN Bunaken, mari kita menyusuri jejak-jejak hak ulayat laut yang masih tersisa dan dipertahankan di beberapa kampung pesisir, Sulawesi Utara. Di dalam hak ulayat laut ini, tak hanya melulu menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam laut. Tapi, ada dimensi sosial, ekonomi, dan ekologis untuk tetap mempertahankan sumberdaya alam yang tersedia secara turun-temurun. Ini menjadi aspek kehidupan bagi suatu komunitas. Keterbatasan akan sumberdaya laut di tengah kelimpahan biota pada musim-musim tertentu yang membuat masyarakat adat secara arif mengelola kawasannya.

Wahyono, dkk (2000) telah mendefinisikan hal ulayat laut (sea tenure) adalah seperangkat aturan (praktik pengelolaan) atau manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.4 Dalam sistem hak ulayat laut ini terdapat interaksi aspek sosial budaya yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan berbagai sistem matapencaharian lainnya. Pola tradisional dalam pemilikan sumberdaya laut ini dapat ditemukan di Kakorotan, Salurang, Para, Bebalang, Bentenan dan Ratatotok.

Di Kakorotan, Kabupaten Talaud, hingga kini rakyat setempat masih menerapkan manajemen wilayah dalam larangan dan pemanfaatan yang disebut eha. Secara administrasi wilayah Kakorotan mencakup Pulau Kakorotan, Intata dan Malo. Eha dipahami rakyat setempat sebagai upaya penghematan terhadap sumberdaya alam. Eha mengelola larangan pemanfaatan dalam periode tertentu di darat dan laut. Di darat, eha diberlakukan dalam mengambil buah dan daun kelapa. Selain itu, eha juga pernah diberlakukan untuk tanaman ubi jalar, singkong, pisang, pepaya, mangga, pala, cabai, daun pandan dan sagu, serta ternak.

Khususnya di pesisir dan laut, rakyat di Kakorotan memberlakukan eha dalam periode tiga sampai enam bulan. Kontrol terhadap sistem eha ini dilakukan lembaga adat yang disebut mangangeha. Mangangeha bertindak sebagai pengawas dan penegak hukum adat. Diperkirakan sistem eha ini mulai muncul sejak tahun 1628. Dalam lembaga adat ini terdapat perangkat adat yang disebut ratumbanua, inanguwanua, wuaho, sasarahe, a’aran, panucu dan ratu ruangan. Semua tetua adat di Kakorotan memiliki wakil dalam struktur tersebut.

Eha laut memiliki model pengelolaan wilayah laut lantaran setelah masa larangan, dilakukan upacara adat yang disebut mane’e. Mane’e yang merupakan tradisi menangkap ikan ini telah mendapat perhatian khusus di masa Gubernur Sulawesi Utara E.E. Mangindaan yang datang ke lokasi itu tahun 1997.5 Eha laut biasanya berakhir setiap bulan Mei. Tapi, sebelum eha berakhir, forum adat melakukan musyawarah kapan waktu yang tepat masa pantangan memanfaatkan sumberdaya laut itu berakhir.

Berakhirnya eha laut ini ditandai dengan upacara mane’e. Mane’e asal kata see atau sasahara.6 Arti kata ini adalah setuju, ya atau sepakat. Jadi, mane’e diartikan melaksanakan kegiatan yang telah disepakati secara serentak. Lebih spesifik lagi, mane’e berarti penangkapan ikan secara tradisional melalui musyawarah yang dilakukan secara bersama-sama.

Tahap pertama dalam upacara adat ini adalah maraca pundangi (memotong tali hutan). Tahap kedua, Mangolom Para (permohonan kepada Tuhan). Setelah memohon kepada Tuhan dilanjutkan dengan tahap ketiga, matuda tampa paneea (menuju lokasi upacara). Tahap keempat, mamabi u’ sammi (membuat alat) dan kelima mamoto u’ sammi (menebarkan alat). Tahap keenam, mamole u’ sammi (menarik alat ke darat). Selanjutnya tahap ketujuh, manganu ina (pengambilan hasil), kedelapan matahia ina (membagi hasil). Dan kesembilan manarimma alama (ucapan syukur).

Bahan yang digunakan dalam upacara ini antara lain janur kuning dan tali hutan. Janur di lingkarkan pada tali hutan. Ini disebut sammi. Sedangkan peralatan yang digunakan berupa tombak, parang dan keranjang kecil yang terbuat dari rotan.

Panen ikan pertama dilakukan saat pasang tertinggi dan surut terendah di Pulau Intata, sekitar akhir bulan April atau bulan Mei. Upacara mane’e dengan memperhatikan bulan di langit, pada hari ke dua atau tiga. Tak hanya rakyat Kakorotan yang ikut panen ikan di Ranne, Pulau Intata ini. Tapi juga dengan mengundang pihak luar. Tapi, orang luar hanya dapat memanen ikan di lokasi Ranne.7

Di awal tahun 2000, pelestarian eha dan upacara mane’e ini mendapat penghargaan Kehati Award dari Yayasan Kehati.

Di Salurang, Kabupaten Sangihe, ada tradisi khas penangkapan ikan yang disebut malombo. Malombo adalah penangkapan ikan tude atau selar (Selar crumenophthalmus) dengan alat tangkap jaring.8 Tradisi malombo dilakukan setiap bulan Juni hingga Agustus, pada musim selatan. Tapi, tidak setiap tahun ada malombo. Sebab ikan tude tidak muncul setiap musim selatan.

Di Para, Kabupaten Sangihe terdapat lokasi pemanfaatan ikan ekslusif yang disebut seke, nyare, soma, noru dan somba.9 Sistem ini dengan mengatur alat tangkap ikan sesuai dengan jenis dan lokasi penangkapan ikan. Tidak setiap alat tangkap dibolehkan di lokasi-lokasi itu. Sistem seke ditetapkan sebagai wilayah laut yang diamati secara empiris sebagai tempat ikan malalugis (layang). Di lokasi itu malalugis dalam jumlah ratusan ribu ekor datang bergerombol. Saat melakukan operasi penangkapan dengan menggunakan alat tradisional yang terbuat dari bambu yang disebut seke.

Sistem soma, ditetapkan sebagai lokasi penangkapan ikan dengan menggunakan pukat lingkar. Di lokasi itu, kawanan ikan pelagis, seperti layang, tude, deho dan jenis ikan lainnya diketahui sering melewati perairan itu pada musim tertentu. Sistem noru, mencakup wilayah di luar lokasi seke dan soma. Semua warga Para diijinkan menangkap ikan di lokasi itu. Sistem bubu, lokasinya berada di terumbu karang. Di lokasi ini perangkap ikan (bubu) diperkenankan ditempatkan di lokasi tersebut.

Model hak ulayat laut ini diperkirakan sejak pertengahan tahun 1500 di hampir semua tempat di Kepulauan Sangihe. Namun, sejak tahun 1970-an sistem ini mulai memudar di Sangihe. Terakhir yang masih sempat menggunakan model ini di Pulau Batunderang dan Kahakitang. Sedangkan di Para, tradisi ini masih tetap dipertahankan hingga sekarang ini.

Secara adat, wilayah ini tidak dapat dimasuki nelayan-nelayan dari desa lain. Begitu juga kelompok seke, tak dapat menangkap ikan di lokasi soma. Sejalan dengan modernisasi model pemanfaatan sumberdaya laut di Para ini mendapat tentangan dari nelayan desa tetangga, Mahangetang. Kekerasan dalam bentuk perang batu dan parang terus terjadi sejak tahun 1977. Konflik terjadi karena nelayan Mahangetang mulai melanggar aturan adat setempat dengan menangkap ikan di wilayah perairan Para.

Nelayan Mahangetang ini menangkap ikan dengan menggunakan soma di wilayah seke. Hal ini menimbulkan perkelahian antarkampung. Lalu dilerai pemerintah daerah, tapi konflik terus terjadi. Alasan nelayan Mahangetang, sumberdaya laut itu merupakan milik bersama, sebagaimana Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3.10

Tahun 1987, bentrok terjadi lagi. Lalu, nelayan Mahangetang mendapat hak selama satu hari dalam seminggu memanfaatkan ikan di Pulau Bawondoke. Secara administrasi, wilayah Para meliputi Pulau Para, Singgaluhang, Bawondeke, Manalokang, Sela dan Neru.11

Tahun 2003, jumlah penduduk Para sebanyak 2000 jiwa dan Mahangetang 600 jiwa. Setahun sebelumnya, Bupati Sangihe telah mengeluarkan surat keputusan bahwa nelayan Mahangetang dapat mengelola sumberdaya laut di Pulau Singgaluhang dan sekitarnya selama tiga bulan.

Awal Mei 2003, Majelis Tua Kampung Para melalui surat dari Kapitalaung (opolao atau kepala desa) telah bersurat kepada Bupati meminta agar mengeluarkan keputusan untuk melarang nelayan Mahangetang memanfaatkan sumberdaya laut di Pulau Singgaluhang dan sekitarnya. Rakyat kampung merasa wilayah perairan yang selama ini dikelola secara adat mulai diatur orang dari kampung lain.

Tapi, terjadi lagi “perang” antara Para dan Mahangetang. Empat warga Para masing-masing Tius Taputi (60 tahun), Parlis Pajiang (21 tahun), John Barauntu (42 tahun), Zeth Karulung (43 tahun) tewas. Diduga penyebab tewasnya keempat warga ini karena diserang warga Desa Mahangetang.

Pertikaian ini membuat Bupati Sangihe Aries J.T. Makaminan mengeluarkan SK Bupati nomor 65 tahun 2003 tentang penetapan kebijakan pengelolaan/penangkapan ikan di wilayah laut Pulau Singgaluhang. Isi Keputusan Bupati Sangihe antara lain untuk menghindari konflik yang berkelanjutan antara masyarakat Para dan Mahangetang, maka Pemda menetapkan status quo di wilayah pengelolaan sumberdaya laut Pulau Singgaluhang. Bupati juga mengeluarkan jadwal baru pemanfaatan sumberdaya laut, dengan ketentuan sejak awal Juni hingga September sumberdaya laut di Singgaluhang dimanfaatkan nelayan Para. Selanjunya September hingga Desember digilir ke nelayan Mahangetang. Setelah pembagian itu, mulai awal Desember hingga Juni dilakukan konservasi. Tidak diperkenankan nelayan Para dan Mahangetang mengatur dan mengelola lokasi tersebut.

Namun, rakyat di Para menolak SK Bupati itu. Sekitar 700 ratus warga Para melakukan demo di DPRD Sangihe dan Kantor Bupati. Di DPRD Sangihe, warga diterima Ketua DPRD Hein Piet Sahambangung dan Wakil Ketua Alex Tatinting. Warga Para menuntut SK Bupati nomor 65 itu dicabut dan meminta penanganan kasus pembunuhan yang menimpa warga Desa Para diproses sesuai jalur hukum.

Selanjutnya, Kepolisian Resort Sangihe, melakukan razia di lokasi pertikaian dan menyita puluhan panah wayer, panah bambu, panah Papua, sembilan samurai dan sebuah bazoka rakitan di Pulau Singgaluhang.

Di Pulau Bebalang, Kecamatan Manganitu, Kabupaten Sangihe, tradisi penangkapan ikan dengan alat tangkap seke pernah berkembang sejak dua abad lalu.12 Alat ini dipercaya dibawa oleh Datuk Tamaweole. Alat untuk menangkap ikan malalugis yang dipakai secara turun temurun ini terbuat dari bambu, rotan dan janur. Ikan malalugis ini dipandang sebagai milik bersama yang cara penangkapan dan pembagiannya harus diatur bersama. Pembuatan dan pengoperasian alat dilakukan beramai-ramai dengan melibatkan semua warga desa. Hasil yang diperoleh juga dibagi kepada seluruh warga, termasuk orang yang sudah tua, yatim piatu, guru dan pendeta.

Wahyono dkk (1991) memaparkan bahwa gotong royong dalam pembuatan dan pengoperasian seke pada dasarnya sebagai manifestasi solidaritas sosial di kalangan nelayan. Namun, munculnya alat tangkap pukat lingkar dan motorisasi telah melunturkan tradisi ini. Kebiasaan tolong menolong diganti dengan unsur uang. Ikatan solidaritas tidak lagi didasarkan atas kepentingan bersama.

Gejala kepemilikan pribadi ini makin menguat sejak 1970-an dengan adanya nelayan pemilik dan nelayan buruh. Dengan masuknya ekonomi pasar, nelayan di Pulau Bebalang semakin memperhitungkan uang dalam setiap usaha penangkapan ikan. Nelayan terdorong melakukan eksploitasi sumberdaya laut sebanyak mungkin, sebatas kemampuan tenaga dan peralatan yang dimiliki. Karena itu, terjadi pelanggaran batas daerah penangkapan yang telah disepakati bersama dan muncul kelompok-kelompok yang mengarah pada perpecahan.13

Di Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan, perairan tangkap berada di bagian selatan Teluk Totok. Teluk Totok dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah daratan Desa Ratatotok Dua.14 Klaim desa terhadap wilayah Teluk Totok sudah terjadi sekitar pertengahan abad ke-18. Rakyat Ratatotok sepakat melarang setiap penggunaan alat tangkap yang tidak digunakan nelayan Ratatotok. Alat tangkap yang ada di Ratatotok berupa bagan, jaring, pancing dan pole and line. Khusus penggunaan bagan, nelayan luar harus mendapat ijin sebelum memasang bagannya di Teluk Totok.

Di Bentenan, Kabupaten Minahasa Selatan, muncul klaim atas wilayah tangkapan setelah nelayan setempat menemukan sumber penghasilan baru, yakni nener di sepanjang dua kilo meter pantai Bentenan.15 Nener ini sejenis anak ikan bandeng yang terdapat di perairan payau.

Model dan sistem pemanfaatan sumberdaya laut di beberapa tempat di Sulawesi Utara ini menunjukkan bahwa ada simbol solidaritas sosial, budaya dan ekonomi. Di Kakorotan, Para dan Salurang ada nuansa sosial budaya yang ditumbuhkan. Sedangkan di Ratatotok dan Bentenan lebih ke motif ekonomi.

Solidaritas sosial dalam penangkapan ikan ini telah menimbulkan konflik di tengah arus modernisasi alat tangkap ikan dan globalisasi, seperti yang terjadi antara Para dan Mahangetang. Selama ini memang, sumberdaya alam laut pemilikannya masih dikuasai oleh negara. Wilayah perairan dianggap tempat tak bertuan (open access). Ciri kapitalis, sejak awal 1970-an dengan ditandai munculnya kepemilikan alat tangkap ikan secara individu, agaknya telah memudarkan sistem seke. Hal ini seperti yang terjadi di Bebalang dan Batunderang. Hampir di setiap lokasi yang masih mempertahankan sistem seke ini, konflik dan kekerasan sering terjadi.

Model kapatalis yang disertai dengan ekonomi pasar yang memperhitungkan uang sebagai hasil usaha telah mendorong eksploitasi sumberdaya alam laut. Unsur uang pula yang telah memutus solidaritas bersama. Kalau dicermati lebih jauh, warga yang bermukim di Desa Mahangetang hanya 600 orang dibandingkan dengan Desa Para sekitar 2000 orang. Mengapa justru eksploitasi besar-besaran tanpa mengindahkan hak ulayat laut intens dilakukan nelayan Mahangetang.

Menurut Ulaen (2004)16 penangkapan ikan yang dilakukan nelayan Mahangetang di lokasi hak ulayat laut Para ini karena keterbatasan ruang menangkap ikan. Sebab, di bagian laut lepas nelayan Filipina telah masuk dengan alat tangkap ikan yang lebih modern. Ada pun hasil tangkapan ikan nelayan Mahangetang ini dijual ke General Santos. Di perbatasan antara Indonesia dan Filipina ada kapal penampung ikan yang biasanya membeli hasil tangkapan tersebut.

Sebelum Indonesia dan Filipina menjadi negara berdaulat, menurut Ulaen (2003) keadaan awal Kepulauan Sangihe dan Talaud ini sebagai kawasan perniagaan. Lalu beralih status menjadi daerah perbatasan. Padahal, sejak dulu antara warga Mindanao Selatan dengan Sangihe dan Talaud telah terjalin ikatan kekerabatan, saling berkunjung dan perniagaan. Setelah itu, hubungan dianggap ilegal oleh Filipina dan Indonesia. Karena hubungan tetap dijalin dengan baik, antara Indonesia dan Filipina menjadikan sebagian Mindanao Selatan dan Nusa Utara sebagai daerah lintas batas (border crossing area). Kesepakatan ini dikukuhkan melalui perjanjian lintas batas (border crossing agreement).

Masuknya nelayan Filipina ke berbagai perairan di Sulawesi bagian Utara ini juga dikeluhkan nelayan di kawasan TN Bunaken sejak awal 1990-an. Adanya rumpon ini telah menghalangi jalur ruaya ikan pelagis. Nelayan Filipina menggunakan kapal purse seine dengan alat bantu rumpon.17

Menurut Zakaria, lemahnya sistem pengorganisasian sosial di dalam masing-masing komunitas masyarakat adat, akibat kebijakan-kebijakan pemerintahan. Padahal, pengorganisasian merupakan ‘basis material’ dari eksistensi dan/atau dasar keabsahan hak-hak adat.18 Apalagi, selama ini pemerintah memang cenderung mengabaikan dan menisbikan sistem hak kepemilikan yang hidup di masyarakat, khususnya masyarakat adat. Undang-undang harus mampu menyelesaikan sistem ganda dalam hal kepemilikan dengan jalan memberikan jaminan bahwa sisten hak kepemilikan de jure yang didasarkan pada hukum negara dan tidak menghancurkan sistem hak kepemilikan de facto yang didasarkan pada hukum adat.19

Karena itu, diperlukan penataan ulang sistem pengelolaan sumberdaya laut tradisional atau komunitas lokal dalam kerangka ekonomi kerakyatan. Sistem ini diharapkan mampu mengakomodasi hak-hak masyarakat lokal.




Catatan Bab 3

1Sigarlaki dkk, 1978, menyebutkan bahwa di Pulau Manado Tua terdapat kerajaan yang hubungannya dengan Minahasa hanyalah terdapat di pantai saja, yakni dataran Wenang, yang kemudian menjadi inti Kota Manado, lihat Sejarah Daerah Sulawesi Utara, diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 45 dan 53.

2 Alex J. Ulaen, 2003, Nusa Utara dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, hlm. 62. Menurut Ulaen, kontak pertama kedatuan Siau dengan para pelaut pengembara bangsa Barat, dalam hal ini Portugis dan Spanyol dapat dirunut kembali semenjak datu Pasuma dibaptis oleh pastor Diego de Magelhaes bersama Raja Manado, hlm. 64. Raja Pasuma pun diberi nama Don Jeronimo. Ulaen mengutip Documenta Maluccensia Jacobs mengungkapkan bahwa pembaptisan Raja Pasuma ini bukan di Siau, melainkan di Manado. Selain itu, sangat jelas bahwa perkembangan pranata kedatuan di pulau-pulau Sangihe dan Talaud tidak dapat dipandang lepas dari perkembangan pranata politik dan kekuasaan, baik di daratan Mindanao, Sulu, Ternate, Tidore, Maluku Utara, Gowa dan Bone di Sulawesi Selatan.

3 Hak ulayat laut di beberapa kampung pesisir di Sulawesi Utara, terutama di kepulauan Sangihe dan Talaud seperti halnya sasi di Kepulauan Maluku dan beberapa tempat di Papua.

4 Ary Wahyono, dkk, 2000, Hal Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, penerbit Media Pressindo, Cetakan pertama, September. Untuk mengatasi kehancuran sumberdaya alam yang paralel dengan keberlangsungan praktik tradisional, menurut Wahyono dkk, dengan jalan memberikan hak-hak kepemilikan (property right) melalui aturan main, hukum atau kebijakan publik dan kontrol serta pengawasan dan pengaturan terhadap sumberdaya alam tersebut.

5 Bulan Mei tahun 2000, ketika diadakan upacara Mane’e, penulis bersama wartawan lainnya ikut rombongan Menteri Eskplorasi Laut dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja, Gubernur Sulawesi Utara A.J. Sondakh dan sejumlah pejabat lainnya ke Kakorotan, dengan menggunakan KRI Tongkol, Menurut Wartawan LKBN Antara Joutje Kumajas, ketika dia datang bersama Gubernur Mangindaan, suasana di Kakorotan dan upacara mane’e masih alami. Tapi, tiga tahun berikutnya ada kesan sudah tidak alami. Sebab di Pulau Intata, tempat upacara mane’e sudah ada rumah adat dan spanduk. Penulis juga melihat di Pulau Intata yang berpasir putih itu sudah ada tanggul dari beton yang tentunya mengurangi kesan alami. Informasi yang diperoleh di lokasi, tanggul beton itu dibuat pada Bulan April 2000. Selain itu, bukankah lebih murah dan tahan lama menggunakan benteng alamiah terumbu karang dan menanam kembali tumbuhan mangrove dan tanaman pantai di lokasi itu. Bila memang eha ini dipertahankan dengan masa larangan pemanfaatan biota laut di lokasi tertentu dalam periode tiga sampai enam bulan terus berlangsung, mengapa abrasi di Pulau Intata sampai menggerus pantai berpasir putih itu? Abrasi juga sebagai penanda hilang atau rusaknya benteng alami pantai, seperti terumbu karang di lokasi tertentu.

6 Dicatat berdasarkan Sinopsis Mane’e yang ditulis K. Talau, Mei 1997. K. Talau adalah salah seorang tokoh masyarakat setempat.

7 Setelah Gubenur Mangindaan menghadiri upacara mane’e, Harian Manado Post menurunkan tulisan bersambung tentang mane’e. Mangindaan bersama rombongan pejabat Bupati Sangihe dan Talaud yang ikut acara adat mane’e hari Jumat 9 Mei 1997 itu juga melontarkan gagasan akan mengembangkan tradisi mane’e ini sebagai iven pariwisata di Kakorotan. Aspek pengembangan pariwisata agaknya yang masih ditonjolkan melalui kegiatan tersebut. Dalam pada itu, Kelola lalu mengembangkan proposal tentang mane’e ini. Tahun 1998 dan 1999, tim Kelola telah melakukan penggalian data, sejarah dan informasi mengenai mane’e di Kakorotan. Kegiatan ini didukung Yayasan Kehati.

8 Wahyono, dkk, 2000, Op. cit

9 Eddy Mantjoro dan Tomoya Akimichi, 1992, Sistem Pemilikan Tradisional terhadap Sumberdaya Perikanan di Pulau Para dan Kahakitang, Jurnal Fakultas Perikanan Unsrat, Volume II no. 1. Lihat juga Wahyono, dkk, 2000.

10 Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Seperti yang sering dikemukakan kalangan aktivis Ornop, salah satu pasal yang ada dalam UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 3 yang menimbulkan hak menguasai negara, justru disebut sebagai sumber malapetaka penyingkiran hak-hak masyarakat adat, lihat R. Yando Zakaria, 2004, Gerakan Masyarakat Adat: Menguat dalam Wacana dan Aksi, Melemah dalam Konstitusi. Bahan ini diperoleh dari mailing list Communitygallery@yahoogroups.com. Selanjutnya dikatakan Zakaria, setelah amandemen kedua pada tahun 2000 lalu, pada pasal 18B UUD 1945, diatur bahwa (1) negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang; (2) negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI, yang diatur dalam undang-undang. Karena itu, Zakaria mengusulkan dua hal tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk melahirkan undang-undang tentang otonomi desa atau keberadaan masyarakat adat. Selain itu, memasukkan masalah pengakuan hak masyarakat hukum adat ke dalam bab yang mengatur masalah hak asasi manusia. Kedua hal tersebut perlu dikedepankan. Sebab, Zakaria mempertanyakan, apakah masyarakat adat telah mampu menegakkan ‘kedaulatan’ sebagaimana yang diinginkannya, tanpa adanya perlindungan hukum formal sekalipun? Dalam tulisan lainnya, Zakaria juga pernah menyampaikan pengaturan hak-hak masyarakat adat perlu dilakukan ke dalam perundang-undangan, sehingga hak-hak masyarakat adat (dan kewajibannya) tidak begitu saja gugur dan disingkirkan oleh peraturan-perundangan lain. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Zakaria, 1997, “Hak Kelola Rakyat atas Sumberdaya Alam,” dalam laporan lokakarya advokasi kebijakan Sumberdaya Alam untuk Rakyat, Serpong 29-30 Maret, kerjasama tim kecil kebijakan sumberdaya alam untuk rakyat dan LATIN. “Seringkali ada peraturan perundangan dibungkus kedok “kepentingan pembangunan” dan “kepentingan orang banyak.” Lihat juga Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, 2000, Men-Siasat-I Otonomi Daerah: Panduan fasilitasi pengakuan dan pemulihan hak-hak rakyat, Diterbitkan Badan Pelaksana KPA bekerjasama dengan INSIST Press, Desember, cetakan pertama. Jika memang negara mengakui hak ulayat persekutuan masyarakat adat, menurut Fauzi dan Zakaria, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945, maka pengakuan itu harus mengacu pada kedaulatan persekutuan hidup setempat atas sumber daya yang menjadi sumber kehidupan. Baik itu secara simbolis maupun realis dari masyarakat adat yang bersangkutan. Atas dasar adanya penghormatan atas hak-hak masyarakat adat, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 UUD 1945, masalah property right ini harus dihitung dari bawah ke atas.

11 Tim Kelola telah melakukan pendampingan dan melakukan pemetaan di wilayah Para tahun 2001. Namun, peta yang dibuat belum disosialisasikan atau dimusyawarahkan dengan desa tetangga Mahangetang. Ketika tim Kelola akan ke Mahangetang dicegat majelis tua kampung dan kapitalaung. Sebab, telah beredar isu bahwa orang Kelola yang ke Mahangetang akan dipukul. Roem Topatimasang pernah mengingatkan tanpa suatu dukungan proses-proses hukum dan agenda politik yang jelas, segera setelah pemetaan, maka peta yang dihasilkan itu memang akan menjadi peta semata-mata. Lihat tulisan Topatimasang, dalam buku Ton Dietz, 1998, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam, diterbitkan atas kerjasama INSIST, Pustaka Pelajar dan REMDEC, cetakan pertama. Tentu saja, menurut Topatimasang, upaya untuk mengedepankan dan membela hak-hak masyarakat adat setempat atas kawasan tradisional dan sumberdaya mereka, tidak boleh sampai terjebak ke dalam perangkap romantisme berlebihan. Sebab, sebagai entitas budaya yang hidup dalam proses-proses sejarah, dinamika internal dari hak-hak tersebut juga memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan yang harus dan dapat lebih disempurnakan dan dikembangkan secara lebih arif.

12 Ary Wahyono, dkk, 1991, Bebalang: Memudarnya Fungsi Seke, PMB-LIPI.

13 Ibid

14 Wahyono, dkk, 2000, Op. cit

15 Wahyono, dkk, 2000, Op. cit

16 Komunikasi pribadi

17 Daniel R. Monintja dan Zulkarnain, 1995, telah melakukan penelitian tentang Analisis Dampak Pengoperasian Rumpon Philippine di Perairan Zona Ekonomi Ekslusif terhadap Perikanan Cakalang di Perairan Teritorial Utara Sulawesi. Monintja dan Zulkarnain (dari Fakultas Perikanan IPB) mengemukakan bahwa jumlah rumpon Filipina yang dioperasikan di perairan ZEE telah melebihi jumlah yang diizinkan dan sebarannya telah masuk perairan teritorial. Sesuai izin beroperasinya kapal Filipina ini bekerja sama dengan perusahaan Indonesia. Sesuai dengan izin rumpon yang ditempatkan ini hanya 630 buah. Kenyataan di lapangan, rumpon yang ditebar melebih 1000 unit.

18 Zakaria, 1997, Op. cit hlm 42

19 Fauzi dan Zakaria, 2000, Op. cit. Menurut Fauzi dan Zakaria, yang menjadi titik permasalahan inti dari antagonisme yang terjadi antara negara dan komunitas adalah proses perampasan dan pengambilalihan hak-hak ruang yang dimiliki oleh masyarakat adat secara turun-temurun, hlm 145-146. Komunitas pada dasarnya merupakan sebuah bentuk pemerintahan lokal yang otonom dan legitimasi yang diperoleh seharusnya berbasis pemberdayaan komunitas.

Bab 4. Zonasi

Setelah masuk ke beberapa model hak ulayat laut yang ada di kampung pesisir di Sulawesi Utara, kita kembali lagi ke persoalan di TN Bunaken. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, pengelolaan taman nasional diatur melalui pembagian wilayah-wilayah fungsional berupa zonasi (mintakat). Di dalam kawasan, konflik kepentingan sering terjadi, terutama dari pengguna usaha wisata selam dan nelayan setempat. Para penyelam sering merasa terganggu bila ada nelayan setempat yang mencari ikan ketika ada penyelaman di sekitar lokasi itu.

Program NRM/USAID, tahun 1993 mulai menjajaki usulan fungsi zonasi ini dengan melibatkan pemanfaat, terutama masyarakat setempat dan lembaga yang berkepentingan dalam kawasan pelestarian alam. Zona-zona antara lain dibagi untuk pemanfaatan dan yang dilindungi penuh (inti).

Pimpinan tim NRM I di Sulawesi Utara, Graham F. Usher dan Penasehat Pengembangan Masyarakat Arief Wicaksono, pernah menjelaskan bahwa untuk lokasi zona inti, syarat-syaratnya meliputi:1

1. Kondisi lingkungan masih asli
2. Keberadaan satwa/flora yang dilindungi atau langka
3. Ekosistem terpadu, antara lain, dilihat dari asosiasi antarhabitat dalam satu ekosistem.
4. Mewakili ekosistem di sekitarnya.
5. Lokasinya merupakan wilayah kunci dalam kesuburan dan kesinambungan ekosistem, misalnya sebagai tempat peneluran ikan atau terumbu sumber benih (source reef).
6. Mempunyai luas yang cukup, minimal 50 hektar atau sekitar 1 kilometer X 1 kilometer.
7. Praktis untuk dikontrol
8. Praktis untuk ditetapkan. Artinya tidak akan menimbulkan konflik kepentingan yang tidak dapat diatasi melalui musyawarah.
9. Mempunyai nilai estetika tinggi, tapi ini tidak mutlak.


Melalui musyawarah di kampung-kampung dan ditambah dengan beberapa kegiatan lainnya yang melibatkan rakyat setempat, telah dihasilkan usulan zonasi di kawasan Bunaken. Musyawarah dilakukan ditiap kampung, antarkampung dan melibatkan para pihak dalam pengelolaan kawasan. Saat seminar Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bunaken tahun 1994, usulan zonasi yang sempat diprotes adalah berlokasi di Pulau Nain. Zonasi dan Rencana Pengelolaan TN Bunaken ini dilokakaryakan awal Agustus 1994 dengan mempertemukan berbagai pihak yang terlibat dalam pegelolaan TN Bunaken.

Setahun kemudian, yakni tanggal 5 Oktober 1995, Bappenas dan Departemen Kehutanan bersama NRMP mempresentasikan Rencana Pengelolaan TN Bunaken. Presentasi dengan pimpinan sidang Herman Haeruman (Bappenas) itu dengan rencana aksi pengesahan zonasi berdasarkan SK Dirjen PHPA dan pengesahan Rencana Pengelolaan TN Bunaken berdasarkan SK Menteri Kehutanan.2 Selain itu, pernyataan dukungan Pemda berdasarkan Perda tingkat I Sulut, penetapan dan pengesahan Forum Koordinasi berdasarkan Perda, Surat Keputusan Gubernur atau SK Bersama Menteri Kehutanan-Gubernur Sulut.

Pengesahan zonasi ini direncanakan pada bulan November 1995, sedangkan pengesahan Rencana Pengelolaan TN Bunaken pada bulan Januari 1996. Seperti diketahui, rencana terus molor setahun lebih.3 Malah, yang lebih dulu disahkan adalah Rencana Pengelolaan TN Bunaken tahun 1996 sampai dengan 2021. Rencana Pengelolaan ini telah dinilai Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Sulawesi Utara Soegeng Widodo dan Kepala Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara Endang Mashudi pada bulan Juni 1996. Sedangkan yang mengesahkan adalah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Soemarsono dengan diketahui Ketua Bappeda Sulawesi Utara W. Punuh. Setahun setelah Rencana Pengelolaan disahkan, Direktur Jenderal PHPA mengeluarkan SK zonasi pengelolaan Taman Nasional Bunaken nomor 147/Kpts/DJ-VI/1997, pada tanggal 29 September 1997.

Selanjutnya, pengelolaan TN Bunaken bukan lagi dibawah Sub BKSDA Sulawesi Utara. Sebab, telah dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai TN Bunaken. Menurut Kepala Balai TN Bunaken Dominggus, peraturan zonasi itu mencakup, zona inti, zona pemulihan, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan terbatas, zona pemanfaatan intensif, zona pendukung perairan, zona pendukung daratan dan zona penyangga.4
Zona inti, mutlak dilindungi. Didalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Kegiatan yang diperbolehkan hanya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.
Zona pemanfaatan. Pada zona pemanfaatan di samping dapat dilakukan kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian, juga diperuntukan bagi pusat pengembangan pariwisata alam dan rekreasi.
Zona rehabilitasi dan zona pemulihan hanya untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, serta pemulihan jenis tumbuhan dan satwa asli.
Zona pendukung perairan dapat dilakukan kegiatan pada butir a dan kegiatan wisata alam terbatas.
Zona pendukung daratan dapat dilakukan kegiatan pada butir a dan kegiatan wisata alam terbatas.
Zona pendukung umum dapat dilakukan kegiatan pada butir a, d dan e.
Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan pada kawasan Taman Nasional Bunaken harus mendapat izin Menteri Kehutanan c.q. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Bila dicermati dengan jeli, Peraturan zonasi yang telah ditelorkan Dirjen PHPA ini banyak merugikan rakyat di kawasan Taman Nasional Bunaken. Sebab, kegiatan-kegiatan di dalam zona-zona lebih mengedepankan kepentingan wisata dan rekreasi yang paling banyak dilakukan pihak luar kawasan. Zona pemanfaatan untuk rakyat praktis tidak disebutkan, selain hanya dapat menempati tanah di dalam kawasan. Hal ini bertolak belakang dengan penjelasan pada Buku III Rencana Tapak Pengelolaan Taman Nasional Bunaken (tahun 1996) yang menyebutkan bahwa zona pemanfaatan masyarakat sekitar 70 persen dari luas total kawasan sebagai jaminan kepentingan penduduk setempat.5

Sikap mendua yang ada dalam pengelolaan Taman Nasional Bunaken ini lalu dipertegas oleh Dominggus. Dalam laporan singkatnya, yang menjadi lampiran dalam surat kepada Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam (sebelumnya PHPA) Dominggus menghadapi dilema dalam menjalankan aturan lantaran terdapat dua sistem zonasi.6 Sistem pertama, berdasarkan rencana pengelolaan Taman Nasional Bunaken yang ditetapkan tahun 1996, dan sistem kedua berdasarkan SK Dirjen PHPA nomor 147/Kpts/DJ-VI/1997 tentang zonasi Taman Nasional Bunaken.
Catatan Bab 4

1 Dalam Program NRMP tahap pertama, kegiatan zonasi mulai fasilitasi bersama warga di kampung-kampung dan dengan pemanfaat lainnya. Dari sekitar 20 desa di dalam kawasan, telah dipilih desa-desa yang menjadi prioritas dikunjungi untuk belajar dan berkegiatan bersama. Hal ini dengan melihat (1) pola mencari nafkah, (2) sikap rakyat terhadap kawasannya, (3) jumlah penduduk, (4) kreativitas dalam menyambung hidup di kawasan yang terbatas, (5) potensi konflik yang terjadi di dalam desa. Selain itu, (6) kepadatan penduduk yang jumlahnya melebihi 1000 jiwa, (7) jumlah penduduk yang kurang dari 1000 jiwa, (8) kurang tersentuh program pemerintah, sementara di desa tetanggannya banyak dilaksanakan program pemerintah, (9) aktivitas masyarakat dulu dan sekarang, dan (10) mempunyai nilai konservasi tradisional, tetapi mulai luntur dengan perkembangan zaman.

2 Lihat laporan Presentasi Rencana Pengelolaan TN Bunaken, 5 Oktober 1995, di ruang Pertemuan Bappenas, Jakarta. Dilaporkan Arief Wicaksono, NRM/ARD.

3 Ibid. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa proses yang dibutuhkan untuk mengesahkan Rencana Pengelolaan TN Bunaken tidak sederhana. Berbeda dengan kawasan taman nasional di daratan, di mana Departemen Kehutanan memiliki kewenangan penuh untuk mengelola habitat dan ekosistemnya. Pada kondisi di TN Bunaken, sejauh pengertian Dirjen PHPA berdasarkan SK Menhut, wewenang yuridis PHPA hanya sebatas wilayah perairan di dalam tata batas yang telah ditetapkan, berikut dataran terumbu hingga pasang tertinggi. Daratan, terutama di pulau-pulau, bukan lagi wewenang yuridis PHPA. Demikian halnya dengan masyarakat yang bermukim di dalamnya. Namun, karena pengelolaan PHPA menggunakan pendekatan ekosistem, maka dalam tahap perencanaannya memperhatikan keberadaan daratan dan masyarakat, serta menjadi unsur penting proses perencanaan. PHPA membutuhkan kerjasama dengan pihak Pemda tingkat I dan II untuk kegiatan di daratan, misalnya wisata dan masyarakat setempat.

4 Dominggus, 1998, Loc. cit.

5 Lihat Lestari, dengan judul Sistem Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, edisi Sabtu 30 Agustus 2003.

6 Dominggus, 2000, Laporan singkat Kepala Balai tanggal 13 November 2000: Menuju Pengelolaan Taman Nasional Bunaken yang bertumpu pada dukungan lokal.