Saturday, February 24, 2007

Bab 3. Tradisi dan Hak Ulayat Laut

Ote kenta
Pasikete ilomentamai
Aribala daleo he
Bongo pusimbekise
Tamangapa taipamonga
Silome
Kadehooo!


Inilah syair menangkap ikan dengan menggunakan layang-layang yang biasanya diucapkan nelayan dari Desa Alungbanua, Pulau Bunaken. Bagi sebagian orang yang baru melihat, nelayan ini seperti bermain layang-layang di laut. Padahal, nelayan ini sedang mencari ikan dengan alat tangkap yang cukup unik: tali nilon, umpan dari sarang laba-laba dan layang-layang. Ikan target yang ditangkap dengan menggunakan layang-layang ini adalah jenis sako (Tylosurus crocidales).

Tidak setiap hari ada nelayan yang menangkap ikan dengan layang-layang. Sebab, ikan sako tidak muncul dalam jumlah banyak pada setiap musim. Nelayan baru melaut menangkap sako, tiap musim Barat, antara bulan Oktober hingga Desember.

Adapun “kata-kata” diatas akan diucapkan saat melaut. Arti ucapan tersebut:

Oke sako
Tangkap (makan) itu laba-laba
Jangan biarkan begitu saja
Penusuk satu ikat
Mengapa harus disimpan
Kalau tidak digunakan
Untuk menangkap umpan
Si laba-laba
Tahan Kuat!


Pada musim barat, jenis ikan sako ini banyak muncul di perairan sekitar Pulau Bunaken dan sekitarnya. Ikan ini menyukai tempat yang berarus cukup kuat. Makanya, nelayan akan berada di antara arus yang cukup kuat saat memancing ikan ini.

Penangkapan ikan dengan layang-layang tidak merusak karang. Sebab, nelayan jauh dari daerah terumbu karang. Adapun umpan ini dari sarang laba-laba yang berkaki pendek. Lalu, nelayan akan membuat sarang itu mirip dengan ikan teri. Sehingga ikan sako akan terpedaya dan mengira itu ikan teri yang menjadi mangsanya. Kalau ikan sako masih belum menyentuh atau memakan umpan dari sarang laba-laba ini, nelayan makin kuat berteriak dengan ucapan seperti di atas.

Menangkap ikan dengan umpan sarang laba-laba sambil bermain layang-layang ini hanyalah satu dari berbagai tradisi penangkapan ikan di kawasan TN Bunaken. Namun, sejauh ini, hukum adat, termasuk hak ulayat laut di kawasan TN Bunaken telah luntur seiring dengan modernisasi di berbagai segi kehidupan, termasuk pada alat tangkap ikan. Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan secara turun-temurun menyangkut kebutuhan sosial dan menjadi bagian aturan kehidupan yang tak tertulis. Hal ini disepakati bersama dalam suatu komunitas atau daerah tertentu yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.

Berikut ini gambaran tradisi dan sistem pengelolaan di kawasan TN Bunaken.

Pulau Bunaken dan Siladen

Pulau Bunaken yang berbentuk seperti bulan sabit itu, memiliki luas 696,8 ha. Pulau Bunaken ini memiliki spot-spot penyelaman andalan dan mengalami tekanan dalam hal jumlah turis yang masuk ke Bunaken. Di Pulau Bunaken terdapat dua desa. Pertama, Desa Bunaken dengan wilayah administrasi hingga ke Tanjung Parigi dan Pulau Siladen. Kedua, Desa Alungbanua.

Menurut Sekretaris Desa Alungbanua, Tein Tamamilang, hukum adat yang masih dipertahankan dalam tata cara membangun rumah, berkebun, serta pembuatan perahu besar, perahu bercadik (londe) dan peluncurannya. Saat berkebun, hal pertama yang dilakukan adalah pembabatan yang diawali dengan pembacaan mantera. Tujuannya agar tanaman terhindar dari serangan hama.

Untuk menanam padi, misalnya, didahului dengan penanaman pisang goroho atau mas, cakar bebek dan ganda rusa. Makna yang terkandung dalam kebiasaan ini agar padi menjadi subur dan banyak menghasilkan butir-butir padi. Ketika padi sudah berbuah, harus diberi telur, cermin dan pohon bambu. Pantangan bila akan memetik padi, dilakukan pemotongan kayu atau pohon yang ada di sekitar kebun itu. Jika dilanggar, akan ada serangan hama tikus dan burung. Setelah ada hasil, yang pertama diberi makan adalah peralatan yang digunakan untuk berkebun.

Dalam pembuatan perahu besar atau skoter, tidak sembarangan menebang pohon. Pohon yang akan digunakan untuk pembuatan perahu harus dipotong saat bulan mati di langit. Ini dimaksudkan agar kayu yang digunakan tidak mudah lapuk atau diserang serangga. Menebang pohon dilakukan pada hari genap, Selasa, Kamis dan Sabtu. Sedangkan dalam pembuatan londe, pasak perahu atau paku terbuat dari kayu yang jumlahnya genap. Haluan dan buritan juga perlu untuk dilubangi. Di dalam lubang itu dimasukkan emas. Maknanya, agar perahu mendatangkan hasil yang banyak.

Desa Alungbanua terletak dibagian bawah perbuktian. Dalam bahasa Sangihe, alung banua berarti kediaman dibawah. Alung artinya dibawah dan banua disebut sebagai kediaman. Setiap musim barat nelayan setempat masih ada yang mempertahankan cara penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap layang-layang.

Dalam berkesenian, di Alungbanua masih ditemukan tradisi masamper dan tarian cakalele. Masamper termasuk salah satu jenis pesta dengan melantunkan lagu-lagu. Tradisi masamper, menurut Ulaen, tidak lepas dari unsur kesenian-gereja yang diperkenalkan oleh pekabaran injil. Kesenian ini berkembang pesat dan paling menonjol karena adanya tradisi serupa dalam budaya orang Sangihe dan Talaud pra-Kristen, terutama masambo (Ulaen, 2003).

Tradisi masamper ini tidak hanya sekadar bernyanyi bersama yang disertai dengan gerak tari si pembawa lagu. Ulaen mengemukakan bahwa pengaturan tempat dalam tradisi masamper selalu membentuk sebuah bulatan. Orang-orang yang terlibat dalam masamper ini membiarkan bagian tengahnya kosong. Ini yang menjadi tempat bagi mereka yang mendapat giliran memimpin lagu.

Sedangkan tarian cakalele, seperti halnya yang berkembang di Maluku Utara, untuk menyambut tamu-tamu agung bila berkunjung ke suatu daerah.


Pulau Manado Tua

Pulau Manado tua yang berbentuk kerucut ini memiliki tinggi sekitar 800 meter dari permukaan laut. Pulau seluas 1.052,1 ha ini pernah menjadi pusat kerajaan Bawontehu, kerajaan tertua di kawasan itu. Tercatat tahun 1523, orang Portugis datang ke Manado Tua dan pesisir Manado. Tapi yang paling berpengaruh saat kedatangan orang Portugis bernama Diego de Magelhaes yang membaptis sebanyak 1500 orang, termasuk raja Manado Tua.1 Antropolog Universitas Sam Ratulangi Manado, Alex J. Ulaen menambahkan bahwa perkembangan kedatuan Siau --yang berakar dari Kedatuan Bawontehu (Manado Tua) mempunyai ikatan genealogi dengan keturunan Medellu—sangat dipengaruhi oleh kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol.2

Nilai konservasi yang pernah ada di Pulau Manado Tua, antara lain, larangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di puncak Manado Tua. Larangan ini diberlakukan saat kolonialisme Belanda. Lokasi larangan untuk kegiatan penanaman atau berkebun pada ketinggian sekitar 500 hingga puncaknya. Di beberapa lokasi juga ada tempat-tempat pertemuan yang disebut los.

Di Pulau Manado Tua, terdapat satwa endemik kera hitam (Maccaca nigra). Diduga kera hitam ini memiliki perbedaan genetik dengan kera hitam yang ada di daratan Pulau Sulawesi. Populasi kera hitam di Manado Tua sekarang ini sudah menyusut. Di masa Kerajaan Bawontehu, pernah terjadi kekurangan makanan akibat merajalelanya kera hitam ini.

Pulau Mantehage dan Pulau Nain

Pulau Mantehage dengan luas 738,1 ha, dikelilingi hutan mangrove yang cukup luas. Sebelum terjadi pembabatan mangrove besar-besaran, pemukiman di Pulau Mantehage tidak kelihatan dari jauh. Sebab, pulau ini dikelilingi mangrove dengan luas sekitar 1000 hektar. Di Pulau ini terdapat empat desa. Masing-masing Desa Bango, Tangkasi, Buhias dan Tinongko. Sebelum terbagi menjadi empat desa, di pulau ini mulanya hanya ada satu desa dan secara administrasi pernah bergabung dengan Pulau Nain.

Di Desa Bango, pernah ada sistem pengelolaan dan pemanfaatan ikan yang disebut seke. Sistem seke ini merupakan hak ulayat laut yang pernah ada di banyak pulau-pulau di Sangihe (akan dijelaskan lebih lanjut). Wilayah laut ini ditetapkan untuk pemanfaatan ikan karena menjadi tempat yang didatangi gerombolan ikan. Bertahun-tahun sistem ini sudah tidak ditemukan lagi di Desa Bango. Selain itu, nelayan Bango juga telah mengamati gerombolan ikan yang datang ke bagian barat Pulau Mantehage, setiap bulan 13 dan 14 dilangit.

Dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, rakyat di Desa Tangkasi memiliki pengetahuan yang disebut lokasi pemanfaatan dan yang dilindungi. Di masa kolonial Belanda, rakyat yang bekerja sebagai penebang mangrove dapat berkegiatan di tempat yang disebut “blok.” Ada blok tua dan ada blok baru. Blok tua menandakan di tempat itu pernah dilakukan kegiatan penebangan dan penanaman kembali. Lalu, pekerja penebang mangrove akan berpindah ke lokasi lain.

Zona yang dilindungi atau lokasi keramat berada di Pulau Pananggalan dan Lagenang. Pulau Pananggalan yang semua lokasi ditumbuhi mangrove berada di depan Pulau Nain. Bila ada yang melanggar pantangan itu, akan terkena penyakit atau bahkan meninggal dunia. Sistem blok dan daerah larangan ini telah hilang akibat campur tangan pemerintah dalam pengelolaan hutan mangrove. Di masa kemerdekaan, setelah hutan mangrove ditangani instansi Kehutanan, sistem ini tidak diberlakukan lagi. Apalagi, ketika terjadi pergolakan Permesta. Orang-orang dari daratan Pulau Sulawesi yang mengungsi ke Pulau Mantehage akhirnya bertahan hidup sebagai penebang bakau. Intensitas pemanfaatan mengrove kala itu, cukup tinggi mulai tahun 1958 hingga 1962.

Yang menarik lainnya di Pulau Mantehage adalah cara-cara pemanfaatan mangrove sebagai obat tradisional. Pemanfaatan mangrove untuk pengobatan ini sangat beragam. Rakyat setempat memanfaatkan mangrove untuk menyembuhkan berbagai penyakit, terutama di Desa Tangkasi. Sebanyak 18 jenis mangrove (dari sedikitnya 28 jenis mangrove) di Pulau Mantehage telah dimanfaatkan sebagai obat.

Jenis-jenis mangrove di Pulau Mantehage yang dimanfaatkan rakyat setempat sebagai bahan obat alami. Jenis Acanthus ilicifolius (nama lokal gahana atau kamunte) sebagai obat luka baru, menghentikan darah, luti air, sarampa, dan gatal-gatal. Jenis Bruguiera cylindrica (ting putih) dan B. sexangula (makurung) untuk luka baru, sedangkan B. gymnorrhiza (makurung laut) untuk luka baru anti racun ikan dan mangir (jamur pada lidah bayi yang masih menyusu). Jenis Ceriops decandra (ting papua) dan C. tagal (ting) sebagai obat luka baru.

Jenis Excoecaria agallocha (buta-buta) untuk obat pencuci perut, sakit gigi dan gigi berlubang. Heritiera littoralis (kolot kambing) sebagai obat gatal-gatal dan menghaluskan wajah. Nypa fruticans (bobo) untuk obat muntah darah, rematik, nyeri otot, luka dalam, tuberculosis (TBC), anti tetanus, luka baru dan menghentikan darah. Jenis Rhizophora apiculata (lolaro merah), R. mucronata (lolaro/lolaro bulu) dan R. stylosa (lolaro/lolaro putih) untuk luka baru, anti racun ikan, dan sakit lutut.

Mangrove jenis Sonneratia alba (posi-posi), S. caseolaris (posi-posi) dan S. ovata (posi-posi) untuk obat nyeri otot, sakit pinggang atau tulang, rematik, malaria, obat kuat, luka, tuberculosis (TBC). Selain itu, buahnya digunakan untuk menghaluskan wajah. Terminalia cattapa (nusu/ketapang) untuk obat sakit perut dan penawar diare. Jenis Xylocarpus granatum (kira-kira) dan X. mollucensis (kira-kira) untuk obat penawar diare dan bedak. Selain mangrove, terdapat ratusan jenis tanaman lainnya dan biota laut yang digunakan sebagai obat.

Sedangkan di Pulau Nain dengan luas 167,5 ha berada paling luar di kawasan TN Bunaken. Pulau Nain, mulanya banyak ditumbuhi ganemo (melinjo). Dalam bahasa Bajo ganemo ini disebut bagu. Sebelum disebut Pulau Nain, nama pulau ini Bagu. Tetua kampung Nain, Mustopa Nendey (1993) menceritakan nama Nain itu muncul saat pemerintahan Hindia Belanda. Nain artinya pulau ke sembilan, dari hamparan pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage, Talise, Bangka, Gangga dan Lehaga.

Rakyat di Nain tidak memanfaatkan mangrove di pulau itu. Selain lantaran tumbuhan mangrove tidak terlalu luas, juga berfungsi ekologis. Bila mereka memerlukan mangrove akan dibeli atau diambil langsung di Pulau Mantehage. Lokasi mangrove di Pulau Nain ini seluruhnya dilindungi.

Bagi orang luar yang datang ke Pulau Nain, harus membasuh mukanya dan minum air jere yang berada di sumur didekat dermaga Pulau Nain. Tentang air jere yang berada di perkampungan Bajo ini sejak dulu dikeramatkan. Untuk yang mengambil air harus menggunakan daun woka. Air jere ini keluar sedikit-demi sedikit dari bebatuan. Rakyat setempat harus antri terlebih dahulu untuk mengambil air di tempat itu.

Air jere adalah sumur yang tak pernah kering, meski di musim kemarau. Bagi perempuan yang sedang haid, ada pantangan datang atau mengambil air di sumur jere.

Dalam taksonomi ikan-ikan ekonomis, etnis Bajo memiliki banyak varisasi nama untuk tiap jenis. Umpamanya, ikan kerapu (goropa), nelayan Bajo mengenal sedikitnya 12 jenis goropa yang disebut kiapu. Dalam bahasa Bajo, ikan disebut daeng. Daeng kiapu terdiri dari kiapu kola, malabut, silaburan, gembur, bagea, dan kearama. Selain itu, kiapu kekut, lolobu, sunu, karangan, marangsunai dan koteang. Sedangkan dalam bahasa Sangihe, kerapu ini disebut hohapu. Terdapat enam nama hohapu, terdiri dari hohapu bododia, matalenda, kaheu, gembur, kabo, kahaka dan buhintin.

Untuk kepiting, nelayan Bajo menyebut hewan laut ini sebagai kearama, sedangkan nelayan Sangihe mengenalnya dengan nama kahaka. Nelayan Bajo juga sangat mengenal berbagai jenis teripang yang disebut balat. Terdapat 16 nama teripang, seperti balat susuan, bengkulungan, tampelu, garidau, gamat, biru, dan bebat. Selain itu, balat balimbiang, nanasi, mera bulu, pote, garidau pote, abu-abu, ending, tagendong dan matalew.

Pengumpulan teripang sudah lama dilakukan orang Bajo atau biasa disebut sama ini. Bahkan orang sama dari Filipina sejak masa kolonial pemerintahan Hindia Belanda datang mencari teripang di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Menurut Ulaen (2003) pengumpulan hasil laut berupa teripang diperkenalkan para pedagang dan pelaut Cina. Tenaga penyelam atau pengumpul sebagian besar adalah orang sama dari Filipina.

Hak Ulayat Laut di Sulawesi Utara3

Sebelum masuk pada tematik konflik di kawasan TN Bunaken, mari kita menyusuri jejak-jejak hak ulayat laut yang masih tersisa dan dipertahankan di beberapa kampung pesisir, Sulawesi Utara. Di dalam hak ulayat laut ini, tak hanya melulu menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam laut. Tapi, ada dimensi sosial, ekonomi, dan ekologis untuk tetap mempertahankan sumberdaya alam yang tersedia secara turun-temurun. Ini menjadi aspek kehidupan bagi suatu komunitas. Keterbatasan akan sumberdaya laut di tengah kelimpahan biota pada musim-musim tertentu yang membuat masyarakat adat secara arif mengelola kawasannya.

Wahyono, dkk (2000) telah mendefinisikan hal ulayat laut (sea tenure) adalah seperangkat aturan (praktik pengelolaan) atau manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.4 Dalam sistem hak ulayat laut ini terdapat interaksi aspek sosial budaya yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan berbagai sistem matapencaharian lainnya. Pola tradisional dalam pemilikan sumberdaya laut ini dapat ditemukan di Kakorotan, Salurang, Para, Bebalang, Bentenan dan Ratatotok.

Di Kakorotan, Kabupaten Talaud, hingga kini rakyat setempat masih menerapkan manajemen wilayah dalam larangan dan pemanfaatan yang disebut eha. Secara administrasi wilayah Kakorotan mencakup Pulau Kakorotan, Intata dan Malo. Eha dipahami rakyat setempat sebagai upaya penghematan terhadap sumberdaya alam. Eha mengelola larangan pemanfaatan dalam periode tertentu di darat dan laut. Di darat, eha diberlakukan dalam mengambil buah dan daun kelapa. Selain itu, eha juga pernah diberlakukan untuk tanaman ubi jalar, singkong, pisang, pepaya, mangga, pala, cabai, daun pandan dan sagu, serta ternak.

Khususnya di pesisir dan laut, rakyat di Kakorotan memberlakukan eha dalam periode tiga sampai enam bulan. Kontrol terhadap sistem eha ini dilakukan lembaga adat yang disebut mangangeha. Mangangeha bertindak sebagai pengawas dan penegak hukum adat. Diperkirakan sistem eha ini mulai muncul sejak tahun 1628. Dalam lembaga adat ini terdapat perangkat adat yang disebut ratumbanua, inanguwanua, wuaho, sasarahe, a’aran, panucu dan ratu ruangan. Semua tetua adat di Kakorotan memiliki wakil dalam struktur tersebut.

Eha laut memiliki model pengelolaan wilayah laut lantaran setelah masa larangan, dilakukan upacara adat yang disebut mane’e. Mane’e yang merupakan tradisi menangkap ikan ini telah mendapat perhatian khusus di masa Gubernur Sulawesi Utara E.E. Mangindaan yang datang ke lokasi itu tahun 1997.5 Eha laut biasanya berakhir setiap bulan Mei. Tapi, sebelum eha berakhir, forum adat melakukan musyawarah kapan waktu yang tepat masa pantangan memanfaatkan sumberdaya laut itu berakhir.

Berakhirnya eha laut ini ditandai dengan upacara mane’e. Mane’e asal kata see atau sasahara.6 Arti kata ini adalah setuju, ya atau sepakat. Jadi, mane’e diartikan melaksanakan kegiatan yang telah disepakati secara serentak. Lebih spesifik lagi, mane’e berarti penangkapan ikan secara tradisional melalui musyawarah yang dilakukan secara bersama-sama.

Tahap pertama dalam upacara adat ini adalah maraca pundangi (memotong tali hutan). Tahap kedua, Mangolom Para (permohonan kepada Tuhan). Setelah memohon kepada Tuhan dilanjutkan dengan tahap ketiga, matuda tampa paneea (menuju lokasi upacara). Tahap keempat, mamabi u’ sammi (membuat alat) dan kelima mamoto u’ sammi (menebarkan alat). Tahap keenam, mamole u’ sammi (menarik alat ke darat). Selanjutnya tahap ketujuh, manganu ina (pengambilan hasil), kedelapan matahia ina (membagi hasil). Dan kesembilan manarimma alama (ucapan syukur).

Bahan yang digunakan dalam upacara ini antara lain janur kuning dan tali hutan. Janur di lingkarkan pada tali hutan. Ini disebut sammi. Sedangkan peralatan yang digunakan berupa tombak, parang dan keranjang kecil yang terbuat dari rotan.

Panen ikan pertama dilakukan saat pasang tertinggi dan surut terendah di Pulau Intata, sekitar akhir bulan April atau bulan Mei. Upacara mane’e dengan memperhatikan bulan di langit, pada hari ke dua atau tiga. Tak hanya rakyat Kakorotan yang ikut panen ikan di Ranne, Pulau Intata ini. Tapi juga dengan mengundang pihak luar. Tapi, orang luar hanya dapat memanen ikan di lokasi Ranne.7

Di awal tahun 2000, pelestarian eha dan upacara mane’e ini mendapat penghargaan Kehati Award dari Yayasan Kehati.

Di Salurang, Kabupaten Sangihe, ada tradisi khas penangkapan ikan yang disebut malombo. Malombo adalah penangkapan ikan tude atau selar (Selar crumenophthalmus) dengan alat tangkap jaring.8 Tradisi malombo dilakukan setiap bulan Juni hingga Agustus, pada musim selatan. Tapi, tidak setiap tahun ada malombo. Sebab ikan tude tidak muncul setiap musim selatan.

Di Para, Kabupaten Sangihe terdapat lokasi pemanfaatan ikan ekslusif yang disebut seke, nyare, soma, noru dan somba.9 Sistem ini dengan mengatur alat tangkap ikan sesuai dengan jenis dan lokasi penangkapan ikan. Tidak setiap alat tangkap dibolehkan di lokasi-lokasi itu. Sistem seke ditetapkan sebagai wilayah laut yang diamati secara empiris sebagai tempat ikan malalugis (layang). Di lokasi itu malalugis dalam jumlah ratusan ribu ekor datang bergerombol. Saat melakukan operasi penangkapan dengan menggunakan alat tradisional yang terbuat dari bambu yang disebut seke.

Sistem soma, ditetapkan sebagai lokasi penangkapan ikan dengan menggunakan pukat lingkar. Di lokasi itu, kawanan ikan pelagis, seperti layang, tude, deho dan jenis ikan lainnya diketahui sering melewati perairan itu pada musim tertentu. Sistem noru, mencakup wilayah di luar lokasi seke dan soma. Semua warga Para diijinkan menangkap ikan di lokasi itu. Sistem bubu, lokasinya berada di terumbu karang. Di lokasi ini perangkap ikan (bubu) diperkenankan ditempatkan di lokasi tersebut.

Model hak ulayat laut ini diperkirakan sejak pertengahan tahun 1500 di hampir semua tempat di Kepulauan Sangihe. Namun, sejak tahun 1970-an sistem ini mulai memudar di Sangihe. Terakhir yang masih sempat menggunakan model ini di Pulau Batunderang dan Kahakitang. Sedangkan di Para, tradisi ini masih tetap dipertahankan hingga sekarang ini.

Secara adat, wilayah ini tidak dapat dimasuki nelayan-nelayan dari desa lain. Begitu juga kelompok seke, tak dapat menangkap ikan di lokasi soma. Sejalan dengan modernisasi model pemanfaatan sumberdaya laut di Para ini mendapat tentangan dari nelayan desa tetangga, Mahangetang. Kekerasan dalam bentuk perang batu dan parang terus terjadi sejak tahun 1977. Konflik terjadi karena nelayan Mahangetang mulai melanggar aturan adat setempat dengan menangkap ikan di wilayah perairan Para.

Nelayan Mahangetang ini menangkap ikan dengan menggunakan soma di wilayah seke. Hal ini menimbulkan perkelahian antarkampung. Lalu dilerai pemerintah daerah, tapi konflik terus terjadi. Alasan nelayan Mahangetang, sumberdaya laut itu merupakan milik bersama, sebagaimana Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3.10

Tahun 1987, bentrok terjadi lagi. Lalu, nelayan Mahangetang mendapat hak selama satu hari dalam seminggu memanfaatkan ikan di Pulau Bawondoke. Secara administrasi, wilayah Para meliputi Pulau Para, Singgaluhang, Bawondeke, Manalokang, Sela dan Neru.11

Tahun 2003, jumlah penduduk Para sebanyak 2000 jiwa dan Mahangetang 600 jiwa. Setahun sebelumnya, Bupati Sangihe telah mengeluarkan surat keputusan bahwa nelayan Mahangetang dapat mengelola sumberdaya laut di Pulau Singgaluhang dan sekitarnya selama tiga bulan.

Awal Mei 2003, Majelis Tua Kampung Para melalui surat dari Kapitalaung (opolao atau kepala desa) telah bersurat kepada Bupati meminta agar mengeluarkan keputusan untuk melarang nelayan Mahangetang memanfaatkan sumberdaya laut di Pulau Singgaluhang dan sekitarnya. Rakyat kampung merasa wilayah perairan yang selama ini dikelola secara adat mulai diatur orang dari kampung lain.

Tapi, terjadi lagi “perang” antara Para dan Mahangetang. Empat warga Para masing-masing Tius Taputi (60 tahun), Parlis Pajiang (21 tahun), John Barauntu (42 tahun), Zeth Karulung (43 tahun) tewas. Diduga penyebab tewasnya keempat warga ini karena diserang warga Desa Mahangetang.

Pertikaian ini membuat Bupati Sangihe Aries J.T. Makaminan mengeluarkan SK Bupati nomor 65 tahun 2003 tentang penetapan kebijakan pengelolaan/penangkapan ikan di wilayah laut Pulau Singgaluhang. Isi Keputusan Bupati Sangihe antara lain untuk menghindari konflik yang berkelanjutan antara masyarakat Para dan Mahangetang, maka Pemda menetapkan status quo di wilayah pengelolaan sumberdaya laut Pulau Singgaluhang. Bupati juga mengeluarkan jadwal baru pemanfaatan sumberdaya laut, dengan ketentuan sejak awal Juni hingga September sumberdaya laut di Singgaluhang dimanfaatkan nelayan Para. Selanjunya September hingga Desember digilir ke nelayan Mahangetang. Setelah pembagian itu, mulai awal Desember hingga Juni dilakukan konservasi. Tidak diperkenankan nelayan Para dan Mahangetang mengatur dan mengelola lokasi tersebut.

Namun, rakyat di Para menolak SK Bupati itu. Sekitar 700 ratus warga Para melakukan demo di DPRD Sangihe dan Kantor Bupati. Di DPRD Sangihe, warga diterima Ketua DPRD Hein Piet Sahambangung dan Wakil Ketua Alex Tatinting. Warga Para menuntut SK Bupati nomor 65 itu dicabut dan meminta penanganan kasus pembunuhan yang menimpa warga Desa Para diproses sesuai jalur hukum.

Selanjutnya, Kepolisian Resort Sangihe, melakukan razia di lokasi pertikaian dan menyita puluhan panah wayer, panah bambu, panah Papua, sembilan samurai dan sebuah bazoka rakitan di Pulau Singgaluhang.

Di Pulau Bebalang, Kecamatan Manganitu, Kabupaten Sangihe, tradisi penangkapan ikan dengan alat tangkap seke pernah berkembang sejak dua abad lalu.12 Alat ini dipercaya dibawa oleh Datuk Tamaweole. Alat untuk menangkap ikan malalugis yang dipakai secara turun temurun ini terbuat dari bambu, rotan dan janur. Ikan malalugis ini dipandang sebagai milik bersama yang cara penangkapan dan pembagiannya harus diatur bersama. Pembuatan dan pengoperasian alat dilakukan beramai-ramai dengan melibatkan semua warga desa. Hasil yang diperoleh juga dibagi kepada seluruh warga, termasuk orang yang sudah tua, yatim piatu, guru dan pendeta.

Wahyono dkk (1991) memaparkan bahwa gotong royong dalam pembuatan dan pengoperasian seke pada dasarnya sebagai manifestasi solidaritas sosial di kalangan nelayan. Namun, munculnya alat tangkap pukat lingkar dan motorisasi telah melunturkan tradisi ini. Kebiasaan tolong menolong diganti dengan unsur uang. Ikatan solidaritas tidak lagi didasarkan atas kepentingan bersama.

Gejala kepemilikan pribadi ini makin menguat sejak 1970-an dengan adanya nelayan pemilik dan nelayan buruh. Dengan masuknya ekonomi pasar, nelayan di Pulau Bebalang semakin memperhitungkan uang dalam setiap usaha penangkapan ikan. Nelayan terdorong melakukan eksploitasi sumberdaya laut sebanyak mungkin, sebatas kemampuan tenaga dan peralatan yang dimiliki. Karena itu, terjadi pelanggaran batas daerah penangkapan yang telah disepakati bersama dan muncul kelompok-kelompok yang mengarah pada perpecahan.13

Di Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan, perairan tangkap berada di bagian selatan Teluk Totok. Teluk Totok dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah daratan Desa Ratatotok Dua.14 Klaim desa terhadap wilayah Teluk Totok sudah terjadi sekitar pertengahan abad ke-18. Rakyat Ratatotok sepakat melarang setiap penggunaan alat tangkap yang tidak digunakan nelayan Ratatotok. Alat tangkap yang ada di Ratatotok berupa bagan, jaring, pancing dan pole and line. Khusus penggunaan bagan, nelayan luar harus mendapat ijin sebelum memasang bagannya di Teluk Totok.

Di Bentenan, Kabupaten Minahasa Selatan, muncul klaim atas wilayah tangkapan setelah nelayan setempat menemukan sumber penghasilan baru, yakni nener di sepanjang dua kilo meter pantai Bentenan.15 Nener ini sejenis anak ikan bandeng yang terdapat di perairan payau.

Model dan sistem pemanfaatan sumberdaya laut di beberapa tempat di Sulawesi Utara ini menunjukkan bahwa ada simbol solidaritas sosial, budaya dan ekonomi. Di Kakorotan, Para dan Salurang ada nuansa sosial budaya yang ditumbuhkan. Sedangkan di Ratatotok dan Bentenan lebih ke motif ekonomi.

Solidaritas sosial dalam penangkapan ikan ini telah menimbulkan konflik di tengah arus modernisasi alat tangkap ikan dan globalisasi, seperti yang terjadi antara Para dan Mahangetang. Selama ini memang, sumberdaya alam laut pemilikannya masih dikuasai oleh negara. Wilayah perairan dianggap tempat tak bertuan (open access). Ciri kapitalis, sejak awal 1970-an dengan ditandai munculnya kepemilikan alat tangkap ikan secara individu, agaknya telah memudarkan sistem seke. Hal ini seperti yang terjadi di Bebalang dan Batunderang. Hampir di setiap lokasi yang masih mempertahankan sistem seke ini, konflik dan kekerasan sering terjadi.

Model kapatalis yang disertai dengan ekonomi pasar yang memperhitungkan uang sebagai hasil usaha telah mendorong eksploitasi sumberdaya alam laut. Unsur uang pula yang telah memutus solidaritas bersama. Kalau dicermati lebih jauh, warga yang bermukim di Desa Mahangetang hanya 600 orang dibandingkan dengan Desa Para sekitar 2000 orang. Mengapa justru eksploitasi besar-besaran tanpa mengindahkan hak ulayat laut intens dilakukan nelayan Mahangetang.

Menurut Ulaen (2004)16 penangkapan ikan yang dilakukan nelayan Mahangetang di lokasi hak ulayat laut Para ini karena keterbatasan ruang menangkap ikan. Sebab, di bagian laut lepas nelayan Filipina telah masuk dengan alat tangkap ikan yang lebih modern. Ada pun hasil tangkapan ikan nelayan Mahangetang ini dijual ke General Santos. Di perbatasan antara Indonesia dan Filipina ada kapal penampung ikan yang biasanya membeli hasil tangkapan tersebut.

Sebelum Indonesia dan Filipina menjadi negara berdaulat, menurut Ulaen (2003) keadaan awal Kepulauan Sangihe dan Talaud ini sebagai kawasan perniagaan. Lalu beralih status menjadi daerah perbatasan. Padahal, sejak dulu antara warga Mindanao Selatan dengan Sangihe dan Talaud telah terjalin ikatan kekerabatan, saling berkunjung dan perniagaan. Setelah itu, hubungan dianggap ilegal oleh Filipina dan Indonesia. Karena hubungan tetap dijalin dengan baik, antara Indonesia dan Filipina menjadikan sebagian Mindanao Selatan dan Nusa Utara sebagai daerah lintas batas (border crossing area). Kesepakatan ini dikukuhkan melalui perjanjian lintas batas (border crossing agreement).

Masuknya nelayan Filipina ke berbagai perairan di Sulawesi bagian Utara ini juga dikeluhkan nelayan di kawasan TN Bunaken sejak awal 1990-an. Adanya rumpon ini telah menghalangi jalur ruaya ikan pelagis. Nelayan Filipina menggunakan kapal purse seine dengan alat bantu rumpon.17

Menurut Zakaria, lemahnya sistem pengorganisasian sosial di dalam masing-masing komunitas masyarakat adat, akibat kebijakan-kebijakan pemerintahan. Padahal, pengorganisasian merupakan ‘basis material’ dari eksistensi dan/atau dasar keabsahan hak-hak adat.18 Apalagi, selama ini pemerintah memang cenderung mengabaikan dan menisbikan sistem hak kepemilikan yang hidup di masyarakat, khususnya masyarakat adat. Undang-undang harus mampu menyelesaikan sistem ganda dalam hal kepemilikan dengan jalan memberikan jaminan bahwa sisten hak kepemilikan de jure yang didasarkan pada hukum negara dan tidak menghancurkan sistem hak kepemilikan de facto yang didasarkan pada hukum adat.19

Karena itu, diperlukan penataan ulang sistem pengelolaan sumberdaya laut tradisional atau komunitas lokal dalam kerangka ekonomi kerakyatan. Sistem ini diharapkan mampu mengakomodasi hak-hak masyarakat lokal.




Catatan Bab 3

1Sigarlaki dkk, 1978, menyebutkan bahwa di Pulau Manado Tua terdapat kerajaan yang hubungannya dengan Minahasa hanyalah terdapat di pantai saja, yakni dataran Wenang, yang kemudian menjadi inti Kota Manado, lihat Sejarah Daerah Sulawesi Utara, diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 45 dan 53.

2 Alex J. Ulaen, 2003, Nusa Utara dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, hlm. 62. Menurut Ulaen, kontak pertama kedatuan Siau dengan para pelaut pengembara bangsa Barat, dalam hal ini Portugis dan Spanyol dapat dirunut kembali semenjak datu Pasuma dibaptis oleh pastor Diego de Magelhaes bersama Raja Manado, hlm. 64. Raja Pasuma pun diberi nama Don Jeronimo. Ulaen mengutip Documenta Maluccensia Jacobs mengungkapkan bahwa pembaptisan Raja Pasuma ini bukan di Siau, melainkan di Manado. Selain itu, sangat jelas bahwa perkembangan pranata kedatuan di pulau-pulau Sangihe dan Talaud tidak dapat dipandang lepas dari perkembangan pranata politik dan kekuasaan, baik di daratan Mindanao, Sulu, Ternate, Tidore, Maluku Utara, Gowa dan Bone di Sulawesi Selatan.

3 Hak ulayat laut di beberapa kampung pesisir di Sulawesi Utara, terutama di kepulauan Sangihe dan Talaud seperti halnya sasi di Kepulauan Maluku dan beberapa tempat di Papua.

4 Ary Wahyono, dkk, 2000, Hal Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, penerbit Media Pressindo, Cetakan pertama, September. Untuk mengatasi kehancuran sumberdaya alam yang paralel dengan keberlangsungan praktik tradisional, menurut Wahyono dkk, dengan jalan memberikan hak-hak kepemilikan (property right) melalui aturan main, hukum atau kebijakan publik dan kontrol serta pengawasan dan pengaturan terhadap sumberdaya alam tersebut.

5 Bulan Mei tahun 2000, ketika diadakan upacara Mane’e, penulis bersama wartawan lainnya ikut rombongan Menteri Eskplorasi Laut dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja, Gubernur Sulawesi Utara A.J. Sondakh dan sejumlah pejabat lainnya ke Kakorotan, dengan menggunakan KRI Tongkol, Menurut Wartawan LKBN Antara Joutje Kumajas, ketika dia datang bersama Gubernur Mangindaan, suasana di Kakorotan dan upacara mane’e masih alami. Tapi, tiga tahun berikutnya ada kesan sudah tidak alami. Sebab di Pulau Intata, tempat upacara mane’e sudah ada rumah adat dan spanduk. Penulis juga melihat di Pulau Intata yang berpasir putih itu sudah ada tanggul dari beton yang tentunya mengurangi kesan alami. Informasi yang diperoleh di lokasi, tanggul beton itu dibuat pada Bulan April 2000. Selain itu, bukankah lebih murah dan tahan lama menggunakan benteng alamiah terumbu karang dan menanam kembali tumbuhan mangrove dan tanaman pantai di lokasi itu. Bila memang eha ini dipertahankan dengan masa larangan pemanfaatan biota laut di lokasi tertentu dalam periode tiga sampai enam bulan terus berlangsung, mengapa abrasi di Pulau Intata sampai menggerus pantai berpasir putih itu? Abrasi juga sebagai penanda hilang atau rusaknya benteng alami pantai, seperti terumbu karang di lokasi tertentu.

6 Dicatat berdasarkan Sinopsis Mane’e yang ditulis K. Talau, Mei 1997. K. Talau adalah salah seorang tokoh masyarakat setempat.

7 Setelah Gubenur Mangindaan menghadiri upacara mane’e, Harian Manado Post menurunkan tulisan bersambung tentang mane’e. Mangindaan bersama rombongan pejabat Bupati Sangihe dan Talaud yang ikut acara adat mane’e hari Jumat 9 Mei 1997 itu juga melontarkan gagasan akan mengembangkan tradisi mane’e ini sebagai iven pariwisata di Kakorotan. Aspek pengembangan pariwisata agaknya yang masih ditonjolkan melalui kegiatan tersebut. Dalam pada itu, Kelola lalu mengembangkan proposal tentang mane’e ini. Tahun 1998 dan 1999, tim Kelola telah melakukan penggalian data, sejarah dan informasi mengenai mane’e di Kakorotan. Kegiatan ini didukung Yayasan Kehati.

8 Wahyono, dkk, 2000, Op. cit

9 Eddy Mantjoro dan Tomoya Akimichi, 1992, Sistem Pemilikan Tradisional terhadap Sumberdaya Perikanan di Pulau Para dan Kahakitang, Jurnal Fakultas Perikanan Unsrat, Volume II no. 1. Lihat juga Wahyono, dkk, 2000.

10 Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Seperti yang sering dikemukakan kalangan aktivis Ornop, salah satu pasal yang ada dalam UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 3 yang menimbulkan hak menguasai negara, justru disebut sebagai sumber malapetaka penyingkiran hak-hak masyarakat adat, lihat R. Yando Zakaria, 2004, Gerakan Masyarakat Adat: Menguat dalam Wacana dan Aksi, Melemah dalam Konstitusi. Bahan ini diperoleh dari mailing list Communitygallery@yahoogroups.com. Selanjutnya dikatakan Zakaria, setelah amandemen kedua pada tahun 2000 lalu, pada pasal 18B UUD 1945, diatur bahwa (1) negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang; (2) negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI, yang diatur dalam undang-undang. Karena itu, Zakaria mengusulkan dua hal tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk melahirkan undang-undang tentang otonomi desa atau keberadaan masyarakat adat. Selain itu, memasukkan masalah pengakuan hak masyarakat hukum adat ke dalam bab yang mengatur masalah hak asasi manusia. Kedua hal tersebut perlu dikedepankan. Sebab, Zakaria mempertanyakan, apakah masyarakat adat telah mampu menegakkan ‘kedaulatan’ sebagaimana yang diinginkannya, tanpa adanya perlindungan hukum formal sekalipun? Dalam tulisan lainnya, Zakaria juga pernah menyampaikan pengaturan hak-hak masyarakat adat perlu dilakukan ke dalam perundang-undangan, sehingga hak-hak masyarakat adat (dan kewajibannya) tidak begitu saja gugur dan disingkirkan oleh peraturan-perundangan lain. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Zakaria, 1997, “Hak Kelola Rakyat atas Sumberdaya Alam,” dalam laporan lokakarya advokasi kebijakan Sumberdaya Alam untuk Rakyat, Serpong 29-30 Maret, kerjasama tim kecil kebijakan sumberdaya alam untuk rakyat dan LATIN. “Seringkali ada peraturan perundangan dibungkus kedok “kepentingan pembangunan” dan “kepentingan orang banyak.” Lihat juga Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, 2000, Men-Siasat-I Otonomi Daerah: Panduan fasilitasi pengakuan dan pemulihan hak-hak rakyat, Diterbitkan Badan Pelaksana KPA bekerjasama dengan INSIST Press, Desember, cetakan pertama. Jika memang negara mengakui hak ulayat persekutuan masyarakat adat, menurut Fauzi dan Zakaria, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945, maka pengakuan itu harus mengacu pada kedaulatan persekutuan hidup setempat atas sumber daya yang menjadi sumber kehidupan. Baik itu secara simbolis maupun realis dari masyarakat adat yang bersangkutan. Atas dasar adanya penghormatan atas hak-hak masyarakat adat, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 UUD 1945, masalah property right ini harus dihitung dari bawah ke atas.

11 Tim Kelola telah melakukan pendampingan dan melakukan pemetaan di wilayah Para tahun 2001. Namun, peta yang dibuat belum disosialisasikan atau dimusyawarahkan dengan desa tetangga Mahangetang. Ketika tim Kelola akan ke Mahangetang dicegat majelis tua kampung dan kapitalaung. Sebab, telah beredar isu bahwa orang Kelola yang ke Mahangetang akan dipukul. Roem Topatimasang pernah mengingatkan tanpa suatu dukungan proses-proses hukum dan agenda politik yang jelas, segera setelah pemetaan, maka peta yang dihasilkan itu memang akan menjadi peta semata-mata. Lihat tulisan Topatimasang, dalam buku Ton Dietz, 1998, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam, diterbitkan atas kerjasama INSIST, Pustaka Pelajar dan REMDEC, cetakan pertama. Tentu saja, menurut Topatimasang, upaya untuk mengedepankan dan membela hak-hak masyarakat adat setempat atas kawasan tradisional dan sumberdaya mereka, tidak boleh sampai terjebak ke dalam perangkap romantisme berlebihan. Sebab, sebagai entitas budaya yang hidup dalam proses-proses sejarah, dinamika internal dari hak-hak tersebut juga memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan yang harus dan dapat lebih disempurnakan dan dikembangkan secara lebih arif.

12 Ary Wahyono, dkk, 1991, Bebalang: Memudarnya Fungsi Seke, PMB-LIPI.

13 Ibid

14 Wahyono, dkk, 2000, Op. cit

15 Wahyono, dkk, 2000, Op. cit

16 Komunikasi pribadi

17 Daniel R. Monintja dan Zulkarnain, 1995, telah melakukan penelitian tentang Analisis Dampak Pengoperasian Rumpon Philippine di Perairan Zona Ekonomi Ekslusif terhadap Perikanan Cakalang di Perairan Teritorial Utara Sulawesi. Monintja dan Zulkarnain (dari Fakultas Perikanan IPB) mengemukakan bahwa jumlah rumpon Filipina yang dioperasikan di perairan ZEE telah melebihi jumlah yang diizinkan dan sebarannya telah masuk perairan teritorial. Sesuai izin beroperasinya kapal Filipina ini bekerja sama dengan perusahaan Indonesia. Sesuai dengan izin rumpon yang ditempatkan ini hanya 630 buah. Kenyataan di lapangan, rumpon yang ditebar melebih 1000 unit.

18 Zakaria, 1997, Op. cit hlm 42

19 Fauzi dan Zakaria, 2000, Op. cit. Menurut Fauzi dan Zakaria, yang menjadi titik permasalahan inti dari antagonisme yang terjadi antara negara dan komunitas adalah proses perampasan dan pengambilalihan hak-hak ruang yang dimiliki oleh masyarakat adat secara turun-temurun, hlm 145-146. Komunitas pada dasarnya merupakan sebuah bentuk pemerintahan lokal yang otonom dan legitimasi yang diperoleh seharusnya berbasis pemberdayaan komunitas.

No comments: