Saturday, February 24, 2007

Bab 10. Otonomi Daerah

Era transisi dan hembusan otonomi daerah ternyata bukannya membawa angin segar bagi rakyat di TN Bunaken. Justru inilah badai malapetaka bagi rakyat setempat. Puluhan orang dibui akibat tindakan kekerasan dan melakukan pelanggaran di dalam kawasan konservasi.

Kasus di Rap-rap, umpamanya, juga dengan mengipas-ngipas isu yang berbau agama. Padahal, sudah jelas salah satu pemicu ketegangan ini karena adanya warga menuntut keadilan dalam pembagian beras untuk kaum miskin. Mereka yang melancarkan protes atas ketidakadilan itu kena getah dan dikriminalisasi hingga ke Markas Polres Minahasa. Agama telah dimanfaatkan untuk kepentingan pembenaran.

Rohaniawan Katolik, Yong Ohoitimur (2004), mengatakan bahwa demokrasi berkembang apabila dalam suatu masyarakat terjadi perjumpaan dan transaksi budaya yang melibatkan nilai-nilai dan praktek hidup yang beraneka ragam. Demokrasi lahir karena kondisi kemajemukan kultural. Demokrasi menjadi relevan justru karena pengakuan dan perlindungannya terhadap kemajemukan, termasuk kemajemukan agama.1

Ohoitimur menambahkan bahwa dalam kondisi Indonesia yang genting sekarang ini karena absensi keadilan sosial bagi seluruh rakyat, sudah semestinya gerakan-gerakan moral keagamaan diperkuat dan diperluas. Untuk itu, kata Ohoitimur, perlu diwaspadai agar agama-agama tidak dimanipulasi oleh kekuatan-kekuatan politik demi kepentingan sempitnya, karena agama-agama selalu membawa misi yang universal untuk kesejahteraan umat manusia.

Kawasan TN Bunaken didiami sekitar 21.600 jiwa terdiri dari berbagai etnis dan agama. Di desa Bunaken (termasuk warga di Pulau Siladen) yang banyak mendiami tempat itu berasal dari Sangihe, Maluku, Minahasa, Gorontalo dan Bajo. Di Desa Alung Banua yang masih di Pulau Bunaken didiami etnis Sangihe. Lalu di Pulau Manado Tua, semuanya etnis Sangihe.

Di Pulau Mantehage, Desa Tangkasi, etnis Bajo, Gorontalo, Sangihe dan Bolaang Mongondow. Lalu di Desa Tinongko, Bango dan Buhias, paling banyak Sangihe dan Minahasa. Sedangkan di Desa Nain, terdiri dari etnis Bajo, Sangihe, Gorontalo, Bugis dan Minahasa. Di pesisir Pulau Sulawesi mulai dari Desa Meras sampai Tiwoho dan Poopoh sampai Popareng dihuni etnis Sangihe, Bajo, Bantik, Minahasa, Bolaang Mongondow, Buton dan Bugis.

Etnis yang tersebar di 30 pemukiman dalam kawasan TN Bunaken mulai dari Sangihe, Bajo, Minahasa, Gorontalo, Bugis, Bolaang Mongondow, Buton dan Ternate. Orang Sangihe, Bantik dan Minahasa sebagai pemeluk agama Kristen. Sedangkan Bajo, Gorontalo, Bugis, Bolaang Mongondow dan Ternate, beragama Islam. Bahasa sehari-hari yang biasanya digunakan rakyat setempat adalah bahasa Sangihe,2 Bajo, Indonesia dan dialek Melayu-Manado.

Era transisi di kawasan TN Bunaken, ditandai dengan keluarnya SK zonasi Dirjen PHPA yang kontradiktif dengan Rencana Pengelolaan TN Bunaken. Namun, lokasi ini menjadi model pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Sebelum hal itu dicetuskan, tanggal 3 Oktober 2000, Gubernur Sulawesi Utara A.J. Sondakh telah menulis surat kepada Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, perihal pengelolaan TN Bunaken. Isi surat ini antara lain, menyebutkan bahwa untuk mengantisipasi berbagai tekanan dalam rangka pelestarian TN Bunaken yang merupakan aset daerah dan nasional, maka pemerintah Provinsi Sulut telah membentuk tim kerja swadana TN Bunaken. Hasilnya: (1) tim telah menyusun kelayakan teknis tentang institusi yang akan mendukung pengelolaan TN Bunaken. Institusi ini diharapkan menjadi model dalam pengelolaan taman nasional di era otonomi daerah saat ini, (2) telah merumuskan sebuah rancangan Perda tentang pungutan masuk kawasan TN Bunaken sebagai sumber pendukung pendanaan pengelolaan TN Bunaken.

Menurut Elfian Effendi (2001) peranan perencanaan tata ruang sangat menentukan dalam era otonomi daerah. Hal ini dapat dipahami mengingat daerah dituntut untuk mampu meningkatkan kreativitas dan kemandiriannya untuk memperkuat kewenangan yang ada padanya, sehingga mampu mewujudkan pengelolaan sumberdaya yang lebih baik di era otonomi daerah.3 Wujud dari perencanaan tata ruang yang baik adalah dengan membangun suatu bentuk perencanaan tata ruang yang integratif, yakni suatu perencanaan yang mampu menjelaskan keterkaitan yang nyata, antara kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial.4

Sulaiman Sembiring mengatakan bahwa dalam penetapan suatu kawasan sebagai kawasan konservasi, misalnya, kemungkinan munculnya keberatan masyarakat setempat, konflik atau pun klaim sepihak dari masyarakat akan dapat dihindari apabila proses penetapannya dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat secara dini.5

Sondakh (2002)6 mengatakan bahwa dalam menyongsong otonomi daerah yang merupakan penjabaran UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka pengelolaan TN Bunaken yang tadinya dilaksanakan melalui pendekatan sentralistis yang kurang menguntungkan kepentingan daerah sudah harus diubah melalui pola kemitraan dengan mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang secara bersama-sama terlibat langsung dalan pengelolaannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi.

Desentralisasi pengelolaan dan pendanaan ini telah menghasilkan Dewan Pengelolaan TN Bunaken dan sistem tarif masuk ke kawasan Bunaken. Melalui pendekatan yang diklaim multipihak dan solusi pendanaan bagi pengelolaan taman nasional inilah telah dilakukan tindakan yang sering menghina akal sehat. Dengan memakai seragam, tim patroli dari wakil masyarakat melakukan pengawasan. Tokoh masyarakat Desa Alungbanua Yunus Kasehung telah mengingatkan soal ini. “Selama ini petugas lebih banyak datang hanya untuk melarang. Keadaan seperti ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan masalah di kemudian hari,” tulis Kasehung.7

Kasehung memaparkan bahwa di Alungbanua uji coba penatapan zonasi tahun 1993-1996, telah dirasakan manfaatnya. Padahal, Camat Molas, tidak mau menandatangani Surat Keputusan Desa nomor 02 tahun 1994 tentang Penetapan/Penentuan Zona Tabungan dan Zona Pendukung Kegiatan oleh Masyarakat dan SK Desa nomor 03 tahun 1994 tentang Pemeliharaan/Perlindngan Satwa dan Biota Laut.

Di masa Orde Baru, SK Desa yang dibuat tidak mendapat dukungan Camat Molas dan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Tanggapan negatif yang muncul antara lain, zona inti telah mempersempit ruang gerak nelayan tradisional. Selain itu, pemerintah mengajak agar membuat rumah yang layak huni dengan membuat lantai beton. Karena di Pulau Bunaken sulit mendapatkan batu-batu besar, maka digunakan karang mati yang diambil dari perairan Bunaken. Tapi, mengambil batu karang dilarang.8

Menurut Kasehung, tahun 1996, telah diberikan kebebasan kepada seorang nelayan Alungbanua untuk menangkap ikan di batas zona inti dengan zona pemanfaatan. Hasilnya memuaskan. Sebelum ada zona inti, nelayan tersebut pernah melepas jaring, tapi hasilnya sedikit.

Ini suatu bukti manfaat yang diperoleh dan menumbuhkan rasa percaya bahwa yang diprogramkan itu ada benarnya dan nelayan memperoleh nilai tambah. Dalam menjalankan aturan dalam zonasi di Alungbanua, dilakukan dengan hukum adat setempat.9

Setelah era otonomi daerah, melalui program NRM-II, telah difasilitasi zonasi dengan membuat kesepakatan bersama antara Kepala Desa Bunaken dan Balai TN Bunaken. Begitu pula di Desa Alungbanua. Kesepakatan ini ditelorkan setelah melalui puluhan kali pertemuan. Namun, khususnya di Desa Bunaken, hingga awal 2004 ini masih dipertanyakan rakyat setempat. Bahkan berbuntut penangkapan dan penahanan terhadap delapan nelayan di Desa Bunaken.

Akibat penangkapan dan penahanan itu, warga Bunaken melakukan protes ke DPRD Sulawesi Utara. Menurut Direktur Eksekutif DP TN Bunaken Reinhart Paat, penangkapan dan penahanan itu dilakukan melalui operasi khusus Balai TN Bunaken dan Polairud Manado. DP TN Bunaken lalu mengganti biaya penangkapan dan penahanan selama tiga hari ini dengan kompensasi sebesar Rp 200 ribu per orang.

Di era otonomi daerah ini, bila ada konflik dengan rakyat yang tidak mendukung kegiatan pengelolaan di TN Bunaken, polisi pun langsung turun tangan. Mereka yang dianggap membangkang dengan aturan langsung ditangkap dan dibui. Meminjam ungkapan Fakih (2002)10 mereka memakai kombinasi antara teror, represi, penjinakan ideologi, serta hegemoni.

Mengapa intensitas penangkapan terhadap rakyat yang diduga dan dicurigai tidak mengindahkan aturan di dalam kawasan meningkat berkali-kali lipat setelah era otonomi daerah? Padahal, untuk aturan dalam kawasan, misalnya, dengan keputusan zonasi masih ada dualisme di tingkat departemen yang mengeluarkan aturan tersebut. Apalagi, ada kajian yang dilakukan tahun 1999 oleh Bappenas, LPEM-UI, NRM-USAID, bahwa daerah Sulawesi Utara ketahanan ekonomi, kerawanan pangan dan kelangkaan barang, kesehatan dan keluarga berencana, serta pendidikan, semuanya relatif baik.11

Dengan kata lain, menurut Abdi W. Buchari, krisis ekonomi yang melanda perekonomian Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dampaknya relatif kurang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan bahkan krisis ekonomi tersebut memberikan keuntungan tersendiri terhadap naiknya harga beberapa komoditas sektor pertanian daerah.12

Apakah kurang berpengaruhnya krisis terhadap rakyat Sulawesi Utara ini sebenarnya hanya laporan di atas kertas saja. Sedangkan di lapangan rakyat berebut sumberdaya alam untuk kelangsungan hidupnya? Tingkat kesejahteraan rakyat tentunya berkorelasi dengan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, Fakih telah mencermati bahwa ideologi fasisme sesungguhnya sudah mulai merasuki relung-relung cara berpikir para pemuda, masyarakat adat, para aktivis mahasiswa, para pelajar kota besar yang suka tawuran, kepala para aktivis HAM, para moralis, bahkan rumah tangga sekalipun. Banyak orang mulai khawatir karena fasisme juga telah merasuk pada kalangan tokoh agama dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah.13

Padahal, otonomi daerah seharusnya adalah otonomi rakyat. Otonomi hingga tingkat organisasi yang paling kecil. Hakekatnya, desa diberikan kewenangan untuk mengurus rumah tangga sendiri dengan memperhatikan susunan asli dan hak asal-usul. Menurut Fauzi dan Zakaria (2000) Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah itu menyerahkan penyelesaian ketegangan kepada pemerintah daerah. Untuk pengaturan desa akan ditetapkan melalui peraturan daerah masing-masing. Diatur pula bahwa masing-masing peraturan daerah berkewajiban mengakui dan menghormati hak asal usul desa tersebut.14 Tampak ada niat pembuat Undang-Undang Pemerintahan Daerah nomor 22 Tahun 1999 untuk memulihkan demokrasi di tingkat yang paling terendah, di mana unsur-unsur pokok demokrasi ada di desa, seperti Badan Perwakilan Desa, yang berfungsi sebagai parlemen.15

Mengacu pada kasus Rap-rap, konflik yang telah mengarah pada kekerasan baik ditingkat kampung dan markas kepolisian ini juga akhirnya menonaktifkan Ketua dan Wakil Ketua beserta anggota BPD Rap-rap yang terlibat dalam tindak pidana. Permasalahan ini antara Hukum Tua, Sekretaris Desa bersama pendukungnya dan Ketua, Wakil Ketua BPD Rap-Rap bersama rombongannya. “Ini karena ada Perda (Pemerintah Kabupaten) Minahasa nomor 2 tahun 2000,” kata Ismail Husen.16

Jadi, tidaklah mengherankan kalau sampai detik ini wajah lokal Indonesia masih terlihat babak belur. Di sana sini terjadi perkelahian antara warga dengan warga, antara warga dengan pemerintah. Hal itu terjadi karena kebijakan negara tidak dibangun atas dasar sosial-budaya yang nyata. Masyarakat lokal harus diberi otoritas sendiri yang memungkinkan mereka mendiskusikan di atas meja dan di ruang-ruang belajar tentang sumberdaya yang dimiliki untuk membangun masa depan yang dicita-citakan bersama. Dengan otoritas yang diembannya masyarakat sendirilah yang niscaya mempunyai tanggung jawab atas segala tindakan-tindakan yang dilakukan. Untuk mendorong keberhasilan itu semua kapasitas lokal perlu ditumbuhkan, baik melalui pemberdayaan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal, penyelenggaraan pendidikan rakyat yang sesuai dengan kehidupan lokal dan membangun kerjasama antar masyarakat.17

Paradigma perencanaan pembangunan di era otonomi daerah harus mampu menyesuaikan pendekatan dan substansinya dengan dinamisnya aspirasi yang berkembang di tingkat masyarakat. Perencanaan yang serba sentralistik sudah saatnya ditinggalkan dan digantikan dengan paradigma perencanaan partisipatif dan aspiratif yang dimulai dari kabupaten dan kota (Effendi, 2001).18 Menurut Reed Merrill (2001) gerakan reformasi politik mendorong munculnya prakarsa desentralisasi, yaitu pengalihan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.19

Lebih lanjut, Merrill (2001) menguraikan, bertolak dari peluang seperti ini, tim pengelolaan kawasan lindung dan hutan program NRM bekerjasama dengan pihak-pihak yang berkepentingan dari kalangan pemerintah dan non pemerintah memfasilitasi proses desentralisasi yang efektif dan efisien. Caranya dengan menghubungkan prakarsa pengelolaan bersama berbasiskan lapangan dan reformasi kebijakan.

Agaknya, pendekatan efisiensi dan pengentasan kemiskinan menjadi aliran mainstream mengenai usaha memecahkan persoalan dan perubahan sosial. Sebagian besar organisasi internasional seperti badan PBB, Bank Dunia, USAID, ODA dan hampir semua pemerintah Dunia Ketiga, bahkan sebagian besar kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia juga menganut pemikiran tersebut.20

Setiap agenda perubahan, menurut Fakih (2002), selain melihat pada kebutuhan praktis maupun strategis kaum miskin dalam masyarakat, juga selayaknya menfokuskan pada reformasi kebijakan yang menyangkut nasib kaum miskin dalam masyarakat sekaligus transformasi terhadap sistem dan struktur sosial. Perubahan sosial yang berperspektif transformatif juga berdimensi hal-hal untuk memenuhi kebutuhan praktis golongan miskin dan juga menggarap pemenuhan kebutuhan strategis golongan miskin.

Sengketa-sengketa akan tetap muncul, apalagi bila ada tindakan represif dilakukan. Arimbi Heroepoetri (2001) mengatakan bahwa perlu dikembangkan Badan Penyelesaian Sengketa akibat sengketa pengelolaan sumberdaya alam, baik di tingkat daerah dan nasional. Badan ini harus mempunyai kekuatan eksekusi di luar kewenangan pengadilan, terutama untuk konflik-konflik sumberdaya alam yang bersifat administratif.21 Badan ini juga menentukan besar ganti rugi dan metode pemulihan kerusakan lingkungan, sebagai akibat aktivitas manusia atas lingkungan tersebut.

Di era otonomi daerah, sengketa dan perselisihan bukan hanya antara rakyat dengan tim NRM (termasuk rombongan jagawana Balai TN, Satpolairud, Dewan Pengelolaan TN Bunaken). Konflik juga telah merembes antara LSM, seperti Kelola dengan NRM.

Mencari solusi bebas konflik dan kekerasan mungkin bisa dimulai dengan memahami kembali bahwa hidup dan dunia ini tidak akan pernah bisa dikuasai dan dimiliki hanya oleh seseorang atau segolongan.22 Pemahaman kita terhadap krisis menentukan bagaimana kita bersikap dan mengambil tindakan untuk mengantisipasinya. Jika kita menyadari bahwa krisis menghadirkan ketidakpastian, memunculkan gesekan/konflik antar kelompok masyarakat, dan tidak memberi kesempatan bagi kita untuk mundur, maka kita harus merumuskan strategi yang tepat dalam bertindak.23

Menurut Mario Antonius Birowo (2002) modernisasi kemudian tampak bertentangan dengan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang. Negara dan birokrasi, serta institusi sosial, ekonomi, politik dan keagamaan telah berubah menjadi alat bagi kepentingan elite.24 Modernisasi telah menyebabkan alam, tempat hidup manusia mengalami kehancuran. Manusia seperti tak berdaya keluar dari dilema modernisasi yang tanpa terkendali terus menjatuhkan korban. Karena itu, perlu dikembangkan kearifan sebagai pemihakkan kemanusiaan dari penindasan teologis, ekonomis, politik, dan budaya secara struktural dan sistematis.25
Catatan bab 10

1 Yong Ohoitimur, 2004, Kemajemukan Agama: Kontribusi dan Beban Bagi Demokrasi, disampaikan pada seminar “Pluralisme, Otonomi Daerah, dan Pemilu” , diselenggarakan Yayasan Pelita Kasih Abadi (Peka) Manado dan Institut Dian/Interfidei Yogyakarta, tanggal 18 Februari di Manado.

2 Menurut Ulaen, J.C. Van Eerde yang telah mengelompokkan bahasa Sangihe dan Talaud ke dalam kelompok bahasa-bahasa Filipina. Pada kelompok yang lebih besar masuk dalam kelompok bahasa Austronesia. D. Brilman sama halnya dengan van Eerde, mengelompokkan penduduk kepulauan ini pada kelompok Melayu-Polynesia atau Austronesia. Namun ia menambahkan bahwa asal bangsa induknya kurang diketahui. Sumber lokal berupa tradisi lisan, baik itu silsilah (genealogi) maupun narasi sejarah hanya mampu memberikan keterangan tentang asal-usulnya sampai generasi yang diperkirakan hidup pada abad ke 14 dan 15. Dari sumber tersebut, yang disebut-sebut ada pertaliannya dengan pulau atau tempat sekitarnya, terutama Mindanao, Bolaang Mongondow, Bawontehu dan Ternate, lihat Ulaen, 2003, Loc. cit.

3 Merrill dan Effendi, 2001, Loc. cit

4 Merrill dan Effendi, 2001, Loc. cit

5 Merrill dan Effendi, 2001, Loc. cit

6 Sambutan Gubernur Sulawesi Utara A.J. Sondakh dalam acara pembukaan lokakarya pengelolaan bersama para pihak TN Bunaken sebagai alternatif solusi pengelolaan TN Bunaken di era otonomi daerah, tanggal 18 Oktober di Hotel Century Manado. Dominggus, dkk, 2001, loc. cit

7 Yunus Kasehung, 1998, Perkembangan Terakhir Zona Inti dan Zona Pemanfaatan Perairan Desa Alung banua. Lihat laporan tanggal 18 Desember 1998

8 Ibid

9 Ibid

10 Fakih, 2002, Loc. cit, hlm 85.

11 Abdi W. Buchari, 2001, Otonomi Daerah dan Pembangunan Ekonomi Sulawesi Utara, penerbit Progress Press.

12 Ibid

13 Fakih, 2002, Op.cit

14 Fauzi dan Zakaria, 2000, Loc. cit, hlm 29.

15 Fauzi dan Zakaria, 2000, Loc. cit

16 Apa fungsi hukum tua dan BPD, belum diketahui dengan jelas. Sebagian besar hukum tua merasa terancam dengan adanya parlemen tingkat desa itu. Selain itu, terdapat Peraturan Daerah nomor 6 tahun 2000 tentang Peraturan Desa. Tapi, ini tidak begitu kuat. Berdasarkan UU nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 94 menyebutkan bahwa di desa dibentuk pemerintahan desa dan BPD yang merupakan pemerintahan desa. Pada pasal 102, dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa. Pasal 104 menyebutkan bahwa BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Selanjutnya pada pasal 105, ayat (3) dan (4) BPD dan kepala desa menetapkan peraturan desa. Pelaksanaan peraturan desa ditetapkan dengan keputusan kepala desa. Dalam penjelasan pasal 104, fungsi pengawasan BPD meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa dan keputusan kepala desa.

17 Fauzi dan Zakaria, 2000, Op. cit, bahan berasal dari tulisan Fauzi, Chalid Muhammad, Dani Wahyu Munggoro dan Hendro Sangkoyo, 1999, ”Mengelola Indonesia.”

18 Merrill dan Effendi, 2001, Loc. cit,

19 Reed Merrill, 2001, Menyiapkan Strategi Baru Untuk Pengelolaan Kawasan Lindung Kelautan, NRM News, Vol. III/No.1. Mei.

20 Fakih, 2002, Op. cit

21 Arimbi Heroepoetri, 2001, Tak Ada Tempat bagi Rakyat, diterbitkan atas kerjasama YLBHI, E-Law Indonesia, RACA Institute dan Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta, hlm 63-64.

22 Abdul Munir Mulkhan, 2002, “Konflik dalam Budaya Indentitas dan Perkembangan Politik Indonesia,” dalam buku Media-Militer-Politik, Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional, diterbitkan atas kerjasama Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Press, Yogyakarta, editor: Lukas S. Ispandriarno, dkk hlm 33.

23 Mario Antonius Birowo, 2002, dalam buku Media-Militer-Politik, Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional, diterbitkan atas kerjasama Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Press, Yogyakarta, editor: Lukas S. Ispandriarno, dkk hlm 155. Menurut Birowo, informasi merupakan bagian terpenting bagi pengembangan hubungan. Aspek penting dari hubungan adalah pertukaran informasi, hlm 152.

24 Ibid hlm 156.

25 Ibid

No comments: