Saturday, February 24, 2007

Bab 12. Program Lain di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya

Tak hanya proyek NRM/USAID yang tertarik ke kawasan Bunaken. Ada banyak organisasi yang tertarik mengembangkan program atau membiayai kegiatan di TN Bunaken. Baik itu untuk pelestarian keanekaragaman hayati, penelitian dan pemberdayaan rakyat setempat. Seperti telah disampaikan sebelumnya, WWF/IUCN tertarik melakukan penelitian dan pengembangan kawasan pelestarian Bunaken dan sekitarnya sejak awal 1980-an. Di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat, kegiatan penelitian, terutama terumbu karang dengan bekerja sama dengan lembaga lain juga sering dilakukan.

Keterlibatan organisasi non pemerintah lainnya, seperti Perkumpulan Pencinta Alam (PPA) Tangkoko telah ada sejak awal 1990-an. Begitu pula yang dilakukan Yayasan Nurani Tomohon, khususnya dalam pengembangan program perempuan, misalnya kerajinan tangan dan keterampilan untuk ibu-ibu. Yayasan Nurani yang berubah menjadi Yayasan Suara Nuarni kini memiliki program di Desa Tiwoho, Tongkaina dan Bunaken dengan dukungan dana dari lembaga donor asal Jerman.1

Sejak tahun 1990, proyek (Canadian International Development Agency) telah melakukan kegiatan di pesisir dan laut Sulawesi Utara dengan konsep Integrated Coastal Zone Management (ICZM) atau pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Pada bulan September 1992 CIDA melakukan program perlindungan dan pengamanan dan manajeman daerah pantai di Sulut.2 Dalam pembahasan manajemen pantai dan lokakarya proyek ini juga melibatkan NRMP-USAID dan Sub BKSDA Sulut.

Sekitar tahun 1992, Mac Arthur Foundation juga ikut mendanai penelitian keanekaragaman hayati di beberapa lokasi di Sulut, termasuk di TN Bunaken. Dana ini disalurkan antara lain melalui Forum Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Forda-Walhi) Sulawesi Utara.

Proyek Coremap (Coral Reef Management and Rehabilitation Program) juga memilih basis kegiatannya di Desa Bunaken.3 Program ini bermaksud mengembangkan suatu sistem perencanaan dan pengelolaan terumbu karang secara lokal, efektif dan berkelanjutan. Selain itu, mengembangkan suatu program rehabilitasi terumbu karang yang efektif, efisien dan lestari.

Pemerintah Jepang melalui The Integrated Coral Reef Management Plan in North Sulawesi (InteCoReef) – The Japan International Cooperation Agency (JICA) pun tertarik mengembangkan kegiatannya di Rap-rap dan Manado Tua. Di perairan Arakan, JICA pernah mematok lokasi percontohan dalam pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat tahun 2001. Tapi, banyak warga Rap-rap yang menolak. Alasannya, di lokasi tersebut nelayan tak dapat berkegiatan sama sekali.

InteCoReef/JICA melakukan studi mengenai manajemen terumbu karang di Sulawesi Utara setelah ada persetujuan antara pemerintah Indonesia dan Jepang tanggal 21 Desember 1999. JICA sebagai instansi pemerintah Jepang bertanggung jawab dalam implementasi berbagai program kerjasama yang diutus sebagai pelaksana tim studi di Indonesia. Tujuan studi, untuk merumuskan rencana induk (master plan) bagi konservasi dan pemanfaatan terumbu karang di Sulawesi Utara yang berkelanjutan secara ekonomi.4

Tahun 2000, WWF Indonesia Program-Bioregion Wallacea juga mulai menjajaki kegiatan di TN Bunaken melalui konsep ekoregion Sulu-Sulawesi.5 Selain ikut mendanai program penegakkan hukum, WWF Wallacea mengembangkan kegiatan Friends of the Reef di TN Bunaken.6 Kegiatan ini dengan membangun kemitraan antara taman nasional, sektor swasta dan masyarakat lokal untuk memperkuat penerapan hukum.7 Program ini secara lebih luas didanai UNDP (United Nations Development Program) Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Fasilitas Lingkungan Global (GEF, Global Environment Facility).8

Lembaga lain yang juga memberi perhatian di kawasan TN Bunaken antara lain, Seacology9 dan Mangrove Action Project (MAP). MAP bekerjasama dengan Kelola mendapat sokongan dana dari Seacology untuk pembangunan daseng Lolaro di Desa Tiwoho, kawasan TN Bunaken. Daseng yang disebut CCRC (a Community Coastal Resource Center) ini dengan biaya awal US 20 ribu (sekitar Rp. 160 juta).10 Selain itu, Seacology mendukung pembangunan dermaga yang dibangun di muka kampung Bunaken dan kegiatan eco-reef di Pulau Manado Tua. Dana pembangunan dermaga di Bunaken ini sebesar Rp 200 juta dan eco-reef di Pulau Manado Tua sebesar US$ 20 ribu (Rp 160 juta). Dana pembangunan dermaga dan kegiatan eco-reef ini diberikan melalui Dewan Pengelolaan TN Bunaken.

Eco-reef merupakan rehabilitasi nyare dengan menggunakan karang buatan. Sebanyak 600 buah bahan dasar (modul) telah ditempatkan di depan dua pemukiman di Pulau Manado Tua, masing-masing di Bualo dan Negeri. Karang bercabang buatan dari keramik ini ditanam di nyare yang sudah rusak.

Kegiatan yang dibawa tiap-tiap lembaga ke kawasan TN Bunaken ini terkadang membuat sebagian besar rakyat menjadi bingung. Sebab, mereka sulit membeda-bedakan program yang diusung lembaga tersebut. Selain di kawasan Bunaken, Marine Resource Evaluation and Planning Project (MREP) atau Proyek Penyusunan Neraca Sumberdaya Kelautan dan Pesisir Daerah, melakukan penelitian tentang penentuan calon kawasan konservasi laut di Kepulauan Nanusa dan sekitarnya di Kabupaten Talaud.11

Masih di Sangihe dan Talaud, Yayasan Laut Lestari Indonesia (YLLI) juga bekerja sama dengan Yayasan Kelola, Yayasan Napo dan Pemda setempat mengenai mekanisme publik sebagai prioritas pembangunan di Sangihe dan Talaud. Kegiatan dilakukan melalui loka latih pertama, kedua dan ketiga di beberapa tempat di Sangihe.12

Pada tahun 2004, The Nature Conservancy (TNC) mulai mengembangkan sayap kegiatan di Pulau Sulawesi melalui ECA (Ecoregional Conservation Assessment) atau Pengkajian Konservasi Ekoregional. ECA mencakup pengkajian terhadap berbagai ekosistem di darat, perairan tawar, kawasan pesisir dan laut di Pulau Sulawesi. Selain itu, kelompok pulau di sekitar Togean, Banggai, Wakatobi, Taka Bone Rate, dan Sangihe Talaud.13

Di daratan Pulau Sulawesi kegiatan penyelamatan satwa liar dan yang terancam punah juga dilakukan Wildlife Conservation Society (WCS)14 dan Koffas melalui Pusat Penyelamatan Satwa Sulawesi (PPSS) dengan dukungan dana dari Gibbon Foundation. Program ini kemudian menjadi Pusat Penyelamatan Satwa Tosikoki. Penegakkan hukum dengan melakukan patroli dan monitoring dilakukan WCS. Kegiatan ini bekerja sama dengan NRM-USAID dan Sub BKSDA Sulawesi Utara. Patroli dan monitoring dilakukan di CA Tangkoko dan TN Bogani Nani Wartabone. Pelatihan dan monitoring bulanan dilakukan di beberapa lokasi di Bolaang Mongondow dan Gorontalo. WCS juga melakukan pemantauan penjualan satwa liar di pasar-pasar tradisional di Minahasa. Satwa endemik Sulawesi yang terancam punah antara lain, yaki, tarsius, babirusa, kuskus, anoa (sapi hutan), dan burung maleo.



Catatan Bab 12

1 Lembaga donor Jerman ini Evangelische Zentralstellefuer.

2 Pelaksana proyek ini adalah SNC-Lavalin International Inc. bekerjasama dengan Sub Dinas Pengairan Sulut.

3 Selain di Desa Bunaken, Coremap atau Program Rehabilitasi dan pengelolaan Terumbu Karang ini juga memilih Desa Sawang, di Kecamatan Siau Timur, Kabupaten Sangihe Talaud, sebagai proyek percontohannya. Proyek Coremap dimulai tahun anggaran 1997/1998 dan berakhir 2003/2004. Proyek ini dibiayai dana APBN, APBD dan loan ADB. Lokasinya berada di 10 provinsi, termasuk Sulawesi Utara.

4 JICA dalam studi ini mengorganisir tim yang terdiri dari berbagai keahlian dari Pacifik Consultants International (PCI). Pihak Indonesia yang dilibatkan adalah Kementerian Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP), Bappenas, LIPI dan Bappeda. Tentang deskripsi proyek, lihat Rencana Pengelolaan Terumbu Kareang Secara Terpadu di Sulawesi Utara, 2000, diterbitkan DELP, Bappeda Sulawesi Utara dan JICA. Areal studi meliputi 7.500 km bujur sangkar yang diambil melalui foto udara. Basis data sistem informasi geografi dikembangkan berdasarkan foto udara, survei lapang dan koleksi data.

5 WWF Wallacea telah memberi batasan ekoregion Sulu-Sulawesi terdiri dari dua dataran laut dalam setengah tertutup antara Laut Cina Selatan dan Pasifik. Sulu-Sulawesi berbatasan dengan daratan Borneo dan Sulawesi Utara bagian Selatan, Pulau Visayas dan Palawan, Filipina di sebelah Utara. Indonesia, Filipina dan Indonesia mempunyai daerah pesisir dan teritorial laut di ekoregion ini. Menurut WWF Wallacea, laut Sulu-Sulawesi terletak di pusat segitiga terumbu karang yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut. Laut ini merupakan rumah dari 450 spesies terumbu karang, 16 spesies rumput laut, 400 spesies ganggang laut, 6 dari 7 jenis spesies penyu dan sekitar 22 spesies mamalia laut yang langka. Laut Sulu-Sulawesi penting sebagai tempat pemijahan ikan-ikan bernilai ekonomis, seperti tuna sirip kuning, tuna mata besar, dan skip jack. Juga ikan-ikan demersal, udang, dan jenis-jenis yang berkontribusi bagi perekonomian lokal, nasional dan dunia.

6 Di Filipina WWF antara lain mengembangkan kegiatan perlindungan pulau-pulau penyu, mendukung implementasi rencana pengelolaan Taman Nasional Tubataha, mengukur dampak perubahan ikilim untuk dimasukkan ke dalam perencanaan konservasi, melakukan pendataan ikan hiu dan manta, serta sertifikasi kepiting.

7 Program WWF di beberapa tempat sering mengedepankan penerapan hukum yang terkadang berbenturan dengan kepentingan para pemanfaat di dalam kawasan konservasi.

8 Pada akhir Maret 2001, untuk pertama kalinya para ahli konservasi dan biologi laut dari Indonesia, Malaysia dan Filipina duduk bersama untuk merumuskan visi konservasi tingkat ekoregion dan menetapkan daerah prioritas dalam kawasan laut Sulu-Sulawesi.

9 Seacology adalah lembaga donor yang didirikan orang-orang peduli lingkungan di Amerika. Lembaga ini dikabarkan hanya memberi dukungan dana untuk proyek-proyek yang bersifat fisik, seperti bangunan dan lain-lain.

10 Dukungan dana daseng CCRC di Tiwoho juga datang dari Coral Reef Foundation US$ 6.000 (Rp. 48 juta), Global Green Grants US$ 3.000 (Rp. 24 juta) dan IUCN sekitar US$ 15 ribu (Sekitar Rp. 120 juta). Selain itu, MAP juga memperoleh dukungan dana dari ICCO dan Goldman Foundation yang antara lain juga dikontribusikan untuk pembangunan daseng Tiwoho. Diperkirakan dana untuk pembangunan daseng CCRC ini sekitar US$ 50 ribu (sekitar Rp. 400 juta ) dan untuk pekerja bangunan (tukang) sekitar US$ 15 ribu (Rp. 120 juta). Dalam mendukung kegiatan yang lain, Kelola juga mengembangkan proposal ke RAMSAR, GEF/SGP dan JICA. Sedangkan ke CESDA-LP3ES untuk program fasilitasi di Selat Lembeh dan Kwandang sempat diterima. Tapi, karena Kelola juga mendapat dana dari CSSP-USAID, proposal itu dibatalkan. Sebab, dana CESDA-LP3ES juga berasal dari USAID. Hendro Sangkoyo, dalam Jurnal Wacana Edisi 16 th IV 2004, Membongkar Proyek-Proyek Ornop, menguraikan tentang kinerja gerakan yang bergantung pada keadaan aliran dana. Jauh lebih penting lagi bahwa sangat tipis perbedaan antara peran Ornop sebagai kontraktor, sub kontraktor atau perantara dengan perannya sebagai “pendamping” atau “pelayang kampung.” Menurut Sangkoyo, peran Ornop sebagai distributor barang-barang kebutuhan publik telah meluas menjadi sub-kontraktor dalam berbagai wilayah policy. Dari sisi pemberi dana, agenda gerakan bergantung pada sejauh mana pemberi dana bisa memperkenankannya tanpa menghadapi kesulitan dengan para patron dan pembayar pajak di negeri masing-masing.

11 MREP dimulai 1 April 1993 di 10 Provinsi di Indonesia, termasuk Sulut. Penilaian potesi yang dilakukan meliputi data bio-geo-fisik, sosial, ekonomi dan budaya di Nanusa. Penetapan Kepulauan Nanusa sebagai calon kawasan konservasi telah diusulkan Gubernur Sulawesi Utara ke Dirjen PHPA. Pelaksanaan ini juga mengacu pada pengelolaan terumbu karang di Pulau Bunaken dan sekitarnya, yang bekerjasama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat. Hal teknis lainnya tentang pengelolaan wilayah pesisir melalui kerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup Unsrat.

12 Dalam program IKAN, belakangan Kelola menarik diri dari kerjasama tersebut. Alasan Kelola, karena salah satu donor dalam program itu adalah Rio Tinto Foundation. Rio Tinto termasuk salah satu perusahaan tambang yang diduga banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan pencemaran lingkungan.

13 Kegiatan ECA di Sulawesi ini telah dimulai sejak bulan Februari sampai Maret 2004 di Palu, Makassar, Kendari, Manado dan Gorontalo. ECA berkegiatan dengan persetujuan dan dukungan dari Bappenas dan para perencana pemerintah baik di provinsi, kabupaten dan kota. Tujuannya adalah menemukan cara-cara paling efektif untuk mengelola sumberdaya alam, melestarikan keanekaragaman hayati dan mendukung kehidupan masyarakat yang sehat, lihat brosur ECA Sulawesi pengkajian Konservasi Ekoregional. Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, pemerintah setempat telah memadukan lokasi yang diidentifikasi dalam proses ECA ke dalam perencanaan tata ruang.

14 WCS berdiri tahun 1895 sebagai New York Zoological Society, bekerja untuk menyelamatkan hidupan liar di seluruh dunia. WCS memiliki banyak staf lapangan dan melakukan kegiatan di 50 negara di Amerika Latin, Amerika Utara, Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Prioritas WCS adalah penelitian lapangan. Di Sulawesi fokus kegiatannya melakukan survei keanekaragaman hayati di 13 kawasan konservasi. Di Cagar Alam Tangkoko, WCS berkegiatan sejak tahun 1992. Selain itu, WCS melakukan kegiatan pelatihan, memantau spesies hidupan liar dan monitoring populasi burung maleo di Sulawesi Utara. Di Indonesia dan tempat lain di Asia, WCS juga melakukan survei terumbu karang.

No comments: