Saturday, February 24, 2007

Bab 5. Perbaikan Zonasi

Zona-zona yang ada di kawasan Taman Nasional bersifat dinamis dan bisa berpindah-pindah. Hal ini sesuai dengan fungsi dan pola perubahan musim di dalam kawasan pelestarian alam di pesisir dan laut. Kelleher dan Kenchington (1991) mengemukakan bahwa pengaturan dasar bagi peninjauan ulang zonasi atau perlindungan lainnya dalam jangka waktu tertentu dipandang sebagai bagian pengelolaan yang sangat penting. Periode antar waktu Peninjauan seharusnya tidak terlalu pendek akibat masalah keterbatasan sumberdaya, tetapi tidak juga terlalu lama. Peninjauan ulang harus meliputi pemantauan dampak, pola pemanfaatan, efektivitas pelaksanaan pengelolaan yang ada dan penyempurnaan pemahaman-pemahaman ilmiah.

Setelah adanya dualisme zonasi di dalam kawasan yang dikeluarkan Departemen Kehutanan, revisi pun dilakukan NRM/EPIQ dan Balai Taman Nasional Bunaken. Kegiatan revisi dimulai dari Pulau Bunaken, bulan Maret tahun 2000. Kegiatan ini diklaim telah melalui proses partisipatif dengan melibatkan pihak-pihak terkait.

Perbaikan zonasi untuk seluruh kawasan diperkirakan selesai pada pertengahan tahun 2001. Kegiatan itu juga bekerjasama dengan WWF Walacea, TNC, North Sulawesi Watersport Assossiation (NSWA) dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi dan Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken yang telah berhasil menerapkan sistem monitoring tempat pemijahan ikan goropa dan napoleon di kawasan Taman Nasional Bunaken. Tim monitoring dilatih WWF dan TNC. Hasil tersebut dipakai dalam proses revisi zonasi TN Bunaken untuk menjamin pemulihan stok ikan.

Di sisi lain, dilakukan upaya penegakkan hukum di dalam kawasan. Penegakkan hukum dibarengi dengan kegiatan revisi zonasi ini banyak menimbulkan tentangan dari penduduk di dalam kawasan. Petugas lapangan Program NRM, menceritakan mendapat penolakan di beberapa kampung. Di Pulau Mantehage, kampung Buhias, saat kegiatan sosialisasi revisi zonasi di salah satu rumah, tim dilempari dengan batu. Di Pulau Nain, juga mengalami penolakkan.

Kasus penolakan yang paling dramatis terjadi di kampung Rap-rap, Kecamatan Tumpaan, Kabupaten Minahasa Selatan. Sejak bulan Januari tahun 2002, sebagian nelayan Rap-rap menginginkan perairannya jangan dimasukkan lagi menjadi bagian dari TN Bunaken. Letupan ini sah-sah saja mengingat selama ini di Indonesia, setiap penetapan kawasan konservasi tanpa melibatkan rakyat setempat.

Tapi, yang menjadi pertanyaan, apa pemicu sehingga warga ingin keluar sebagai bagian dari TN Bunaken? Apakah itu dukungan dari kelompok yang selama ini melakukan kegiatan dengan cara merusak, seperti pengebom atau warga yang tidak dilibatkan dalam proses perencanaan di kampungnya? Yang jelas, letupan itu tak hanya sekadar melempar wacana di tingkat kampung saja.

Dengarkanlah kisah Adrianus Makisurat, 41 tahun.1

Sebagai orang yang dipercaya menjaga keamanan rakyat (Kamra) di Desa Rap-rap, saya mendapat laporan ada yang berada di nyare (punggung karang) di lokasi Ages dan Masrorong tanggal 18 Juli 2003. Banyak warga yang bertanya-tanya tentang kehadiran beberapa orang yang mencurigakan di lokasi itu. Saya berusaha menenangkan mereka dan meminta agar menahan diri. Dengan menggunakan perahu saya seorang diri menuju lokasi tersebut. Di laut tiga orang sedang menyelam dan tiga lainnya berada dalam perahu.

Sembari meminta maaf, saya berkata,”Mo bekeng apa (Mau bikin apa).”
Dari atas perahu ada yang balik menyahut,”Om siapa?”
“Manusia,” jawab Adrianus.
Saya mendapat penjelasan bahwa, di lokasi itu (tim NRM) sedang melakukan penelitian terumbu karang. Mendapat penjelasan itu, saya mengayuh perahu lagi untuk mencari ikan.

Selajutnya, masih di lokasi perairan Arakan tim NRM melakukan kegiatannya. Dengan menggunakan lima perahu, Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa Rap-rap Musa Budiman bersama sekitar 50 warga Rap-rap menuju pureng, tempat tim tersebut. Kedatangan rombongan warga ini karena panik setelah mendengar isu adanya pengkaplingan laut yang dilakukan tim di lokasi itu.

Di lokasi Pureng, Musa bertanya tim itu sedang melakukan apa.
“Penelitian terumbu karang,” jawab salah satu dari tim tersebut.
Musa kembali bertanya,”Apa kegiatan tersebut sudah diberitahukan ke kampung?”

Penolakan zonasi yang dilakukan sebagian warga Rap-rap ini telah muncul sejak tahun 2000 dan 2002.

Tiba-tiba, beberapa warga Rap-rap, di antaranya Musa dan Adrianus mendapat panggilan polisi. Pada tanggal 22 Juli 2003, kasus ini mendapat porsi pemberitaan di beberapa media cetak yang terbit di Manado.2 Pemberitaan dan juga laporan ke polisi menyangkut konflik kepentingan antara nelayan Rap-Rap dengan peneliti NRM Sulawesi Utara yang mendapat penolakan itu menunjukkan ketidakpahaman tentang keberadaan rakyat setempat. Setelah terbit berita di beberapa media cetak di Manado, pihak NRM III, membuat siaran pers. Dalam siaran pers itu dijelaskan bahwa kejadian di perairan Arakan-Wawontulap, depan pemukiman Rap-rap hanya kesalahpahaman dengan kelompok tertentu. NRM III juga tidak pernah melaporkan kasus itu ke pihak berwajib.3

Ketidakpahaman dan sikap tidak menghargai warga yang merasa keberatan juga tampak dengan adanya kegiatan revisi zonasi di perairan Arakan. Padahal, sebagaimana prasyarat, zonasi yang diusulkan dan akan ditetapkan praktis dan tidak akan menimbulkan konflik kepentingan. Bila ada konflik pun dapat diatasi melalui musyawarah.

Tanggal 31 Juli 2003, ratusan nelayan Rap-rap bersama keluarganya, melakukan aksi demo di kantor NRM di Manado dan DPRD Sulawesi Utara. Aksi itu dilakukan menyusul adanya panggilan dari Kepolisian Sektor Tumpaan terhadap beberapa warga. Aksi nelayan Rap-rap bersama keluarganya yang tergabung dalam Sinar (Solidaritas Nelayan Arakan) berlanjut tanggal 5 Agustus 2003 di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Utara. Saat itu, DPRD juga melakukan dengar pendapat menyangkut permasalahan yang timbul antara warga Rap-rap dan tim peneliti NRM. Tak hanya tim NRM III Sulawesi Utara hadir dalam dengar pendapat itu. Tampak pula, Reed Merrill sebagai pimpinan tim NRM/EPIQ, staf USAID di Jakarta dan Civil Society Support and Strengthening Program (CSSP).4

Ketua Badan Perwakilan Desa Rap-Rap, Rudi Haniko mengatakan bahwa kedatangan mereka ke DPRD untuk menolak kegiatan zonasi di perairan Arakan. Selama ini, kegiatan zonasi hanya melibatkan elit-elit di Desa Rap-Rap, seperti hukum tua (sebutan untuk Kepala Desa di Minahasa) dan sekretaris desa. Selain itu, warga juga menuntut agar yang diproses di Kepolisian Sektor Tumpaan karena adanya laporan pengancaman pembunuhan terhadap peneliti NRM tidak dilanjutkan.

“Kami menolak kegiatan zonasi karena tidak melibatkan masyarakat. Ini sudah bentuk penindasan, apa salah kami,” Rudi Haniko menuturkan.

Saat berunjukrasa, para nelayan bersama keluarganya membawa spanduk dan poster dengan tulisan. “Solidaritas Nelayan Arakan (Sinar), Tolak Proyek Zonasi NRM” , “Bebaskan Kawan-Kawan Kami” , “Zonasi NRM Ditetapkan Kami Putus Sekolah” , “Nyare Dikapling Anak-Anak Kami Putus Sekolah”.

Ketika dengar pendapat, Direktur Intelkam Kepolisian Daerah Sulawesi Utara Komisaris Besar Handoko mengatakan bahwa proses penyidikan yang dilakukan polisi karena adanya laporan tertulis dari Kepala Desa Arakan. Inti surat itu telah terjadi pengancaman dan pembakaran dan meminta aparat kepolisian menindaklanjuti laporan itu. Dengan dasar itu, kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan tersangka.Pimpinan NRM di Sulawesi Utara Mark Erdmann menjelaskan bahwa program NRM di Taman Nasional Bunaken untuk pengelolaan bersama para pihak, termasuk masyarakat. Tujuannya agar pengelolaan di Bunaken lebih efektif dan aspiratif. Sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, semua taman nasional (di Indonesia) diatur dengan sistem zonasi. Proses adanya zonasi ini membutuhkan waktu yang lama dengan melibatkan para pihak. Mengenai adanya ancaman terhadap peneliti NRM terjadi karena adanya kesalahpahaman. Kepala Balai Taman Nasional Bunaken, Arief Toengkagi5 mengatakan bahwa program NRM di Taman Nasional Bunaken untuk membantu dan memfasilitasi revisi zonasi.

Agaknya, unjukrasa nelayan Rap-rap bersama keluarganya ini cepat menjalar di kawasan Taman Nasional Bunaken II dari Desa Poopoh hingga Popareng. Pada tanggal 7 Agustus 2003, ratusan warga melakukan demo tandingan di DPRD Sulawesi Utara.6 Mereka mendukung kegiatan zonasi di kawasan Taman Nasional Bunaken yang difasilitasi program NRM. Pendemo mengungkapkan bahwa revisi zonasi yang sedang berjalan di desa-desa di kawasan TN Bunaken bagian selatan mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat, pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa. Karena itu, ratusan warga meminta kegiatan revisi zonasi yang dikerjakan NRM, Balai TN Bunaken dan Dewan pengelola Bunaken tetap dijalankan.
Berikut ini pernyataan sikap yang dibawa dan dibagikan pendemo tandingan.

Kami masyarakat kawasan “Taman Nasional Bunaken” wilayah selatan menyatakan:

"Membantah pernyataan yang disampaikan oleh sebagian kecil masyarakat Rap-rap yang menyatakan proses sosialisasi revisi zonasi di rayon selatan tidak melibatkan masyarakat.
Pihak Balai Taman Nasional Bunaken, Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, NRM termasuk Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken selama ini sama sekali tidak memberikan petunjuk langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan sosialisasi revisi zonasi kepada tim fasilitator desa dengan melakukan cara-cara pemaksaan kehendak kepada masyarakat.

Memintakan kepada DPRD Sulawesi Utara untuk segera mengusut secara tuntas, pihak-pihak tertentu yang selama ini telah menyebarkan isu bahwa “nyare dan terumbu karang” di wilayah selatan TN Bunaken akan dijual kepada orang asing.

Kami mendukung sepenuhnya pihak Balai TN Bunaken untuk melakukan proses zonasi di kawasan TN Bunaken bagian selatan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
Memintakan kepada DPRD Sulawesi Utara untuk segera mencabut pernyataan yang menyebutkan “penghentian sementara revisi zonasi” di wilayah selatan TN Bunaken, khususnya di Desa Rap-rap.

Karena kenyataan sesungguhnya pelaksanaan revisi zonasi yang sedang berjalan di delapan desa lainnya telah berjalan dan didukung sepenuhnya oleh masyarakat, pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa."

Namun, ada perbedaan yang mencolok dari kedua kelompok pendemo ini. Nelayan dan keluarganya yang melakukan penolakan zonasi datang ke gedung DPRD Sulawesi Utara dengan cara mengumpulkan uang sendiri untuk menyewa truk, menyediakan makanan dari rumah. Lain lagi dengan pendemo tandingan. Mereka disediakan transportasi dan makanan selama sehari melakukan demo di DPRD Sulawesi Utara.

Ketegangan di Rap-rap masih berlanjut. Pada hari Sabtu tanggal 20 September malam, ada warga yang mengancam Kepala Desa Rap-rap Frans Ibrahim. Petugas Kepolisian Sektor Tumpaan diminta datang ke lokasi. Tiga anggota kepolisian langsung mendatangi rumah Johan Manahampi yang diduga mengancam kepala desa. Dua minggu sebelumnya, menurut Sekretaris Desa Rap-Rap Ismail Husen, Johan sempat mengancam kepala desa dengan parang soal pembagian beras bagi keluarga miskin.

Minggu dini hari, polisi langsung membawa Johan ke rumah Hukum Tua. Melihat perlakuan seperti itu, Rudi Haniko mencoba melakukan negosiasi dengan polisi agar Johan tidak dibawa ke Polsek Tumpaan. Alasannya, tidak ada surat panggilan atau penangkapan untuk Johan. Pertemuan mulai memanas karena tiba-tiba batu berhamburan ke rumah Hukum Tua Frans Ibrahim. Kaca rumah bagian depan dan mobil pecah. Bukan cuma itu. Papan informasi Taman Nasional (TN) Bunaken juga dirusak.

Minggu pagi, polisi mendatangi rumah Rudi Haniko dan membawanya ke Kepolisian Resort Minahasa. Rudi dicurigai telah menggerakkan massa untuk menyerang rumah hukum Tua. Selain Rudi, beberapa warga juga dibawa polisi. Di Markas Polres Minahasa, puluhan warga ini mengalami penyiksaan saat polisi melakukan pemeriksaan. Pengacara warga Rap-Rap yang diproses di Polres Minahasa, Maharani Salindeho menuturkan bahwa seorang warga Rap-rap bernama Andries dibawa ke rumah sakit karena rusuk kanan bengkak. Warga lainnya, Destu, mengalami sakit di bagian dada. Diduga hal itu karena pemukulan yang dilakukan polisi. Sebanyak 19 warga Rap-rap ditahan di Polres Minahasa karena diduga terlibat perusakkan rumah Hukum Tua Rap-rap Frans Ibrahim.7

Kegiatan revisi zonasi yang telah merembes menjadi kriminalisasi bagi rakyat di kawasan TN Bunaken ini terjadi lantaran terburu-buru dilakukan. Karena itu, banyak menimbulkan penolakkan. Seharusnya, langkah yang diambil setelah keluarnya SK Dirjen PHPA tentang zonasi adalah melakukan re-evaluasi zonasi. Zonasi merupakan syarat utama dalam pengelolaan kawasan taman nasional. Pada 1992, masalah zonasi telah diributkan berbagai instansi, terutama yang berkepentingan dalam pengembangan wisata. Begitu pula dengan pemindahan penduduk, terutama di Pulau Bunaken.

Melalui pertemuan-pertemuan di desa, akhirnya rakyat setempat mengusulkan zonasi (khusus zona inti dan pemanfaatan). Tapi, bukan berarti itu diterima semua warga. Konflik zonasi sudah muncul sejak 1994, terutama di perairan Pulau Nain untuk budidaya rumput laut, Bunaken untuk penyelaman dan Mantehage di habitat mangrove.

Sebenarnya, di tiap-tiap desa yang mengusulkan zona inti di desanya memiliki karakteristik sendiri. Misalnya di Tangkasi dan Nain (khusus mangrove) yang memang sudah lama lokasinya ‘dikeramatkan’. Artinya, hanya memindahkan pengetahuan yang berkembang di masyarakat di atas kertas (peta). Sementara di Desa Alungbanua dan Bango, dilalui dengan berkali-kali pertemuan desa sampai keinginan membuat SK Desa yang akhirnya tidak disetujui Camat Molas, Kotamadya Manado di masa Orde Baru.

Anehnya, Departemen Kehutanan malah mengeluarkan keputusan yang kontroversial dan tak menghargai keberadaan rakyat yang ada di kawasan taman nasional. SK itu seolah-olah menggambarkan bahwa tak ada penduduk yang memanfaatkan dan mendiami daratan dan perairan TN Bunaken. Kegiatan hanya wisata terbatas.

Untuk zona pemanfaatan, jelas-jelas penduduk setempat menginginkan lokasi yang mereka tempati dapat menyambung kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya kepentingan wisata dan rekreasi yang hanya menguntungkan pengusaha dan sama sekali tak ada kontribusinya buat desa. Karena itu, aturan kebijakan harus fleksibel dan sudah saatnya definisi-definisi zonasi yang ada diubah sesuai dengan kebutuhan penduduk setempat dan kepentingan lainnya sesuai manfaat kawasan pelestarian alam.

Menjembatani kepentingan rakyat dengan peraturan-peraturan yang berlaku memang tidak mudah. Tak hanya analisis sosial kemasyarakatan yang dibutuhkan, tapi juga ekologi kawasan.

Barangkali, konflik antarpenduduk bisa dihindari bila ada pertemuan dan melakukan evaluasi zonasi sebelumnya. Dengan demikian, warga mendapat gambaran yang komprehensif. Atau juga melakukan sosialisasi tentang maksud kunjungan dan menangkap aspirasi di masyarakat, terutama kemungkinan yang pro dan kontra.

Bila mendengar perkembangan di lapangan, revisi ini memberikan kesempatan bagi warga untuk mengusulkan zonasi versi warga desa. Dikurangi atau dipindah, dan bisa juga hanya zona inti, zona pariwisata dan zona pemanfaatan masyarakat. Kegiatan yang partisipatif bukan berarti tak ada intervensi pihak luar untuk memfasilitasi.

Yang patut dihindari adalah usulan penduduk yang tanpa kajian kondisi setempat dan dampak ikutan. Bila rakyat mengusulkan lokasi zona inti ternyata bekas tempat pengeboman ikan, apakah ini layak dijadikan zona inti? Begitu juga bila lokasi yang diusulkan ada pembibitan atau penanaman mangrove apakah ini layak dijadikan zona inti? Bila rakyat akan terancam erosi bila dia terus menebangi pohon-pohon di lereng dan puncak Manado Tua, apakah akan didiamkan?

Sebagai contoh, usulan zona inti antara perairan Desa Bango dan Tinongko. Lalu dilakukan survei lokasi, ternyata di tempat ini bekas pengeboman ikan yang ditandai dengan pecahan karang yang telah memucat dan cukup luas. Lokasi itu lantas diusulkan sebagai zona rehabilitasi.

Meski demikian, masih banyak yang belum terkuak di Pulau Mantehage. Misalnya, adanya spesies mangrove yang khas yang tumbuh secara alami di sana. Tentunya keberadaan berbagai spesies mangrove ini harus terus dipertahankan.

Kini Pulau Bunaken telah memiliki zonasi yang baru. Tapi, agaknya, telah terjadi salah kaprah bahwa perairan Bunaken tertutup bagi kegiatan apapun. Ini menyebar hampir di semua kawasan, baik di Pulau Nain sampai Rap-rap. Apalagi bila keberadaan Forum Masyarakat Peduli TN Bunaken dan fasilatator kampung belum mendapat dukungan sepenuhnya dari warga desa. Ini akan menyulitkan proses sosialisasi dan perencanaan bersama.

Namun dari perkembangan yang ada, khusus zona inti sebenarnya tak hanya yang telah difasilitasi melalui pertemuan-pertemuan. Tapi, perlu juga yang berdasarkan musim dan fenomena alam. Perlindungan ini dilakukan, umpamanya setiap bulan purnama bila di lokasi tertentu ada spesies yang memijah. Pengalaman empiris nelayan di kawasan menunjukkan bahwa setiap bulan purnama berbagai jenis fauna laut melakukan proses pemijahan atau perkawinan seperti untuk spesies duyung.8 Pada saat seperti itu harus ada kesepakatan tidak ada pemanfaatan di lokasi yang diketahui sebagai tempat pemijahan. Ini untuk menghindari gangguan terhadap spesies tersebut. Usulan zona inti di Desa Bango, antara lain, juga mengacu pada hal seperti itu.

Menjelang purnama, seperti dituturkan warga Desa Bango Andreas Mangantibe, ikan jenis uhi berkumpul dan bertelur di lokasi tertentu di bagian barat Pulau Mantehage. Di perairan Rap-rap, saat seperti itu duyung bercumbu dan melakukan perkawinan. Begitu juga dengan jenis ikan napoleon yang memijah di tanjung yang memiliki arus cukup kuat. Fenomena seperti ini diperkuat Erdmann bahwa di lokasi-lokasi tertentu ada proses secara alamiah untuk pemijahan ikan di TN Bunaken.

Penolakan adanya zonasi di Taman Nasional Bunaken masih terus berlanjut. Kali ini dilakukan warga di pulau-pulau. Bahkan ada nelayan yang mengusir tim DP TN Bunaken. Salah seorang perwakilan masyarakat Pulau Bunaken mendatangi DPRD Sulawesi Utara bulan Januari 2004 untuk meminta dukungan.9 Menurut staf Yayasan Suara Nurani (YSN) Tomohon, Frets Pieter, keinginan warga Bunaken ini dipicu penangkapan dan penahanan terhadap delapan warga Bunaken.10 Karena itu, muncul demo agar zonasi di Desa Bunaken ditiadakan.

Adapun surat kesepakatan tentang zonasi di Desa Bunaken, Pulau Bunaken, telah ditandatangani Kepala Balai TN Bunaken dengan Kepala Desa Bunaken. Kesepakatan itu isinya, antara lain, didasarkan pada kepentingan bersama untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat, serta pelestarian lingkungan alam TN Bunaken. Selain itu, pihak pertama dan kedua telah sepakat membuat dan memasang tanda-tanda batas untuk zonasi.

Staf YSN lainnya, Mareyke Siwu, mengatakan bahwa zonasi ini tidak memiliki batas yang jelas di lapangan. Delapan warga yang ditangkap dan ditahan karena mereka diduga mencari ikan di zona pemanfaatan pariwisata. Padahal, kalau ada pemandu penyelam dan turis yang melakukan penyelaman bawah laut di zona pemanfaatan masyarakat tidak pernah ditindaki. “Kenapa turis yang masuk zona pemanfaatan masyarakat tidak dilarang,” tutur Mareyke Siwu. Adakalanya, warga Bunaken memergoki penyelam yang mengambil akar bahar (black coral).11

Sebelumnya, Maret 2003 lalu warga di kampung Tiwoho, Bahowo, Tongkaina, Meras dan manado Tua ingin lepas dari TN Bunaken. Pemberlakuan zonasi disertai penegakkan hukum yang membabibuta di kawasan TN Bunaken berdampak buruk bagi rakyat setempat.

Lowe (2003) juga pernah mencatat proses revisi zonasi yang mendapat penolakan di Pulau Manado Tua.12 Beberapa orang di Manado Tua tidak setuju dan memprotes konsep dengan banyak larangan untuk menangkap ikan ini. Contoh kegiatan yang partisipatif di Manado Tua ini mengindikasikan kejadian serupa di banyak tempat.

Di Pulau Nain, Lowe kembali mencatat kegiatan NRM-II. Suatu hari, Lowe bertemu dengan penghubung (liaison) proyek NRM-II yang sedang memasang billboard di dua tempat yang berbeda. Pesan dalam billboard itu dengan misi konservasi. Kegiatan konservasi ini berupa lomba menanam bakau dan beberapa aktivitas untuk anak-anak muda, pertemuan kelompok untuk orang dewasa tentang sistem zonasi yang masih banyak membingungkan. Lokasi dan arti beberapa zona membuat masyarakat Nain khawatir. Mereka ketakutan tak bisa lagi berkegiatan menanam rumput laut. Hal ini tentunya menimbulkan perlawanan terhadap gagasan tentang zona inti.

”Suatu ketika, Direktur NSWA datang ke Nain untuk memberikan informasi mengenai taman nasional. Kebetulan dia datang saat shalat Jum’at. Orang-orang menjadi curiga. Mereka mengira dia akan membeli Pulau Nain Kecil. Sebab, dia datang dengan membawa tas besar. Orang Nain mengira tas ini berisi uang untuk membeli pulau. Orang-orang lalu keluar dengan menenteng parang.”13

Di pulau Mantehage, juga terdengar tingkah laku tim patroli yang pilih kasih terhadap turis asing. Tim patroli ini tidak tidak memberi teguran saat melihat ada turis yang menyelam di zona inti.14 Sebaliknya, kalau nelayan setempat dilihat menangkap ikan di zona inti langsung ditangkap.

Hingga program NRM-III ditutup Oktober tahun 2004, masalah revisi zonasi di Desa Nain dan Rap-rap ini belum selesai. Program ini lalu dititipkan ke Mitra Pesisir, yang juga masih mendapat sokongan dana dari USAID. Dewan Pengelolaan TN Bunaken dan balai TN Bunaken mendapat warisan masalah zonasi di dua tempat itu. Selain itu penolakan juga dari warga desa lainnya, seperti di Bunaken. Menurut Direktur Dewan Pengelolaan TN Bunaken Reinhart Paat, masalah revisi zonasi ini masih belum sepenuhnya dituntaskan.

***

Berdirinya Kelola tahun 1995, tidak lepas dari keberadaan proyek NRM I. Kelola terbentuk atas inisiatif beberapa penggiat yang saat itu bekerja di NRM Sulawesi Utara. Tujuan organisasi ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir lewat pengembangan sumberdaya yang berwawasan lingkungan dan pemasyarakatan wawasan lingkungan di Sulawesi utara. Selain itu, pendampingan masyarakat sebagai prioritas pembangkitan partisipasi dan kemandirian dalam pengembangan sumberdaya pesisir yang bersahabat dengan alam, serta pengkajian keberadaan sumberdaya alam laut dan pesisir. Namun, secara ke dalam, diisyaratkan terbentuknya Kelola nantinya akan menjembatani kepentingan rakyat di dalam kawasan TN Bunaken dengan pengelola TN Bunaken setelah proyek NRM berakhir.

Namun, sempat terjadi perseturuan antara Kelola dan NRM Tak heran bila Direktur Yayasan Serat Manado, Reiner Emyot Ointoe, melihat bahwa perseturuan NRM dan Kelola ini antara “bapak-anak” yang telah melebar menjadi konflik horizontal antara publik yang menjadi mitra mereka. Menurut Ointoe, kasus antara lembaga (NRM dan Kelola) ini, telah mengindikasikan bahwa pendekatan kita terhadap isu-isu lingkungan sedang menjurus ke krisis.15 Sebab, kata Ointoe, Kelola dan NRM yang memiliki komitmen terhadap lingkungan ini justru saling “perang”.

Kekerasan memang tak hanya dilihat bila terjadi kontak fisik. Tapi bisa juga lewat ucapan dan perilaku yang brutal. Menurut Herry Dim, kekerasan adalah suatu keniscayaan yang ada dalam diri setiap manusia. Karena itu bersamanya terbuahi pula adanya naluri agresi bahkan transgesi (kekerasan ke dalam diri sendiri).16 George Ninan (2002) menegaskan bahwa banyak aksi rakyat yang gagal karena kegenitan aktivis yang tak mau belajar bersama rakyat. Mereka ini lebih suka mendikte rakyat dengan kepentingan sendiri.17 Karena itu, menurut Ninan, dibutuhkan refleksi setelah adanya aksi. Refleksi tanpa aksi akan melahirkan pembual, jago bicara, debat, diskusi. Namun, tak mampu melahirkan apa-apa untuk perubahan. Aksi tanpa refleksi hanya menghadirkan para aktivis yang memang gegap gempita, namun sering jadi pecundang.18

Konflik menjadi tidak produktif, baik antara orang kampung sendiri, Kelola dan NRM Sulawesi Utara. Berbagai prasangka yang sarat emosi muncul dan telah memperburuk komunikasi. Secara langsung atau tidak langsung, pekerja di Kelola “memanfaatkan” kelompok yang menentang hukum tua bersama pendukungnya. Begitu juga NRM, melalui aparat desa dan pendukungnya “memanfaatkan” kondisi seperti itu.

Konflik dapat berwujud tertutup (tersembunyi), mencuat dan terbuka.19 Konflik tersembunyi dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak dan belum sepenuhnya berkembang. Konflik ini belum terangkat ke puncak konflik. Seringkali satu atau dua pihak belum menyadari adanya konflik itu dan bahkan yang paling potensial pun. Konflik mencuat adalah perselisihan di mana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Pihak-pihak tersebut mengakui adanya perselisihan dan permasalahannya jelas. Tapi, proses negosiasi dan penyelesaian masalahnya belum berkembang. Sedangkan konflik terbuka adalah konflik di mana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi. Mungkin negosiasi sudah mulai dilakukan, namun masih mencapai jalan buntu. Konflik baik pribadi dan antar kelompok di masyarakat akan selalu ada dan itu alamiah. Sebab, pada dasarnya, konflik itu nyata yang bisa destruktif dan konstruktif.

Namun, yang paling penting adalah bagaimana merespon dengan nilai dan wawasan baru agar menghadapi dan mengelola konflik tersebut. Ada padangan dari guru besar Geografi Lingkungan di Universitas Amsterdam, Belanda, Ton Dietz, yang sangat optimis tentang rakyat di desa. Di sana kita akan menemukan energi-energi tersembunyi yang bisa diindikasi sebagai percekcokan dan persaingan antar pribadi yang bisa dibelokkan menjadi kerjasama produktif. Penyelesaian kolektif terhadap berbagai kesulitan juga dapat dilakukan, bahkan dalam situsi keadaan di mana tidak ada sumber daya.20

Berbagai peraturan yang dibuat untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam ternyata sangat tidak membantu karena saling bertentangan dan tumpang tindih, yang berakibat semakin meningkatkan intensitas konflik atas sumberdaya alam.21 Lantas, di mana peran Kelola, NRM dan pihak-pihak yang terlibat dalam konteks pengelolaan kawasan TN Bunaken?

Ada baiknya kita melihat kembali refleksi kritis Dietz, yang telah mengelompokkan gerakan lingkungan dalam tiga aliran (Fakih, 1998).22 Pertama, gerakan lingkungan yang dikelompokan sebagai fasis lingkungan (ekofasis). Kaum ekofasis mengganggap bahwa konservasi lingkungan jauh lebih penting, dari pada kehidupan rakyat, khususnya kehidupan rakyat miskin. Tindakan ekofasis ini terlihat dengan adanya penegakkan hukum yang menganggap warga di kawasan TN Bunaken sebagai “musuh” dan perusak kawasan.

Kedua, faham gerakan lingkungan yang diisyaratkan adalah pembangunan lingkungan (eco-developmentalis). Gerakan lingkungan ini memperjuangkan kelestarian lingkungan bukan untuk lingkungan itu sendiri, melainkan demi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan pemupukan modal. Di kawasan Bunaken, ini tampak dengan gerakan pelestarian lingkungan agar usaha wisata dan rekreasi tumbuh dan terus berlangsung, sedangkan orang kampung, terutama nelayan tersingkir dari ruang tempat mencari penghidupan dari sumberdaya alam di pesisir dan laut Bunaken. Ketiga, aliran lingkungan kerakyatan (eco-populism).

Kelompok yang masuk aliran ini memihak kepentingan rakyat banyak. Aliran ini menekankan pentingnya pengalaman orang-orang lokal yang berkaitan dengan lingkungan. Tekanan diberikan pada pentingnya pengetahuan lama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kaum ekopopulis ini berpendapat bahwa partisipasi dari semua warga masyarakat adalah mungkin dan merupakan kunci untuk menemukan pemecahan masalah. Pemecahan masalah dapat dilakukan, antara lain, dengan teknik Participatory Rural Appraisal (PRA).

Mantan Direktur Kelola Rahman Dako mengatakan bahwa persoalan antara Kelola dan NRM-III juga karena tim di Kelola telah menjauh dari kegiatan kemasyarakatan di kawasan TN Bunaken. Hal ini menyebabkan posisi tawarnya nyaris hilang. Mengacu pada tulisan Lowe (2003), NRM telah dipakai oleh elit-elit pengusaha yang disponsori oleh Mark Erdmann. Ini tidak lain untuk melindungi kepentingan bisnis mereka. Ketika Kelola mendapat dana hibah dari NRM-II dalam beberapa kegiatan Kelola masih terlibat dan dilibatkan. “Saya kira ini hanya basa-basi dan akhirnya NRM lebih memihak pada kepentingan bisnis,” tulis Dako. Dalam hal ini NSWA telah menjadi counter part utama, sementara kepentingan masyarakat dalam arti yang lebih luas ditinggalkan. Sekarang ini kepentingan bisnis pengusaha dan ekologi yang lebih diutamakan NRM. Sisi antropologi tak disentuh lagi oleh NRM. Mestinya, menurut Dako, Kelola berperan pada sisi ini. Tapi, hal ini tergantung posisi tawar Kelola baik terhadap rakyat di dalam kawasan dan bagaimana niat NRM dalam pengelolaan TN Bunaken.

Catatan Bab 5

1 Adrianus diwawancarai, Jumat 8 Agustus 2003 di pantai Rap-rap.

2 Harian Manado Post, edisi Selasa 22 Juli 2003. Judul tulisan Tim Peneliti TNL Bunaken Diancam Nelayan Rap-rap. “Merasa terusik, tim peneliti NRMP yang sedang bertugas mengobservasi TNL Bunaken bagian selatan terpaksa melaporkan MB alias Musa, dkk ke pihak berwajib. MB bersama sejumlah oknum nelayan asal Desa Rap-rap (Arakan) Kecamatan Tumpaan ini dituding telah menghalangi tugas menyusul dikeluarkannya ancaman akan menghabisi nyawa para peneliti.” Harian Komentar, edisi Selasa 22 Juli 2003, dengan judul Tim Peneliti NRMP TNL Bunaken Diancam. “Menurut sejumlah warga, sekitar tanggal 18 Juli, kelompok peneliti tersebut sedang melakukan kajian untuk pengembangan TNL Bunaken. Namun herannya, tugas yang diemban dengan mulia, bukannya dijemput dengan penghargaan demi kelestarian kelautan, malah mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, ketika sejumlah kelompok yang dipimpin MB alias Musa mendatangi tim tersebut dengan mengancam akan dibunuh jika kegiatan tersebut terus dilanjutkan di Rap-rap.” Harian Kosmo, edisi Selasa 22 Juli 2003, dengan judul Tim Peneliti NRM Nyaris Dihabisi Warga Rap-rap. “Beberapa anggota tim peneliti kepada Kosmo mengaku sangat ketakutan. Karena kehadiran mereka di lokasi tersebut semakin terancam. Bayangkan beberapa waktu yang lalu kami hampir saja dibunuh oleh warga desa Rap-rap yang sedang mencuri ikan hias. Bahkan bukan hanya itu, jika mereka sementara melakukan pemboman ikan, kami diusir dari areal penelitian.”

3 Harian Komentar, edisi 23 Juli 2003. Menurut NRM III, kegiatan di perairan Arakan-Wawontulap bukanlah penelitian murni, tetapi monitoring untuk mendukung Balai Taman Nasional Bunaken dan Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken, dalam pengelolaan TN Bunaken khususnya revisi zonasi.

4 Agaknya demo yang dilakukan nelayan Rap-rap merembes sampai Jakarta. Karena itu, Wakil NRMP/EPIQ, USAID dan CSSP hadir dalam dengar pendapat di DPRD Sulawesi Utara. Ada anggapan yang berkembang konflik hingga menimbulkan demo ke kantor NRM di Manado karena ada persoalan antara Kelola dengan NRM. Apalagi, Kelola juga berkegiatan di Rap-rap yang menerima dana dari CSSP/USAID.

5 Arief Toengkagi yang menggantikan Dominggus sebagai kepala Balai Taman Nasional Bunaken.

6 Demo tandingan antar warga seperti ini mirip seperti yang dilakukan warga yang mendukung perusaahan tambang PT Newmont Minahasa Raya. Bila ada warga korban melakukan demo, akan muncul demo tandingan dari warga yang menentang dan mendukung kegiatan Newmont Minahasa.

7 Kasus tersebut berlanjut ke Pengadilan Negeri Tondano. Sebanyak 19 warga disangka melakukan pengrusakan. Jaksa menuntut hukuman berkisar enam bulan dan satu tahun kurungan penjara. Pada bulan September 2004, majelis hakim di Pengadilan Negeri Tondano memvonis ke-19 warag Rap-rap ini bebas murni. Mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan.

8 Secara empiris, nelayan di Rap-rap dan Wawontulap mengetahui kebiasaan duyung melakukan perkawinan setiap bulan purnama kedua dan ketiga. Duyung melakukan perkawinan di atas nyare dengan posisi berdiri dengan ditopang ekornya. Saat kopulasi, seperti dilaporkan Kelompok Studi Gusumi tentang “Bioekologi Duyung di Perairan Kawasan Arakan-Wawontulap” ,1994, duyung jantan dan betina sama-sama berdiri di perairan nyare yang dangkal. Kecuali bagian kepala, tubuh kedua duyung ini merapat. Biasanya, perkawinan ini terjadi saat gelombang tidak terlalu besar. Berdasarkan CITES, duyung termasuk satwa liar yang dilindungi Undang-Undang diseluruh negara. Di Indonesia, duyung telah dilindungi sejak tahun 1972, melalui SK Menteri Pertanian nomor 327/Um/7/1972.

9 Harian Komentar, edisi Jumat 23 Januari 2004, dengan judul Masyarakat Bunaken Minta Dukungan DPRD Sulut.

10 Yayasan Suara Nurani Tomohon sebelumnya dikenal dengan Yayasan Nurani. Sejak awal tahun 1990-an lembaga ini telah berkegiatan di TN Bunaken, khususnya di Desa Bunaken.

11 Akar bahar (Anthipathes spp) termasuk satwa laut yang dilindungi. Di TN Bunaken, terdapat beberapa jenis karang hitam marga Antipathidae. Kebanyakan akar bahar tumbuh di tubir terumbu. Tidak pernah dilaporkan adanya pemanfaatan akar bahar untuk diperdagangkan di TN Bunaken. Berkurangnya akar bahar juga lantaran sering digunakan penyelam untuk berpegangan.

12 Celia Lowe, 2003, Op. cit.

13 Sejak awal tahun 1995 diberitakan di Harian Manado Post Pulau Nain Kecil ini telah dibeli Pandu Tour. Menurut Lowe, 2003, beberapa orang percaya bahwa Hukum Tua telah menjual hak atas Pulau Nain Kecil kepada pengusaha wisata Pandu Express. Ada juga yang berpikir bahwa transaksi tersebut bagus. Cerita lain yang muncul mengenai penjualan tanah di pulau kecil itu, termasuk tanah di Tarente di mana terdapat sumber mata air penting. Ini yang membuat penduduk Nain khawatir. Ketika datang ke Pulau Nain untuk melakukan wawancara produksi rumput laut, warga mengira sebagai investor yang akan melihat-lihat pulau. Ia sempat dimusuhi. Kejadian lainnya, ketika berjalan di pusat desa, salah seorang warga di kampung Islam dengan emosi menarik dan menanyakan ada urusan apa di Nain. Warga ini percaya kalau Lowe sedang melakukan tawar-menawar secara sembunyi-sembunyi saal pembelian Pulau Nain kecil ini.

14 Celia Lowe, 2003, Op. cit.

15 Lihat Tabloid Ba’Kawang, 2003, “Ekofasis: Sebuah Esai Keprihatinan,” edisi 08/September.

16 Lihat Herry Dim Catatan Kebudayaan “Sebuah Jalan Bernama Babakan Ciparay,” di Majalah Horison edisi Februari 2004. Bila benih kekerasan sekaligus benih kelembutan itu merupakan fitrah yang ada dalam diri kita, pertanyaannya, di mana dan bagaimana benih-benih itu tumbuh? Mengutip mazhab psikologi yang berkembang di sekitar masa Perang Dunia I: behaviorisme, Dim mengemukakan bahwa aliran atau mazhab ini berkeyakinan bahwa kebaikan dan keburukan itu merupakan fitrah atau bakat bawaan. Timbulnya naluri ini karena lingkungan hidup kita sendiri, yaitu sejak lingkungan terdekat semisal keluarga hingga berbagai lingkungan lainnya, di tempat mana kita berinteraksi sosial, semisal pasar, sekolah, tempat kerja, bioskop, tempat ibadah, lapangan olah raga, diskotek, dan lain-lain. Lingkungan-lingkungan itulah yang menjadi tempat tumbuh sekaligus pupuk penyubur bagi kebaikan atau pun keburukan, kelembutan atau kekerasan, kemuliaan atau pun kenistaan.

17 George Ninan, 2002, “Dari Penyadaran ke Refleksi” dalam buku Gerakan Rakyat, Merambat karena Dihambat; enam puluh tahun Indera Nababan, diterbitkan URM-Indonesia, editor Hetty Siregar, hlm 42 dan 43.

18 Ibid

19 Lihat Boedhi Wijardjo dkk, 2001, Konflik, Bahaya atau Peluang? Panduan latihan menghadapi dan menangani konflik sumberdaya alam, diterbitkan kerjasama BP-KPA dengan BSP-Kemala, April.

20 Ton Dietz, 1998.

21 Ibid

22 Lihat Mansour Fakih, 1998, Refleksi gerakan lingkungan sebuah pengantar, dalam buku Dietz.

No comments: