Saturday, February 24, 2007

Bab 4. Zonasi

Setelah masuk ke beberapa model hak ulayat laut yang ada di kampung pesisir di Sulawesi Utara, kita kembali lagi ke persoalan di TN Bunaken. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, pengelolaan taman nasional diatur melalui pembagian wilayah-wilayah fungsional berupa zonasi (mintakat). Di dalam kawasan, konflik kepentingan sering terjadi, terutama dari pengguna usaha wisata selam dan nelayan setempat. Para penyelam sering merasa terganggu bila ada nelayan setempat yang mencari ikan ketika ada penyelaman di sekitar lokasi itu.

Program NRM/USAID, tahun 1993 mulai menjajaki usulan fungsi zonasi ini dengan melibatkan pemanfaat, terutama masyarakat setempat dan lembaga yang berkepentingan dalam kawasan pelestarian alam. Zona-zona antara lain dibagi untuk pemanfaatan dan yang dilindungi penuh (inti).

Pimpinan tim NRM I di Sulawesi Utara, Graham F. Usher dan Penasehat Pengembangan Masyarakat Arief Wicaksono, pernah menjelaskan bahwa untuk lokasi zona inti, syarat-syaratnya meliputi:1

1. Kondisi lingkungan masih asli
2. Keberadaan satwa/flora yang dilindungi atau langka
3. Ekosistem terpadu, antara lain, dilihat dari asosiasi antarhabitat dalam satu ekosistem.
4. Mewakili ekosistem di sekitarnya.
5. Lokasinya merupakan wilayah kunci dalam kesuburan dan kesinambungan ekosistem, misalnya sebagai tempat peneluran ikan atau terumbu sumber benih (source reef).
6. Mempunyai luas yang cukup, minimal 50 hektar atau sekitar 1 kilometer X 1 kilometer.
7. Praktis untuk dikontrol
8. Praktis untuk ditetapkan. Artinya tidak akan menimbulkan konflik kepentingan yang tidak dapat diatasi melalui musyawarah.
9. Mempunyai nilai estetika tinggi, tapi ini tidak mutlak.


Melalui musyawarah di kampung-kampung dan ditambah dengan beberapa kegiatan lainnya yang melibatkan rakyat setempat, telah dihasilkan usulan zonasi di kawasan Bunaken. Musyawarah dilakukan ditiap kampung, antarkampung dan melibatkan para pihak dalam pengelolaan kawasan. Saat seminar Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bunaken tahun 1994, usulan zonasi yang sempat diprotes adalah berlokasi di Pulau Nain. Zonasi dan Rencana Pengelolaan TN Bunaken ini dilokakaryakan awal Agustus 1994 dengan mempertemukan berbagai pihak yang terlibat dalam pegelolaan TN Bunaken.

Setahun kemudian, yakni tanggal 5 Oktober 1995, Bappenas dan Departemen Kehutanan bersama NRMP mempresentasikan Rencana Pengelolaan TN Bunaken. Presentasi dengan pimpinan sidang Herman Haeruman (Bappenas) itu dengan rencana aksi pengesahan zonasi berdasarkan SK Dirjen PHPA dan pengesahan Rencana Pengelolaan TN Bunaken berdasarkan SK Menteri Kehutanan.2 Selain itu, pernyataan dukungan Pemda berdasarkan Perda tingkat I Sulut, penetapan dan pengesahan Forum Koordinasi berdasarkan Perda, Surat Keputusan Gubernur atau SK Bersama Menteri Kehutanan-Gubernur Sulut.

Pengesahan zonasi ini direncanakan pada bulan November 1995, sedangkan pengesahan Rencana Pengelolaan TN Bunaken pada bulan Januari 1996. Seperti diketahui, rencana terus molor setahun lebih.3 Malah, yang lebih dulu disahkan adalah Rencana Pengelolaan TN Bunaken tahun 1996 sampai dengan 2021. Rencana Pengelolaan ini telah dinilai Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Sulawesi Utara Soegeng Widodo dan Kepala Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara Endang Mashudi pada bulan Juni 1996. Sedangkan yang mengesahkan adalah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Soemarsono dengan diketahui Ketua Bappeda Sulawesi Utara W. Punuh. Setahun setelah Rencana Pengelolaan disahkan, Direktur Jenderal PHPA mengeluarkan SK zonasi pengelolaan Taman Nasional Bunaken nomor 147/Kpts/DJ-VI/1997, pada tanggal 29 September 1997.

Selanjutnya, pengelolaan TN Bunaken bukan lagi dibawah Sub BKSDA Sulawesi Utara. Sebab, telah dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai TN Bunaken. Menurut Kepala Balai TN Bunaken Dominggus, peraturan zonasi itu mencakup, zona inti, zona pemulihan, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan terbatas, zona pemanfaatan intensif, zona pendukung perairan, zona pendukung daratan dan zona penyangga.4
Zona inti, mutlak dilindungi. Didalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Kegiatan yang diperbolehkan hanya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.
Zona pemanfaatan. Pada zona pemanfaatan di samping dapat dilakukan kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian, juga diperuntukan bagi pusat pengembangan pariwisata alam dan rekreasi.
Zona rehabilitasi dan zona pemulihan hanya untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, serta pemulihan jenis tumbuhan dan satwa asli.
Zona pendukung perairan dapat dilakukan kegiatan pada butir a dan kegiatan wisata alam terbatas.
Zona pendukung daratan dapat dilakukan kegiatan pada butir a dan kegiatan wisata alam terbatas.
Zona pendukung umum dapat dilakukan kegiatan pada butir a, d dan e.
Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan pada kawasan Taman Nasional Bunaken harus mendapat izin Menteri Kehutanan c.q. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Bila dicermati dengan jeli, Peraturan zonasi yang telah ditelorkan Dirjen PHPA ini banyak merugikan rakyat di kawasan Taman Nasional Bunaken. Sebab, kegiatan-kegiatan di dalam zona-zona lebih mengedepankan kepentingan wisata dan rekreasi yang paling banyak dilakukan pihak luar kawasan. Zona pemanfaatan untuk rakyat praktis tidak disebutkan, selain hanya dapat menempati tanah di dalam kawasan. Hal ini bertolak belakang dengan penjelasan pada Buku III Rencana Tapak Pengelolaan Taman Nasional Bunaken (tahun 1996) yang menyebutkan bahwa zona pemanfaatan masyarakat sekitar 70 persen dari luas total kawasan sebagai jaminan kepentingan penduduk setempat.5

Sikap mendua yang ada dalam pengelolaan Taman Nasional Bunaken ini lalu dipertegas oleh Dominggus. Dalam laporan singkatnya, yang menjadi lampiran dalam surat kepada Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam (sebelumnya PHPA) Dominggus menghadapi dilema dalam menjalankan aturan lantaran terdapat dua sistem zonasi.6 Sistem pertama, berdasarkan rencana pengelolaan Taman Nasional Bunaken yang ditetapkan tahun 1996, dan sistem kedua berdasarkan SK Dirjen PHPA nomor 147/Kpts/DJ-VI/1997 tentang zonasi Taman Nasional Bunaken.
Catatan Bab 4

1 Dalam Program NRMP tahap pertama, kegiatan zonasi mulai fasilitasi bersama warga di kampung-kampung dan dengan pemanfaat lainnya. Dari sekitar 20 desa di dalam kawasan, telah dipilih desa-desa yang menjadi prioritas dikunjungi untuk belajar dan berkegiatan bersama. Hal ini dengan melihat (1) pola mencari nafkah, (2) sikap rakyat terhadap kawasannya, (3) jumlah penduduk, (4) kreativitas dalam menyambung hidup di kawasan yang terbatas, (5) potensi konflik yang terjadi di dalam desa. Selain itu, (6) kepadatan penduduk yang jumlahnya melebihi 1000 jiwa, (7) jumlah penduduk yang kurang dari 1000 jiwa, (8) kurang tersentuh program pemerintah, sementara di desa tetanggannya banyak dilaksanakan program pemerintah, (9) aktivitas masyarakat dulu dan sekarang, dan (10) mempunyai nilai konservasi tradisional, tetapi mulai luntur dengan perkembangan zaman.

2 Lihat laporan Presentasi Rencana Pengelolaan TN Bunaken, 5 Oktober 1995, di ruang Pertemuan Bappenas, Jakarta. Dilaporkan Arief Wicaksono, NRM/ARD.

3 Ibid. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa proses yang dibutuhkan untuk mengesahkan Rencana Pengelolaan TN Bunaken tidak sederhana. Berbeda dengan kawasan taman nasional di daratan, di mana Departemen Kehutanan memiliki kewenangan penuh untuk mengelola habitat dan ekosistemnya. Pada kondisi di TN Bunaken, sejauh pengertian Dirjen PHPA berdasarkan SK Menhut, wewenang yuridis PHPA hanya sebatas wilayah perairan di dalam tata batas yang telah ditetapkan, berikut dataran terumbu hingga pasang tertinggi. Daratan, terutama di pulau-pulau, bukan lagi wewenang yuridis PHPA. Demikian halnya dengan masyarakat yang bermukim di dalamnya. Namun, karena pengelolaan PHPA menggunakan pendekatan ekosistem, maka dalam tahap perencanaannya memperhatikan keberadaan daratan dan masyarakat, serta menjadi unsur penting proses perencanaan. PHPA membutuhkan kerjasama dengan pihak Pemda tingkat I dan II untuk kegiatan di daratan, misalnya wisata dan masyarakat setempat.

4 Dominggus, 1998, Loc. cit.

5 Lihat Lestari, dengan judul Sistem Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, edisi Sabtu 30 Agustus 2003.

6 Dominggus, 2000, Laporan singkat Kepala Balai tanggal 13 November 2000: Menuju Pengelolaan Taman Nasional Bunaken yang bertumpu pada dukungan lokal.

No comments: