Saturday, February 24, 2007

Prolog. Ikan dan Konservasi

Setiap orang yang tidak menjadi bagian ikan,
maka ia merasa kenyang akan air.
Dan setiap orang tanpa rezeki,
maka hari-harinya terasa panjang. Tipudaya
tak menemukan keadaan (hal) yang
mematangkan pengalaman.

Untuk meringkas ungkapan kami ini,
maka kami cukupkan saja.
Wahai anakku! Tidakkah keperihan yang
tersimpan akan menjadi emas dan perak?
Mengabsahkan kepemimpinanmu dan membebaskan
darinya. Apabila engkau ingin
menciduk air lautan hanya dengan segelas piala.
Bukankah piala hanya cukup menampung kebutuhanmu selama sehari?
1


Ikan memang tidak pernah kenyang dengan air. Konstruksi tubuh ikan yang tak memiliki leher membuatnya mampu bergerak cepat menembus badan air dan beradaptasi dengan lingkungannya. Tubuh ikan ada tiga bagian: kepala, badan dan ekor. Batas kepala mulai dari moncong hingga bagian belakang penutup insang. Ikan bernafas dengan insang dan bergerak dengan menggunakan siripnya.

Memulai kehidupan dalam fase larva, anakan, populasi muda dan menjadi dewasa, ikan jarang memiliki kekhasan.2 Ikan dan biota laut lainnya, memulai kehidupan sebagai plankton. Plankton merupakan organisme yang berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus lautan.

Ada plankton yang hidup sebagai hewan atau zooplankton dan tumbuhan atau fitoplankton. Zooplankton termasuk golongan hewan perenang aktif yang dapat bermigrasi secara vertikal. Golongan larva ini berupa coelenterata, polychaeta, moluska, echinodermata, krustasea dan ikan. Dalam proses fotosintesis, fitoplankton dapat mengubah energi kinetik menjadi bahan organik. Fitoplankton juga menjadi indikator tingkat kesuburan suatu perairan.

Plankton memiliki peran penting di laut dan sebagai pakan bagi kebutuhan hidup manusia. Meski manusia tidak langsung mengkonsumsi plankton, tapi melalui rantai makanan, plankton inilah sebagai dasar kehidupan berbagai organisme laut. Sebab, plankton sebagai sumber makanan ikan komersial yang akhirnya menjadi sumber pakan manusia. Itu sebabnya, kita sangat tergantung pada plankton. Bila plankton terakumulasi logam berat, semisal merkuri (Hg) atau senyawa sianida (CN), maka ini akan membahayakan kehidupan organisme laut, termasuk manusia. Yang akan terkena dampak pencemaran tidak hanya di lokasi buangan limbah, tapi juga dapat menyebar jauh puluhan atau bahkan ratusan kilo meter.

Kelleher dan Kenchington (1991), menguraikan bahwa populasi muda atau anakan hewan laut dan pakannya, begitu pula dengan benih-benih tumbuhan laut, zat-zat hara, serta bahan pencemar menggunakan badan air untuk menempuh jarak yang jauh. Jaraknya dapat melintasi perairan teritorial beberapa negara. Selain itu, hewan laut pun sering melakukan migrasi dengan jarak yang cukup jauh pula.3

Ikan perenang cepat dapat menempuh jarak bermil-mil setiap jam. Umpamanya jenis ikan tuna (Thunnus thynnus), ikan tenggiri (Scomberomorus guttatus) dan tongkol (Eutymus sp). Di laut, menurut Kelleher dan Kenchington, habitat-habitat sangat jarang yang memiliki kekhasan atau kekritisan yang terbatas. Kemampuan jenis-jenis biota mempertahankan kehidupannya tidak selalu terkait dengan kawasan yang spesifik. Banyak jenis biota yang berenang-renang bebas memiliki kisaran teritorial yang luas, serta arus perairan yang membawa bahan-bahan plasma nutfah, baik dari jenis biota yang menetap maupun yang bermigrasi menempuh jarak yang bahkan mencapai ratusan kilo meter.

Sejak zaman dulu, ikan telah memiliki peran penting dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Manusia hidup dari berburu dan menangkap ikan. Di dalam kelas vertebrata4 ikan tergolong yang terbesar. Terdapat ribuan jenis ikan dengan puluhan juta populasi. Ikan hidup di dasar lautan, di tengah dan di permukaan lautan. Ada juga ikan yang mampu beradaptasi dengan daratan dan melakukan migrasi untuk mendapatkan tempat baru.

Keadaan tubuh ikan tergantung pada lingkungan hidupnya. Ikan yang terkontamisasi zat beracun dapat bertahan hidup dalam kadar yang dapat ditoleransi tubuhnya, hingga meninggal dalam jumlah masal. Bila ikan terkena limbah beracun, tak pernah melakukan protes langsung ke manusia. Namun, kehidupan nelayan yang sangat bergantung dari kehidupan laut akan mengalami kesulitan. Sebab, sumber mata pencahariannya akan terganggu. Begitu juga manusia yang mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi limbah.

Laut tak pernah diam. Jangan mengira laut yang tenang itu pertanda tak bergerak. Di permukaan mungkin hanya terlihat riak-riak, tapi di bawahnya energi arus terus membawa partikel-partikel sesuai dengan pola musim.

Pernah di akhir tahun 1994, saya keluar dengan menggunakan perahu cepat menuju pulau-pulau di TN (Taman Nasional) Bunaken sekitar pukul 10.00 Wita. Dari Pelabuhan Manado dan mulut Kuala Jengki atau Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano terdapat sampah dalam jumlah besar terapung-apung. Di antara sampah itu terdapat balok kayu, tempat burung bertengger. Sore harinya, sekembali dari Bunaken, saya melihat sampah itu sudah berada didekat Pulau Bunaken.

Masalah sampah yang masuk ke Bunaken telah menjadi perhatian berbagai pihak. Sejak awal 1990-an, instansi dari Pariwisata (Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi) menggelar acara seremonial: lomba sapu laut di Pulau Bunaken. Hingga kini sampah dari luar kawasan, terutama Manado masih menjadi masalah yang cukup pelik. Terdapat empat sungai dan beberapa selokan yang mengalir ke Teluk Manado. DAS ini mengalirkan sampah rumah tangga dan buangan dari berbagai aktivitas di Manado dan Minahasa. Di Pelabuhan Manado, kalau kita perhatikan, setiap kali kapal antar pulau merapat, sampah-sampah dibuang begitu saja.

Seiring dengan itu, terus bermunculan konflik pemanfaatan ruang di kawasan TN Bunaken. Sejak dikapling sebagai kawasan konservasi, konflik wilayah pemanfaatan ini terjadi. Untuk apa program konservasi kalau akhirnya tidak mensejahterakan rakyat setempat? Kalau hal ini dipinggirkan dan rakyat dianggap sebagai perusak kawasan, yang dimusuhi, maka niat sebenarnya kegiatan untuk keberlanjutan sumberdaya alam hanyalah isapan jempol belaka. Lalu untuk kepentingan siapa alat-alat negara, lembaga donor, organisasi non pemerintah bekerja di sebuah kawasan konservasi? Untuk menegakkan undang-undang, peraturan-peraturan atau malah kepentingan bisnis para pengusaha dan menjadi kaki tangan sebagai penindak di lapangan. Atau malah secara diam-diam, dalam tataran yang lebih luas untuk melanggengkan akumulasi kapital yang mendepak rakyat miskin, yang hidupnya tergantung pada sumberdaya alam setempat.

Inilah buku tentang Bunaken yang menyingkap tirai perjalanan sebuah kawasan konservasi modern di Provinsi Sulawesi Utara. Penuh hiruk pikuk bernuansa tipudaya dalam pengelolaan proyek konservasi di Indonesia. Makin tenar Bunaken sebagai kawasan wisata bawah laut, sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Makin banyak turis yang datang, ruang gerak nelayan terus dibatasi.

Rakyat dikejar, ditangkap, dibui tanpa melihat kadar kesalahan dan kebiasaan setempat. Sementara turis yang datang dengan membayar pin, dibiarkan merambah ruang-ruang nelayan. Lalu,diskusi pun digelar, pertemuan dirancang, kegiatan dibesar-besarkan: ini proyek percontohan, yang pertama di Indonesia, yang pertama di dunia, yang terbesar di dunia. Inilah bagian dari perilaku dan tipudaya. Menggelorakan sebagai yang pertama, tapi meminggirkan hak-hak rakyat. Rakyat tersingkir ditempatnya berpijak. Antara rakyat yang satu dikotak-kotakkan, sebagai perusak kawasan dengan menggunakan bom ikan dan racun sianida, sehingga menimbulkan perselisihan hingga kekerasan.

Sebenarnya, dari sisi lingkungan kegiatan itu tak memberikan manfaat yang berarti. Karena itu, Antropolog dari University of Washington Seattle, Celia Lowe (2003) mempertanyakan mengapa hanya nelayan di dalam kawasan Bunaken yang menjadi target penangkapan dan diproses ke pengadilan dalam penegakkan hukum. Sedangkan yang menjadi backing atau mereka yang berada dibelakang praktek yang merusak itu tidak disentuh aparat.

Bahkan di kampung-kampung tertentu dimunculkan bahwa di lokasi itu penduduknya suka merusak. Digelarlah patroli sebagai bentuk untuk menegakkan hukum di dalam kawasan konservasi. Lowe (2003) lalu mengidentikkan kasus ini seperti kebanyakan orang Irak yang membenci Saddam Hussein. Tapi, kebanyakan rakyat di Irak tak memiliki hasrat dan keinginan dengan adanya invasi tentara Amerika.5


Dalam syair Rumi:

Setiap perang, dan setiap konflik di antara umat
manusia
terjadi karena adanya perselisihan pendapat
mengenai nama. Itu adalah kebodohan yang
benar-benar tidak perlu, sebab di luar
perselisihan,
ada meja panjang untuk menjalin persahabatan,
yang telah ditata, dan menunggu kita untuk duduk.
6

Kelleher dan Kenchington (1991) menekankan bahwa suatu kawasan perlindungan laut dapat dikatakan berhasil hanya bila masyarakat setempat dilibatkan secara langsung dalam pemilihan lokasi, penetapan dan pengelolaannya. Apalagi, setiap kawasan konservasi laut di dunia memiliki kekhasan isu dan peluang dengan langkah-langkah pemecahan yang berbeda.

Dalam banyak kasus, Kelleher dan Kenchington memaparkan bahwa perlawanan pihak masyarakat akan terus menguat dan akan menghambat keberhasilan pengelolaan kawasan. “Kami percaya bahwa lebih baik menetapkan dan mengelola sebuah kawasan perlindungan laut (taman nasional laut) yang berhasil, yang mungkin tidak ideal secara ekologis,” Kelleher dan Kenchington menuliskan pendapatnya. Meski demikian, kawasan yang telah ditetapkan itu mampu mencapai tujuan-tujuan penetapannya, dibandingkan pendekatan yang arogan, tetapi tidak dapat dilaksanakan untuk mencapai keadaan yang ideal.

Kesalahan sering terjadi bukan karena kebodohan, tetapi karena sikap yang kurang awas, kita melakukan banyak kekeliruan bukan karena mengabaikan hal-hal yang besar (perkara besar memang terlalu penting dan terlalu mencolok untuk diabaikan), tetapi justru karena meremehkan hal-hal kecil.7

Menurut Kelleher dan Kenchington (1991) keterlibatan dan partisipasi kelompok pemanfaat sumberdaya alam laut dalam pengembangan dasar hukum, serta penetapan, pemantauan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan perlindungan laut hampir selalu menjadi kunci penting diterimanya dan berhasilnya pengelolaan kawasan. Pengalaman menunjukkan bahwa keberhasilan program-program pengelolaan kawasan konservasi sangat tergantung kepada dukungan masyarakat setempat.

Selanjutnya, dikatakan, selama satu abad terakhir ini terdapat tiga pendekatan penting dalam konservasi laut. Pertama, menyangkut pengaturan dan pengelolaan kegiatan-kegiatan yang secara spesifik, semisal, perikanan komersial. Kedua, menyangkut penetapan kawasan perlindungan laut dengan wilayah yang tidak terlalu luas. Ketiga, kegiatan-kegiatan pengembangan kawasan, seperti yang banyak dilakukan sekarang, yakni penetapan kawasan perlindungan multiguna dengan wilayah yang relatif luas, melalui sistem pengelolaan terpadu.

Kebutuhan untuk mengembangkan metoda-metoda bagi pengelolaan dan perlindungan laut, serta sumberdaya alamnya menjadi semakin nyata selama tahun 1950-an dan awal 1960-an. Kebutuhan itu, sedikit terjawab dengan penyelenggaraan Konferensi Dunia tentang Taman Nasional Pertama tahun 1962.8 Konferensi tingkat dunia itu memberi perhatian pada kawasan perlindungan pesisir dan laut. Pada tahun 1982, Komisi Taman Nasional dan Kawasan Perlindungan IUCN menyelenggarakan rangkaian lokakarya tentang penetapan dan pengelolaan kawasan perlindungan pesisir dan laut. Lokakarya ini merupakan bagian dari Kongres Taman Nasional Se-dunia III di Bali, Indonesia.9

Apakah pengelolaan kawasan pesisir dan laut melalui konservasi modern ini merupakan bagian dari penundukkan dan penguasaan hak-hak masyarakat lokal (adat)? Mengutip Wolfgang Sachs (1992), Mansour Fakih (2002) menguraikan bahwa dalam skala lokal, modernisasi juga telah menciptakan suatu struktur yang meletakkan masyarakat tradisi atau adat menjadi bagian yang ditundukkan secara kultural. Dalam proses penundukkan budaya tersebut mengakibatkan terlepasnya penguasaan hak-hak sumberdaya alam dan ekonomi, serta rusaknya lingkungan yang selama ini dikonservasi oleh masyarakat tradisi, karena keterikatan budaya mereka pada lingkungan sekitarnya.10

Seperti yang diprihatinkan Sachs bahwa bukanlah “kegagalan developmentalism atau kegagalan modernisasi yang harus dikhawatirkan, melainkan justru keberhasilannya. Karena keberhasilan modernisasi akan membawa pada suatu dunia tunggal, dunia dari perspektif Barat. Akibat dari keberhasilan modernisasi adalah akan menghilangnya segala keanekaragaman pikiran, budaya, kebiasaan, lingkungan hayati, bahkan cara memandang dunia sekalipun. Modernisasi akan membawa ke mono culture (kebudayaan tunggal) yang akan menyingkirkan berbagai kemungkinan bentuk alternatif kehidupan dan bermasyarakat.11

Rumi bersenandung:

Aku cukup bahagia dengan tinggal diam
di dalam mutiara di dalam kulit kerang,

tetapi badai pengalaman
melemparkan keluar dari tempat persembuyian dan menjadikan

aku gelombang yang bergerak menuju pantai,
dan mengucapkan keras
keras
rahasia samudera saat aku pergi, dan kemudian
tinggal di sana, aku tidur seperti kabut yang menempel
pada tebing, kesunyian yang lain.
12


Catatan

1 Jalaluddin Rumi, 2003, “Ratapan Seruling Bambu,” Masnawi Kitab Suci dari Persia, diterjemahkan Haris Ibn Sholihin, diterbitkan Belukar Budaya, Yogyakarta, Cetakan 1, Juni.

2 Yang dimaksud ikan dalam tulisan ini adalah pisces atau ikan bersirip. Sedangkan dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1985, pasal 1 (2) menyebutkan bahwa sumberdaya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut, yang termasuk biota adalah pisces, krustasea (udang, kepiting, rajungan dan lain-lain), moluska (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan lain-lain), coelenterata (ubur-ubur dan sebagainya), echinodermata (teripang, bulu babi, dan lain-lain). Selain itu, amfibi (kodok dan sebagainya), reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan lain-lain), alga (rumput laut dan tumbuhan laut lainnya yang hidup dalam air), serta biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut.

3 Graeme Kelleher and Richard Kenchington, 1991, Guide Lines for Establishing Marine Protected Area (Penetapan Kawasan Perlindungan Laut), penerbit The World Conservation Union (IUCN) bekerjasama dengan Great Barrier Reef Marine Park Authority.

4 Vertebrata adalah hewan bertulang belakang.

5 Celia Lowe, 2003, “Sustainability and the Question of ‘Enforcement’ in Integrated Coastal Management: The Case of Nain Island, Bunaken National Park, Jurnal Pesisir dan Kelautan Bogor, Institute Pertanian Bogor, Special Edition I:49-63. Paper mempertanyakan apakah konfigurasi lembaga donor asing, kepentingan pengusaha elit Indonesia dan kekuatan negara (tindakan polisionil) tepat dan berkelanjutan.

6 Jalaluddin Rumi dari karya Denise Breton dan Christopher Largent, 2003, Cinta, Jiwa & Kebebasan di Jalan Sufi, diterjemahkan Rachmani Astuti, diterbitkan Pustaka Hidayah, cetakan pertama, Januari. Rumi adalah sufi dan penyair sepanjang masa, hidup tahun 1207-1273 M.

7 Ignas Kleden, 2004, Esai: Godaan Subyektivitas, majalah Horison, Januari 2004.

8 Kelleher and Kenchington, 1991, Op. cit

9 Kelleher and Kenchington, 1991, Op. cit

10 Mansour Fakih, 2002, Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, diterbitkan Pustaka Pelajar bekerjasama dengan INSIST PRESS, September, hlm 68-69.

11 Ibid

12 Breton dan Largent, 2003, Op. cit.

No comments: