Saturday, February 24, 2007

Bab 16. Kopra, Permesta dan G 30 S/PKI

Ketika Jerman melakukan pendudukan atas Belanda tahun 1940, ekonomi kopra Hindia Belanda mengalami guncangan. Pasar Amsterdam lumpuh dan para petani serta pedagang di Hindia Belanda terancam bangkrut. Dalam surat-surat rahasia Boy. R. Compton (1993) menyebutkan bahwa pada tanggal 13 September 1940, pemeritah Hindia Belanda mendirikan Yayasan Kopra (Het Coprafonds).1 Yayasan Kopra ini merupakan organisasi semi pemerintah, untuk membeli, menampung dan mengekspor kopra.

a. Yayasan Kopra

Yayasan Kopra dibangun terutama dengan organisasi administratif dari sebuah perusahaan di Makassar milik orang Denmark. Yayasan Kopra ini berperan untuk menghindari keruntuhan ekonomi, sampai kedatangan Jepang pada Maret 1942. Perdagangan kopra macet selama pendudukan Jepang.2

Selama pendudukan Jepang dibentuk Dewan Minahasa (Minahasa Hyogiksi). Minahasa termasuk daerah sendiri yang disebut Minahasa Ken. Sedangkan untuk Dewan Kota Manado disebut Manado Sikai. Tapi, di masa pendudukan Jepang ini pemerintahan sipil berpusat di Makassar dengan cabang di Manado. Sebelumnya, di masa kolonial Belanda, di Sulawesi terdapat dua keresidenan: Manado dan Makassar.

Setelah Jepang ditaklukkan sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Sulawesi Utara masuk Negara Indonesia Timur. Di awal proklamasi, Harvey (1989) memaparkan bahwa orang-orang yang membangun TNI berasal dari berbagai latar belakang kehidupan. Sebagian pernah menjadi anggota tentara kolonial Belanda (KNIL), sebagian lagi telah mendapat latihan militer selama pendudukan Jepang dalam Peta (Pembela Tanah Air) dan laskar yang lain.

Harvey menguraikan bahwa kelompok-kelompok yang menentang Belanda dan menyukai Republik yang revolusioner aktif di Minahasa tahun 1945 dan 1946. Satu kesatuan KNIL pernah memberontak menentang perwira-perwira Belanda dan menguasai sebagian besar Minahasa untuk Republik tanggal 14 Februari hingga 11 Maret 1946. Namun, daerah itu telah ditaklukkan tanpa banyak kesukaran atau pertumpahan darah, dan veteran-veteran KNIL yang sudah pensiun merupakan satu kelompok yang kukuh mewakili pandangan pro Belanda di Minahasa.3

Tahun 1945 hingga 1950 merupakan masa perjuangan bangsa Indonesia untuk melawan kembalinya pemerintahan Kolonial Belanda. Belanda yang masih ingin menguasai kembali Indonesia mengerahkan puluhan ribu tentaranya. Indonesia melakukan perlawanan melalui perang gerilya.

Tahun 1946, Belanda ingin kembali menguasai Indonesia, terutama di Sulawesi dan pulau-pulau lainnya. Yayasan Kopra sebagai organisasi penyelamat selama tahun 1940-1942 dihidupkan kembali dan dikukuhkan sebagai lembaga permanen yang bermarkas di Makassar. Dari tahun 1946-1949, Belanda berhasil menciptakan sebuah negara federal, yang didalamnya daerah-daerah luar Jawa menikmati otonomi formal yang amat luas.4

Menurut Compton (1993) Indonesia meraih kemerdekaan penuh tanggal 29 Desember 1949, dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat. Tak sampai setahun negara federal ini bubar. Namun, para pemimpin di daerah hampir bersepakat bulat mengutuk konsep kekuasaan yang kelewat sentralistis di Jakarta. Sejak itu, Republik Indonesia secara penuh menguasai bekas Hindia Belanda, kecuali Papua Barat.

Pemilu pertama diadakan pertama kali tahun 1955. Saat itu, Irian (Papua) Barat masih dibawah penguasaan Belanda. Tahun 1957 terjadi unjuk rasa di banyak tempat yang menentang pendudukan Belanda di Papua Barat, lalu disusul dengan pengambil-alihan perusahaan Belanda oleh PNI dan PKI. Kedua partai ini mendapat simpatik yang cukup besar dari rakyat, terutama di Pulau Jawa.

Yayasan Kopra yang telah diambil pemerintah Indonesia, dipindahkan dari Makassar ke Jakarta. Selama lima tahun dikelola orang Indonesia, Yayasan Kopra menggelepar dalam genggaman kesulitan. Yayasan Kopra yang didirikan untuk menjadi organisasi dagang sibuk, menguntungkan dan efektif, sedang berada di tepi jurang kebangkrutan.

Keresahan politik mulai memuncak di Makassar dan Manado. Sejarah Manado yang diselang-seling oleh aneka pengaruh, membuat Minahasa memiliki kepribadian budaya yang khas –masyarakatnya biasanya disebut ‘orang Manado’, terkenal aktif, terampil dan angkuh.5 Orang Manado, menurut Compton, sangat sadar akan kekayaan mereka. Dengan ekspor tahunan rata-rata hampir 100.000 ton kopra, mereka menyumbang besar bagi ekonomi ekspor Indonesia.

Compton mengemukakan bahwa kebutuhan Eropa akan kopra meningkat pesat pada dasawarsa pertama abad 20, sehingga pemerintah kolonial Belanda terdorong mengambil langkah-langkah yang memperbanyak dan memperbaiki produksinya di Hindia Belanda. Sensus kelapa tahun 1917, hampir 60 persen dari 100.000.000 lebih pohon kelapa terpancang di Pulau Jawa dan Madura.6 Pada tahun 1952, jumlah pohon kelapa di Pulau Jawa ini sudah berubah. Sebab, pulau-pulau di Indonesia Timur memiliki jumlah pohon kelapa yang lebih banyak. Bagian terbesar kelapa ini dijadikan kopra untuk diekspor.

Di bulan Februari 1955, sekelompok petani, pedagang, veteran dan pejabat di Manado merebut kembali fasilitas-fasilitas Yayasan Kopra setempat dan menyatakan pembentukan Yayasan Kelapa Minahasa yang otonom. Pemerintah bukan hanya dituntut untuk mengakui organisasi baru ini sebagai lembaga yang sah, tapi juga dipaksa menyerahkan perlengkapan dan barang-barang senilai Rp 20.000.000 milik Yayasan Kopra. Pemerintah tak dapat berbuat apa-apa karena kuatnya dukungan yang diberikan kepada Yayasan Kelapa Minahasa oleh penduduk dan TNI Angkatan Darat. Kudeta Manado ini bergaung di daerah kopra lainnya, dan Pelabuhan Bitung dibuka untuk perdagangan internasional. Agen-agen Yayasan Kelapa Minahasa mengadakan kontak dengan para langganan dan perusahaan pelayaran asing.7

Kapal-kapal asing, Compton menulis, mulai masuk di Pelabuhan Bitung dan menurunkan barang-barang luar negeri dan mengangkut kopra. Masyarakat Manado dan sekitarnya mulai mencicipi manisnya perdagangan bebas. Semua orang, agaknya sepakat bahwa legal atau ilegal, perdagangan itu disponsori dan dikawal langsung oleh satuan-satuan tentara setempat. Angkatan Darat terlibat langsung dalam bongkar muat kapal-kapal asing dan sebagian barang-barang impor langsung ditampung dalam satuan-satuan tentara. Kebutuhan tentara akan peralatan dan uang tak berkurang dan sentimen anti Jakarta di Minahasa tampak tak melemah.8

b. Permesta

Pada tanggal 2 Maret 1957, Letkol H.N.V. Sumual memproklamasikan perjuangan semesta di Makassar. Latar belakang peristiwa Permesta 1957-1958 antara lain karena ketidakpuasan bahwa pemerintah pusat tidak efisien, pembangunan macet dan keadaan ini telah menyuburkan komunisme.

Dalam piagam Permesta, tujuan perjuangan di tingkat daerah khususnya dalam bidang pertahanan disebutkan bahwa (1) wilayah Indonesia bagian Timur sebagai lingkungan pertahanan militer tidak dapat dipisah-pisahkan dan memerlukan rencana jangka panjang dan jangka pendek yang serius, (2) dalam perjuangan membebaskan Irian Barat, wilayah Indonesia Timur mutlak merupakan basis militer dan politik psikologis. Sedangkan dalam bidang pemerintahan menyebutkan bahwa untuk kepentingan pembelaan dan praktisnya pembangunan, maka kepada empat provinsi yang ada dalam wilayah Indonesia bagian Timur harus segera diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Otonomi yang luas berarti buat daerah surplus, 70 persen pendapatan daerah dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Untuk daerah minus 100 persen pendapatan daerah dan ditambah subsidi dari pemerintah pusat untuk pembangunan vital selama 25 tahun.

Menurut Harvey, selama Permesta muncul kembali gerakan sporadis dengan sebutan “Twa-Pro” di Minahasa. Twa Pro adalah sebutan provinsi kedua belas dari Negeri Belanda. Twa Pro ini merupakan partai politik di Minahasa yang selama masa Negara Indonesia Timur lebih menyukai masuk dalam uni Belanda sebagai provinsi kedua belas.9

Jika Presiden Soekarno menolak permintaan, maka Permesta siap mendirikan pemerintahan revolusioner. Munculnya gerakan Permesta ini mulai diincar Amerika Serikat. Sebab, untuk menghalau komunis di Indonesia, Amerika Serikat melalui CIA pernah memberi bantuan jutaan dolar untuk Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Tapi, yang memenangkan Pemilu 1955 adalah PNI dan PKI di Pulau Jawa. Munculnya Permesta diharapkan Amerika sebagai jalan untuk menghalau pertumbuhan komunis. Dimulailah kontak-kontak pribadi dengan agen-agen pemerintah Amerika Serikat.

Setelah deklarasi piagam permesta di Makassar, tanggal 15 Februari 1958 Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan di Padang, Sumatera Barat. Tujuannya untuk memakmurkan daerah secara ekonomi, sembari memotong pengaruh komunis yang mendominasi atmosfir politik di Jakarta dan Jawa. Tuntutan otonomi dan anti komunis ini menyatukan keduanya dalam sebuah front menghadapi Jakarta.10

Dalam pertemuan di Sungai Dareh, sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri.11

Presiden Amerika Eisenhower, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles, dan Direktur Central Intelligence Agency (CIA) Allan Dulles yang mengatur keterlibatan dalam perjuangan PRRI/ Permesta.12 Sebelumnya, menurut Harvey (1989) John Dulles gelisah melihat PKI bertambah kuat di Indonesia dan khawatir Soekarno bersekutu dengan komunisme di dalam negeri dan secara internasional.

Kegelisahan Dulles sudah muncul sejak tahun 1953. Bahkan ketika mengirim Duta Besar Amerika di Jakarta, Hugh S. Cumming, Dulles memberi pengarahan:

“..... tentang suatu Indonesia yang secara teritorial dipersatukan, yang cenderung dan bergerak maju ke komunisme atau memecah-mecah negeri itu menjadi satuan-satuan berdasarkan geografi dan suku, saya lebih menyukai yang terakhir sebagai penyediaan suatu alat pendongkel yang pada hari kemudian dapat digunakan Amerika Serikat untuk membantu mereka melenyapkan komunisme bila diperlukan, dan pada akhirnya, jika mereka menghendaki demikian, kembali ke suatu Indonesia yang bersatu.”13

Awal tahun 1957, Dulles kembali memberi instruksi kepada Duta Besar Amerika lainnya di Jakarta, John M. Allison.

“Jangan biarkan Soekarno sampai terikat kepada kaum komunis. Jangan biarkan dia menggunakan kekerasan melawan Belanda. Jangan dorong ekstremisme-nya.... Di atas segala-galanya, lakukan apa saja yang dapat Anda lakukan agar Sumatera (pulau penghasil minyak) tidak sampai jatuh ke tangan komunis.”14

Amerika menggunakan segala cara yang memungkinkan guna memperkuat dan mendorong tekad dan kebulatan kekuatan anti komunis di pulau-pulau luar Jawa, terutama Sumatera dan Sulawesi.

CIA memberikan senjata anti pesawat terbang, dua pesawat pengebom B-26, 20 teknisi untuk pengoperasian pesawat tempur. Selain itu, telah dibeli senjata bekas di Taiwan melalui seorang broker. Namun, dalam sebuah misi di Ambon, pesawat Pope, pilot yang dikirim CIA terkena tembakan dan jatuh. Terbongkarnya Pope merupakan akhir keterlibatan CIA dalam PRRI/Permesta.15

Peter Dale-Scott (1999) menguraikan bahwa tahun 1957-1958 CIA telah menginfiltrasikan senjata dan personil untuk mendukung pemberontakan PRRI/Permesta melawan Soekarno. Setelah gagalnya pemberontakan-pemberontakan yang disponsori CIA, Amerika Serikat mulai melaksanakan suatu program bantuan militer kepada Indonesia hingga mencapai US$ 20 juta setahun.16

Seorang veteran CIA menyatakan bahwa motif CIA dalam mendukung pemberontakan tahun 1958 bersifat untuk menekan Soekarno daripada untuk menggulingkannya, yaitu memanggang kaki Soekarno di atas api.17 Sebagaimana diungkap Scott (1999) anggota CIA Frank Wisner menyatakan secara lebih khusus lagi untuk meningkatkan ketergantungan Soekarno pada Angkatan Darat dibawah A.H. Nasution yang anti komunis.

Selain Dubes Amerika di Jakarta, Allison, telah menganjurkan kepada pemerintah Amerika Serikat agar memikat Soekarno dengan jalan menekan Belanda supaya merundingkan soal Papua Barat. Amerika juga mulai mendukung Indonesia di PBB. PBB mulai menangani penyelesaian krisis Papua Barat dengan damai bulan November 1959. Tahun 1961 telah dibentuk Komando Operasi Tertinggi (Koti) untuk pembebasan Papua Barat.18 Akhir tahun 1961 terjadi krisis ekonomi dan Indonesia terperosok ke dalam hiper inflasi. Bulan November tahun 1962, IMF datang ke Jakarta untuk membahas usaha-usaha perbaikan ekonomi. Sesudah tahun 1962, ketika pemerintahan Kennedy, Amerika membantu TNI Angkatan Darat Indonesia dalam mengembangkan program misi civic-nya.19

Tahun 1963, beberapa kebijakan Soekarno membuat rakyat semakin menderita dan hal ini menimbulkan protes, semisal pengurangan anggaran belanja, termasuk untuk militer.

c. Peran CIA dalam G 30 S/PKI

Kajian Scott (1999) memaparkan bahwa sebelum terjadi peristiwa G 30 S/PKI telah ada kunjungan ke Washington yang dilakukan untuk kepentingan Soeharto. Dalam minggu-minggu menjelang coup, CIA telah ambil bagian dan aktif dalam menggoyahkan perekonomian Indonesia. Sekitar tanggal 30 Juni hingga 1 Oktober, harga beras meningkat empat kali lipat dan nilai dolar di pasar gelap membumbung tinggi.

Bantuan ekonomi secara berangsur-angsur diberikan kepada Indonesia antara tahun 1962-1965 yang dibarengi dengan suatu kenaikkan bantuan militer kepada Angkatan Darat (AD) Indonesia. Nilai bantuan untuk Angkatan Darat tahun 1962-1965 sebanyak US$ 39,5 juta. Padahal, selama tahun 1949-1961, bantuan untuk militer Indonesia hanya sebesar US $ 28,3 juta.20

Yang tidak kalah menarik, sebelum terjadi Gestapu 30 September/1 Oktober 1965 telah ada pertemuan antara pejabat Indonesia dengan pengusaha Amerika mengenai adanya kandungan tembaga bernilai US$ 500 juta di Papua Barat. Hal ini diungkapkan Scott setelah memperoleh salinan sebuah telegram rahasia tertanggal 15 April 1965. Telegram rahasia itu menjelaskan tentang Freeport Sulphur menjelang April 1965 telah mencapai suatu pendahuluan dengan para pejabat Indonesia mengenai apa yang nantinya akan menjadi suatu investasi sebesar US$ 500 juta di bidang pertambangan tembaga di Papua Barat.21

Munculnya kolonel pembangkang di daerah dua tahun setelah Pemilu, yang melahirkan PRRI/Permesta memberi kesempatan kedua bagi CIA. Tapi, CIA segera angkat kaki ketika pesawat Pope tertembak di perairan Ambon. Dan tidak boleh kembali ke Bandara Mapanget, Manado. Ini juga melengkapi kegalan PRRI di Sumatera. Sukarno bergeming. Dan PKI makin lengket pada kekuasan presiden. Namun, masih ada sebuah celah: sejumlah perwira TNI yang anti komunis adalah kawan dekat Amerika Serikat. 22

Perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas sebagai akibat operasi CIA di Indonesia ini berkisar sekitar setengah juta orang (Scott, 1999). Upaya CIA mengenyahkan pengaruh komunis dalam peta politik Indonesia sebenarnya sudah dimulai ketika Pemilu 1955 akan digelar, dengan mengucurkan US $ 1 juta untuk dana operasional Partai Masyumi menghadapi Pemilu. Masyumi bersikap anti komunis. Ini satu-satunya harapan Amerika Serikat kala itu untuk melawan pengaruh komunis. Tapi, Masyumi kalah dan sebaliknya PNI, yang cenderung kiri, menang. Lebih celaka lagi bagi Amerika Serikat, PKI memperoleh suara yang cukup besar di Jawa. Ini pertanda buruk bagi kampanye anti komunis. Apalagi, politik bernegara Soekarno pun cenderung mesra ke blok Komunis, Uni Soviet dan RRC. 23

Namun, dalam buku Sukarno File yang ditulis Antonie C.A. Dake menepis keterlibatan Soeharto dan CIA dalam peristiwa G 30 S. Dake menyatakan tak menemukan konspirasi Soeharto dengan CIA. Soalnya, CIA tak tahu Soeharto.24



Catatan Bab 16

1 Boy R . Compton, 1993, Kemelut Demokrasi Liberal: surat-surat rahasia, diterbitkan LP3ES, cetakan pertama Agustus, diterjemahkan Hamid Basyaib, hlm 397-398.

2 Ibid

3 Harvey, 1989, Op. cit, hlm 40.

4 Compton, 1993, Op. cit

5 Compton, 1993, Op. cit.

6 Compton, 1993, Op. cit.

7 Compton, 1993, Op. cit.

8 Compton, 1993, Op. cit.

9 Harvey, 1989, Op. cit, hlm 66.

10 Majalah TEMPO, 2000, “CIA di Indonesia: Runtuhnya Sebuah Mimpi,” Rubrik IQRA, 26 November, hlm 66-91. TEMPO mengulas tentang buku Feet to the Fire: Cia Covert Operations in Indonesia, 1957-1958, karya Kenneth Conboy dan James Morrison, yang mengungkap keterlibatan CIA dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

11 Ibid

12 Ibid

13 Harvey, 1989, Op. cit, hlm 121.

14 Harvey, 1989, Op. cit.

15 Tempo, 2000, Op. cit.

16 Lihat Peter Dale-Scott (1999),”Perananan CIA dalam penggulingan Soekarno,” dalam buku Gestapu, Matinya Para Jenderal dan Peran CIA, diterbitkan CERMIN, September, cetakan pertama, hlm 72.

17 Ibid, lihat catatan kaki hlm 122

18 Harvey, 1989, Op. cit hlm 122

19 Scott, 1999, Op. cit. hlm 77

20 Scott, 1999, Op. cit hlm 86

21 Scott, 1999, Op. cit, hlm 98. Dalam catatan kaki, disebutkan hal ini bisa menjadi kebetulan dan bisa juga tidak bahwa salah seorang Direktur Freeport Sulphur, A.A. Lovelt adalah rekan investasi W. Avarell Harriman, yang ketika berada di lingkungan Departemen Luar Negeri telah memainkan peranan penting untuk memperoleh bantuan Amerika dalam pengambil-alihan Irian Barat oleh Indonesia, hlm 135.

22 Majalah TEMPO, 2000, Op. cit

23 Majalah TEMPO, 2005, 4 Desember, halaman 38-39.

24 TEMPO, 2000, Op. cit.

No comments: