Saturday, February 24, 2007

Bab 6. Penegakkan Hukum

Tentang penegakkan hukum di kawasan Bunaken, saya teringat tahun 1993 ketika mulai sering datang ke Pulau Bunaken, khususnya di Alungbanua. Seorang penduduk Alungbanua menceritakan, beberapa tahun sebelumnya ada nelayan yang meninggal setelah ditangkap dan ditahan petugas patroli. Nelayan ini dibawa ke Manado untuk diinterogasi karena menangkap ikan di taman laut --sebutan untuk lokasi penyelaman.

Nelayan yang telah berusia lanjut itu memang tidak diproses sampai ke pengadilan. Tapi dari cerita yang beredar, nelayan ini telah disiksa dengan disuruh mandi dan harus menghabiskan sabun batangan. Setelah itu, nelayan ini dibebaskan. Dan tak lama kemudian meninggal dunia.

Penegakkan hukum dengan gaya militer dan tindakan polisionil inilah yang mulai diterapkan di kawasan TN Bunaken sejak tahun 2000. Hal ini memunculkan konflik dengan para pemanfaat kawasan, terutama nelayan setempat. Insiden pengusiran Pengelola Bunaken, bulan Januari 2004, di Pulau Bunaken dipicu masalah penegakkan hukum, yakni penangkapan terhadap nelayan. Nelayan ini ditangkap aparat karena sedang mencari ikan di zona larangan. Karena itu, muncul keinginan untuk membubarkan Dewan Pengelolaan TN Bunaken. Sebab, Dewan dinilai tak memberikan manfaat berarti bagi masyarakat.

Hasil Survei Kelompok Studi Titian dan Kelompok Studi Pengembangan Masyarakat Pesisir Sempadan (1994) menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap institusi (hukum) adat di Bunaken mulai memudar dan rapuh. Unsur kewibawaan sangat menentukan suatu introduksi mengenai perangkat hukum yang dapat diterima masyarakat. Namun, introduksi mengenai perangkat aturan ini jangan sampai terjebak menjadi “krisis hukum.” Karena itu, untuk membangun kesadaran tentang hukum, perlu upaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum adat.

Penegakkan hukum yang dilakukan melalui patroli bersama, diawali dengan penandatanganan Naskah Kesepahaman antara Balai TN Bunaken dengan NSWA1 dan Kepolisian Air dan Udara (Polairud) Sulawesi Utara, pada pertengahan tahun 2000. Balai TN Bunaken menyambut baik patroli bersama ini. Sebab, kendala utama pihak Balai adalah minimnya tenaga jagawana (polisi hutan) yang akan mengawasi kawasan konservasi TN Bunaken, yakni hanya 30 petugas.

Patroli bersama ini mulai melibatkan wakil penduduk di kawasan TN Bunaken. Menurut Kepala Balai TN Bunaken Arief Toengkagi, sistem patroli bersama masyarakat difokuskan pada masalah pengeboman, penangkapan ikan dengan menggunakan racun sianida, penebangan mangrove untuk tujuan komersil, penangkapan dan pengambilan biota laut yang dilindungi, pelanggaran sistem zonasi serta pelanggaran kegiatan wisatawan yang tidak membeli karcis atau pin.

Pengamanan ini dilaksanakan di dua kawasan: Taman Nasional bagian Utara dan Selatan. Tim patroli terdiri dari wakil masyarakat, jagawana dan Polairud. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam patroli bersama ini mulanya sebanyak 47 orang. Hingga Maret 2004 jumlahnya telah membengkak menjadi 65 orang.

Pihak NRM-III, DP TN Bunaken dan Balai TN Bunaken mengklaim selama tim patroli melakukan kegiatannya, telah berdampak pada perbaikan ekosistem terumbu karang. Selama periode Januari 20012 hingga September 2002, pemulihan terumbu karang khususnya di Pulau Bunaken rata-rata 11,20 persen.3

Kasus-kasus pelanggaran yang ditemukan dan diproses antara lain penggunaan racun sianida, pengeboman, penebangan mangrove dan karamba. Selain itu, tim patroli juga memproses mereka yang melakukan perdagangan napoleon, perdagangan bakau, penangkapan ikan dengan kompresor dan pukat hiu, serta penangkapan ikan di zona inti dan pengambilan pasir. Kasus-kasus itu, sebagian diselesaikan sampai pengadilan dan lainnya dengan membuat pernyataan. Ada yang dijatuhi hukuman tindak pidana ringan hingga kurungan penjara selama 21 bulan.

Untuk kasus-kasus pengeboman dan penangkapan ikan dengan racun memang harus menjadi perhatian serius. Kegiatan ini sangat merusak ekosistem terumbu karang dan biota laut lainnya. Di Rap-rap, warga setempat ada yang mengalami cacat tubuh setelah menangkap ikan dengan bom. Di Popareng seorang warganya tewas menggenaskan akibat salah meledakkan bom ikan. Pemboman ikan merambah di banyak tempat di kawasan TN Bunaken. Ada bom yang diracik dan dibeli dari Rap-rap dan ada juga dari luar kawasan TN Bunaken.

Namun, larangan yang membabi buta dari tim patroli telah menimbulkan antipati dari penduduk. Belsky (1992) telah mengingatkan masalah tersebut. Pandangan masyarakat setempat soal penegakkan hukum, Belsky mencermati, diwakili satu akronim 3 D, yakni: Dilarang, Dilarang dan Dilarang. Ketika itu, sebelum ada Balai TN Bunaken, fokus utama Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam (SBKSDA) Sulawesi Utara adalah kegiatan penegakkan hukum. Penegakkan hukum itu, meliputi:4
Dilarang menebang bakau
Dilarang mengambil karang
Dilarang menebang pohon atau bertani di kawasan hutan lindung
Dilarang membuang sampah ke laut
Dilarang menggunakan dinamit dan racun untuk menangkap ikan

Tidak realistis bila masyarakat diharapkan menghentikan kegiatan penebangan hutan bakau secara total. Karena itu, untuk pengelolaan mangrove yang lebih arif, disarankan agar mengganti larangan penebangan mangrove ini dengan pemanfaatan yang berfungsi ganda. Pola pemanfaatan dapat dilakukan dengan mengisi daftar jumlah tebangan pohon di lokasi dan penampungan, lalu melakukan penanaman kembali di lokasi tersebut.

Kegiatan patroli di dilakukan 1 X 24 jam, terutama di Pulau Bunaken. Dengan adanya patroli itu telah mencegah kegiatan desktruktif di lapangan. Patroli gabungan telah menangkap dan menghentikan penggunaan bom dan sianida.

Patroli bersama ini juga didukung sepenuhnya oleh WWF Wallacea. WWF Wallacea telah menyumbangkan dana sebesar US$ 11.000 untuk kegiatan patroli. Sedangkan dana dukungan dari NRM/EPIQ sebesar US$ 100.000 untuk menjalankan patroli bersama, sistim tarif masuk, dan sekretariat Dewan pengelola, memperkuat Forum Masyarakat Peduli TN Bunaken dan mendalami sistem komunikasi radio VHF di kawasan.

Dana konservasi yang dipungut melalui sistem tarif masuk ke TN Bunaken juga sebagian besar digunakan untuk penegakkan hukum ini. Selama tahun 2002, misalnya, dana yang terkumpul sekitar Rp 983.750.500. Sebanyak Rp. 480 juta telah digunakan untuk kegiatan patroli dan penanganan perkara.

Namun dengan dana patroli sebesar itu, Sekretaris Desa Rap-rap Ismail Husen berpendapat bahwa patroli di kawasan TN Bunaken masih seperti ‘orang-orangan’ yang dapat mengusir burung yang datang menganggu tanaman padi di sawah.

Pada bulan Februari 2002, misalnya, tim patroli memergoki pengebom ikan di perairan Arakan – Wawontulap. Tim Patroli ini tak dapat berbuat banyak. Sebab, digertak pengebom yang datang dari luar kawasan TN Bunaken. Memang sampai saat ini tak ada aturan yang memberi kewenangan bagi tim patroli yang berasal dari masyarakat melakukan penangkapan pada pelaku perusakan di kawasan.

Dibawah ini saya mengangkat tiga kasus penegakkan hukum yang kontroversial terjadi di kawasan TN Bunaken.

a. Raja Laut dari Manado Tua Kabar baik terdengar dari Pulau Manado Tua. Seekor ikan purba yang dikenal dengan sebutan coelecanth ditemukan bapak Lameh Sonathan, 60 tahun. Nelayan asal Manado Tua ini menangkap ikan itu dalam keadaan hidup. Memiliki panjang 1,24 meter dan berat 29 kilogram ikan langka itu menjadi perhatian ilmuwan kelautan dan turis yang datang ke TN Bunaken. Bahkan peneliti dan turis ingin melihat dan membeli ikan itu, dengan harga tinggi. Ikan raja laut yang dikenal hanya hidup di Kepulauan Komoro, berjarak sekitar 10 ribu kilo meter dari Pulau Manado Tua. Coelecant (pisces latimeriidae) pertama kali muncul dalam kehidupan sekitar 400 juta tahun silam dalam bentuk fosil. Sampai 70 juta tahun lalu ikan ini tidak ditemukan lagi, sehingga para ahli menduga ikan itu telah punah. Ikan purba ini panjangnya mencapai 2 meter dengan berat 100 kilo gram. Ikan ini tidak bertelur, tapi melahirkan anak. Pada 1938, coelecanth pernah menjadi perhatian para ahli kelautan lantaran ditemukan lagi fosil hidup di Mozambik. Setelah Mozambik ikan ini ditemukan lagi di Pulau Komoro. Coelecanth termasuk ikan yang malas bergerak. Ciri fisiknya berbeda dengan kebanyakan ikan yang umumnya hanya memiliki enam sirip. Coelecanth memiliki tujuh sirip. Masing-masing di bagian depan bawah dua sirip, atau dua sirip dan sirip ekor agak bulat. Ciri lainnya sirip ikan ini memiliki daging. Sisiknya berduri dengan warna coklat berbintik putih. Habitat ikan dengan nama ilmiah Latimeria chalumnae ini pada suhu air 18° C di kedalaman 100 meter. Raja laut mencari makan di malam hari. Ikan ini hanya dijumpai di perairan yang memiliki gua-gua vulkanik. Belakangan setelah ikan diidentifikasi dan dipopulerkan Erdmann, banyak turis, terutama dari Jepang yang menanyakan ikan itu. Setelah temuan ikan itu, kampanye pelestarian ikan raja laut dilakukan, juga pertemuan dengan Balai TN Bunaken dan pengusaha jasa wisata selam. Coelecanth sejak 18 Januari 1980 telah dimasukkan dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Artinya ikan ini tidak boleh diperdagangkan antarnegara. Bagi Lameh Sonathan, keberadaan ikan raja laut tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Selama ini dia bersama nelayan lain di Pulau Manado Tua juga tak mengenal coelecanth. Orang tua dan leluhur mereka pun tak pernah menceritakan kalau di Pulau Manado Tua yang banyak terdapat gua-gua vulkanik di bawah laut itu ada ikan langka itu. Lameh sudah 20 tahun menjadi penangkap ikan hiu. Dia melaut menjelang malam untuk melepas jaring. Lalu di pagi hari balik lagi untuk mengangkat jaringnya yang sudah dilepas. Selama itu, sudah delapan kali Lameh menggati jaring yang biasa disebut soma gorango itu. Sekarang, selain Lameh, anaknya ikut membantu mencari ikan. Banyak jenis ikan di terumbu karang dan yang hidup di kedalaman 80 sampai 100 meter dapat dijangkau jaring ini. Pada September 1997, ikan raja laut ini sempat masuk ke jaringnya. Tanpa curiga ikan itu dijual ke pelelangan di Manado dan dibeli Rp 25 ribu. Nama ikan raja laut merupakan sebutan tibo-tibo (pedagang ikan) yang sering membeli hasil tangkapan Lameh. Suatu hari keluarga Lameh didatangi peneliti Dr. Mark V. Erdmann. Erdmann membawa gambar ikan, seperti yang dijual September 1997 di pasar Bersehati. Foto ikan diberikan Erdmann sembari menjelaskan bila menemukan ikan seperti itu akan dibelinya Rp 600 ribu. Erdmann memberikan alamatnya di sebuah cottage di Pangalisang. Lameh dan tetangganya Maxon, yang juga nelayan penangkap ikan hiu menerima foto tersebut. Awal tahun 1998, Erdmann menerima dana penelitian dari National Geographics untuk meneliti keberadaan coelecanth di Sulawesi Utara. Erdmann mewawancarai 200 nelayan dan yang mengaku pernah melihat ikan itu hanya empat orang. Ada yang memberi nama ikan raja laut, ada juga yang menyebut ikan cede. Ikan cede dengan nama ilmiah Ruvettus pretiosus ternyata bukan coelecanth. Tapi, ikan ini diduga jadi indikator keberadaan coelecanth di perairan dalam. Tanggal 30 Juli 1998, Erdmann baru bisa memastikan bahwa coelecanth memang ada di Sulawesi Utara. Ikan ini dibawa Lameh di Pangalisang dalam keadaan hidup. Erdmann membeli ikan itu Rp 1 juta. Ikan raja laut ini ditangkap di perairan depan kampung Papindaang, Desa Manado Tua I di kedalaman 80 meter. Saat melaut 29 Juli malam, perasaan Charles dan ayahnya biasa saja. Jaring perangkap ikan hiu berukuran dilepas dengan pemberat batu karang ke perairan dalam. Setelah itu, beberapa utas tali diikatkan pada batu karang. Tiba di rumah, ikan itu dicocokkan dengan foto pemberian Erdmann. Rupa ikan itu mirip dengan yang ada di foto. Dan bergegaslah keduanya menuju ke tempat tinggal Erdmann di Pangalisang. Dengan perasaan kaget bercampur gembira Lameh menerima Rp 1 juta. Belakangan, pada bulan April tahun 2002, Lameh yang sedang mencari ikan dengan dengan menggunakan pukat hiu itu didatangi tim patroli. Melihat patroli yang sudah mendekat ke perahu, Lameh langsung jatuh pingsan. Kata Lameh, “Saya pingsan selama 30 menit.” Lameh diproses dan diperiksa sesuai dengan surat panggilan polisi bernomor SPg/46/IV/2002, Unit Mdo. Lameh dipanggil sebagai tersangka karena adanya laporan tanggal 11 April 2002, tertangkap melakukan penangkapan ikan dengan soma gorango (pukat hiu) di kawasan TN Bunaken. Lameh dijerat pasal 40 ayat (2), junto pasal 33 ayat (3) Undang-undang nomor 5 tahun 1990. Lameh memang tidak diproses sampai ke pengadilan, namun dia bertanya-tanya: “Mengapa setelah ikan raja laut itu ditemukan, pukat hiu yang saya gunakan untuk menangkap ikan dilarang.” kata Lameh keheranan. Saat seminar dan lokakarya, tanggal 13 Oktober tahun 2000 di Pantai Liang Pulau Bunaken, telah dipertanyakan warga Manado Tua apakah soma gorango atau pukat hiu itu merusak terumbu karang. Kalau merusak karang, diusulkan agar Lameh bersama nelayan di Manado Tua mendapat bantuan pukat dan pajeko. Dengan pajeko dan pukat diharapkan akan meningkatkan pendapatan nelayan dan tak lagi menangkap ikan dengan soma gorango. Menurut Dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado Dr. Alex Masengi, merusak terumbu karang atau atau tidak, penggunaan pukat hiu itu tergantung cara mengoperasikannya. Jika tali diperpanjang tak akan merusak karang.5 b. Pulau Siladen
Lima belas buah cottage (pondok inap) berdiri megah di atas pasir putih Pulau Siladen, kawasan TN Bunaken. Setiap pondok inap dihubungkan dengan jalan setapak yang dibeton di atas pasir. Pohon-pohon memayungi setiap cottage yang tampak sangat ekslusif itu. Di bagian yang lain terdapat ruangan untuk perawatan tubuh dan sebuah kolam renang yang masih diperbaiki. Lokasi pembangunan sarana wisata ini berhadapan dengan Pulau Bunaken, Mantehage dan Nain.

Bagi para pemerhati lingkungan di Manado dan Balai TN Bunaken, lokasi pembangunan cottage itu masih menjadi kontroversi. Sebab, pembangunan cottage dan berbagai sarana penunjangnya belum memiliki izin dari Departemen Kehutanan.

Pulau Siladen memiliki luas 45 hektare. Topografinya dikelilingi terumbu karang dengan tekstur tanah aluvium muda. Pulau pasir karang ini memiliki terumbu karang yang mendatar kemudian terjal (drop off) dengan ribuan jenis ikan. Pulau yang secara administratif masih bergabung dengan Desa Bunaken di Pulau Bunaken ini dihuni 288 jiwa atau 82 kepala keluarga. Hampir 70 persen tanah di pulau kecil itu dikuasai keluarga almarhum John Rahasia yang bekas perwira menengah TNI AD.

Hembusan otonomi daerah telah melapangkan jalan bagi warga Italia membangun di kawasan itu. Dengan dukungan John Rahasia, semua pengurusan surat-surat dan izin pembangunan, termasuk persetujuan Amdal berjalan mulus. Bahkan Gubernur Sulawesi Utara A.J. Sondakh datang di awal pembangunan lokasi di lahan seluas empat hektar itu.

Kelengkapan pembangunan di pulau itu berupa izin mendirikan bangunan, SIUPP dan izin Pariwisata. Persetujuan studi Amdal dan persetujuan Amdal pembangunan sarana wisata ditandatangani Wakil Gubernur Sulawesi Utara Freddy H Sualang. Persetujuan ini dengan tembusan Gubernur Sulawesi Utara dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Usaha wisata itu ditangani warga Italia bernama Daniele Marianelli. Sebelumnya, warga Italia yang lain bernama Mamo ikut dalam usaha tersebut. Belakangan Mamo tidak bergabung lagi. Usaha yang mulanya dirintis Mamo ini dengan nama PT Spa Cantik Sehat Bahari. Belakangan, setelah usaha wisata hampir rampung diganti namanya menjadi PT Siladen Resort and Spa.

Masuknya warga Italia dalam bisnis wisata di Pulau Bunaken, sempat mengundang isu adanya mafia Italia yang masuk ke pulau-pulau kecil di Sulawesi bagian Utara, Sulawesi Tengah (Kepulauan Togean) dan di Sulawesi Selatan. Marianelli anak staf Kedutaan Besar Italia di Jakarta membantah tudingan itu. “Mafia itu kata yang tidak bagus, kalau ada mafia di sini, saya mau pulang ke Italia,” ucapnya, untuk memberi penjelasan soal isu tersebut. Sepengatahuan Marianelli, mafia Italia itu tidak pernah keluar Italia. Adapun owner PT Siladen Resort and Spa ini bukan hanya orang Italia. Hanya gaya manajemennya yang 90 persen Italia.

Agaknya, kecurigaan adanya mafia Italia hanya pada modus operandi bahwa bisnis itu mulanya dilakukan oleh Mamo, yang selanjutnya menjual lagi usaha tersebut pada orang lain. Seorang istruktur selam yang mengelola usaha wisata penyelaman di Pulau Bunaken menceritakan bahwa mereka (model mafia Italia) ini mencari lokasi, lalu dijual lagi kepada pihak lain. “Modusnya memang begitu, cari dan jual,” paparnya.

Terlepas dari benar atau tidak, adanya mafia Italia yang masuk jaringan bisnis usaha wisata di TN Bunaken, yang jelas Departemen Kehutanan sebagai pengelola kawasan konservasi melalui Balai TN Bunaken tidak dilibatkan dalam kegiatan pengembangan sarana wisata. Padahal, sesuai dengan ketentuan, setiap kegiatan pembangunan wisata di kawasan taman nasional harus menyertakan izin dari Menteri Kehutanan.

Padahal, Wakil Gubernur Freddy Sualang yang juga sebagai Ketua Dewan Pengelolaan TN Bunaken yang telah memberi izin. Sebagai bagian dari Dewan Pengelolaan TN Bunaken, otomatis, Balai TN Bunaken juga sudah masuk di dalamnya. Tapi, menurut Kepala Balai TN Bunaken Arief Toengkagie, cottage di Pulau Siladen ini belum memiliki izin dari Departemen Kehutanan.

Adapun masalah lingkungan yang dikhawatirkan mengancam di sekitar tempat itu adalah limbah cair dan sampah padat yang akan dihasilkan nanti bila sudah beroperasi. Kontrak sewa tanah akan berlangsung selama 25 tahun. PT Siladen Resort and Spa masih akan membuat jetty sebagai tempat berlabuh perahu wisata.

Kasus yang patut dipertanyakan di sini adalah bungkamnya pihak NRM. Padahal, sebelum ada pembangunan, NRM beberapa kali memfasilitasi rencana pembangunan di Siladen yang akan mengancam ekosistem laut Bunaken. Begitu juga belum adanya izin dari Departemen Kehutanan, seperti yang dikemukakan Toengkagi tak pernah digubris.

c. Pembongkaran Karang di Tongkaina

Kasus lain yang kontroversial adalah pembongkaran karang untuk pembuatan jetty di pantai Tongkaina. Lokasinya berada di kompleks dermaga Hotel Santika, sekitar 12 kilo meter dari pusat kota Manado.6 Atraksi unggulannya adalah wisata ke TN Bunaken. Dari pantai Tongkaina, jarak ke Pulau Bunaken, Siladen, Mantehage dan Nain menjadi lebih dekat.

Selain pembongkaran karang di tempat itu terjadi penimbunan batas kawasan TN Bunaken. Gara-gara pelaksana pembangunan hotel telah menimbun pal nomor 71 dan 72 sebagai batas kawasan TN Bunaken dan melakukan pembongkaran karang, Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam (SBKSDA) Sulawesi Utara melaporkan kasus tersebut ke Kepolisian Sektor Manado Utara. Lalu dilanjutkan oleh Balai TN Bunaken.

Di Balai TN Bunaken, hingga tahun 2000, Santika belum memiliki izin resmi dari Departemen Kehutanan untuk membuat jetty dengan membongkar dan merusak karang di dalam kawasan TN Bunaken itu. Ahli terumbu karang Unsrat Manado, Hanny Tioho mengibaratkan kalau itu pembunuhan terhadap manusia, maka perusakkan karang yang dilakukan untuk pembangunan jetty di Hotel Santika itu, terlalu sadis. Kasus ini menguap begitu saja.

Ada banyak kasus penegakkan hukum yang merugikan rakyat di kawasan Bunaken. Menurut Lowe, tim Polairud, jagawana dan beberapa warga TN Bunaken yang menggunakan perahu diving komersial telah bekerja dengan istilah “spesial” dan “operasi rahasia” untuk menangkap masyarakat yang menangkap ikan dengan teknik yang merusak, menebang bakau, dan menangkap di zona inti. Alat-alatnya disita, kayu bakau dibakar, ikan hasil tangkapan dilepaskan. Di tiap kampung juga telah disediakan radio handy talki (HT). Staf proyek NRM atau NGO-NGO yang telah berpaling ke proyek, telah menjadi lawyer dan menekan pengadilan melalui kampanye media untuk mendapatkan outcome yang mereka inginkan dari proses hukum.7

Lowe (2003) mempertanyakan mengapa setiap penangkapan yang dilakukan terhadap nelayan yang menjadi target operasi, tidak disertai dengan mengusut siapa yang berada di belakang mereka (backing). Untuk menentukan siapa yang menjadi target, Lowe mengingatkan harus hati-hati. Jika tidak hati-hati malah akan membuahkan konflik.

Tim patroli masyarakat yang terlibat dalam penegakkan hukum ini digaji Rp 700 ribu per bulan untuk mereka yang di Pulau Bunaken dan sekitarnya. Sedangkan di TN Bunaken bagian Selatan mendapat gaji Rp 400 ribu perbulan. Pada bulan Maret, sistem ini diubah dengan memberikan upah harian. Direktur DP TN Bunaken, Reinhart Paat mengatakan bahwa tim patroli masyarakat di Pulau Bunaken yang bekerja 1 X 24 jam diberi upah Rp 70 ribu per hari. Sedangkan di bagian Selatan yang bekerja selama 12 jam diupah Rp 35 ribu. Selain itu, DP TN Bunaken juga menyediakan biaya kesehatan bagi anggota tim yang sakit, serta tunjangan hari raya.

Lowe (2003) mencermati bahwa penegakkan hukum yang menjadi salah satu alat kebijakan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Management) dalam kasus Bunaken merupakan sebuah aliansi antara donor atau perwakilannya, pengusaha jasa wisata selam, dan Polairud dan proses hukum itu sendiri. Fakta yang muncul ini menimbulkan pertanyaan, apakah aparat keamanan merupakan mitra yang pas (cocok) bagi proyek NRM?. Dari perspektif sejarah, Indonesia memiliki empat ratus tahun masa yang penuh dengan kekerasan perampasan sumberdaya dan hak kepemilikan dari masyarakat lokal kepada orang asing. Lalu ditambah lagi dengan masa neokolonial dari proyek itu sendiri yang seharusnya memberi kita jeda. Sejarah kekerasan militer di Indonesia untuk pengembangan ekonomi selama masa Suharto, seharusnya memberi perhatian yang serius bagi kita untuk memilih bekerja dengan cara militerisasi terhadap sumberdaya alam Indonesia.8

Sebagaimana diindikasikan dalam kasus NRM, beberapa praktisi di Indonesia berbeda cara pandang dalam praktek-praktek dan proses-proses konservasi dengan konsultan asing. Tidaklah tepat untuk mengakui bahwa lembaga donor memegang kendali untuk konservasi di tingkat lokal. Pertautan antara kekuatan negara dan kepentingan ekonomi perorangan telah menjadi sumber terbesar kehancuran lingkungan dan sosial di Indonesia selama kurang lebih 30 tahun maupun sejak periode kolonial.9 Aliansi negara melawan masyarakat di kawasan TN Bunaken yang hanya memiliki tingkat ekonomi paling rendah, seharusnya melihat segi kepentingan dan kesejahteraan umum. Bukan pada kepentingan negara atau pengusaha pariwisata.

Sebagaimana telah diuraikan Kelleher dan Kenchington (1991), tujuan utama konservasi dalam dasar hukum pengelolaan sumberdaya alam harus diakui nilai pentingnya untuk menjamin pemanfaatan yang berlanjut dan kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan pemanfaatan demi kesejahteraan manusia di dalam kawasan perlindungan laut dan sekitarnya harus memainkan peran penting dalam pemilihan, perancangan dan pengelolaannya.10

Catatan Bab 6

1 Tahun 2004 NSWA memiliki 15 anggota perusahaan jasa wisata selam. Tujuan organisasi ini antara lain memajukan wisata di Sulawesi Utara sebagai salah satu tujuan dengan standar selam tinggi dan memiliki kepedulian terhadap masalah penurunan kualitas terumbu karang. NSWA merupakan bagian dari Asosiasi Perjalanan Asia Pasifik (Pacific Asia Travel Association / PATA) di Sulawesi Utara. NSWA terbentuk tahun 1998. Setiap bulan anggota NSWA bertemu untuk membahas masalah di kawasan TN Bunaken dengan mengundang Balai TN Bunaken, Polairud dan LSM.


2 Pada bulan Maret tahun 2001, tim Kelola pernah menggalang pernyataan bersama, Solidaritas Masyarakat Peduli Nelayan, Kawasan TN Bunaken. Dalam surat kepada Gubernur Sulawesi Utara, solidaritas masyarakat ini menuntut agar Gubernur secepatnya mengambil kebijakan dan tindakan tegas. Tindakan itu berupa (1) menghentikan dan menindak tegas pelaku perusak lingkungan termasuk oknum-oknum yang terlibat di dalamnya dengan ketentuan sanksi hukum yang berlaku, (2) membebaskan kawasan perairan TN Bunaken dari kegiatan dan praktek pemanfaatan potensi setempat yang memungkinkan timbulnya kerusakan ekosistem perairan dan merugikan masyarakat lokal, (3) mengajukan dan menetapkan peraturan daerah (Perda) kepada DPRD Sulawesi Utara untuk melarang penggunaan bahan peledak, racun sianida dan bori, (4) mendesak instansi terkait untuk meningkatkan peran aktif aparatnya dalam mengawasi, menjaga dan menindak setiap aktivitas pemanfaatan sumberdaya lingkungan yang dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem pesisir dan laut di kawasan TN Bunaken.

3 Lihat Lestari, edisi Rabu 30 Oktober 2002.

4 Belsky (1992) Loc. cit.

5 Lihat catatan proses Semiloka, tanggal 13 dan 14 Oktober 2000, di Pantai Liang Pulau Bunaken, difasilitasi NRM Sulawesi Utara.

6 Lihat Majalah D&R, 1997, Menghalangi Matahari Masuk Laut. 31 Mei.

7 Celia Lowe, 2003, Loc. cit

8 Celia Lowe, 2003, Loc.cit

9 Celia Lowe, 2003, Loc.cit

10 Kelleher dan Kenchington, Loc. cit.

No comments: