Saturday, February 24, 2007

Bab 2. Sejarah Kawasan

Tak jauh dari puncak Gunung Manado Tua, ada sebuah pal atau tonggak batu. Didekat pal itu ada bekas galian. Lubang bekas galian itu memang sengaja dibuat karena diduga didekat pal itu terdapat harta karun. Begitulah cerita yang beredar di Pulau Manado Tua.

Pulau Manado Tua memang memiliki sejarah panjang. Pada abad 15 dan 16 di pulau ini pernah berkembang kerajaan Bawontehu.1 Kerajaan dengan perpaduan etnis Sangihe dan Bolaang Mongondow ini meliputi Pulau Bunaken, Siladen, Mantehage, Nain, Talise, Bangka, Gangga, Lehaga dan semenanjung pesisir utara Minahasa.

Penduduk di kawasan TN Bunaken diperkirakan telah lama mendiami pulau-pulau dan pesisir Pulau Sulawesi. Ada banyak cerita perpindahan penduduk ke lokasi tersebut, terutama yang datang dari Kepulauan Sangihe dan keturunan pelaut Bajau (Bajo). Etnis Sangihe paling dominan mendiami kawasan TN Bunaken. Mereka ini kebanyakan berasal dari Pulau Siau, Kabupaten Sangihe, yang dikenal dengan gunung api Karangetang.

Sedangkan keturunan Bajo, yang sekarang ini tinggal di Pulau Nain dan pesisir Arakan (Rap-rap), diceritakan melakukan eksodus dari Gowa, Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1698. Dengan menggunakan sembilan buah perahu, sebanyak 112 jiwa ini mulanya menetap di pesisir kampung Kima Bajo dan Talawaan Bajo. Di pesisir Minahasa, Pulau Sulawesi, ini mereka mendirikan daseng (rumah kecil dan sederhana di laut). Etnis pelaut ini juga ada yang menyebar di Burau, Kalimantan, dan Filipina. Kedatangan suku Bajo ini mencari kima (Tridacna spp) dan ikan.

Setelah satu abad lebih mendiami pesisir kampung Kima Bajo, tahun 1823, orang Bajo ini pindah ke Pulau Nain. Selain itu, ada yang migrasi ke pesisir Likupang dan Bitung. Selanjutnya, dari Pulau Nain, beberapa keluarga Bajo ada yang mendirikan daseng di utara Pulau Mantehage dan pindah ke Rap-rap.

Untuk mendapatkan makanan dari hasil pertanian, keluarga Bajo menukarkan hasil tangkapan ikannya dengan keluarga etnis Sangihe. Sistem barter ini bertahan cukup lama. Di kawasan TN Bunaken, selain etnis Sangihe dan Bajo, terdapat etnis Minahasa, Gorontalo, Bugis, Bolaang Mongondow, Buton dan Ternate.

Meski dikelilingi laut, kehidupan penduduk kawasan Bunaken, tidak sepenuhnya bergantung pada sumberdaya laut, terutama bagi etnis Sangihe. Bila musim hujan, rakyat setempat ada yang bertani, selain mencari ikan. Karena itu, ada istilah KKO (ka lao ka dara ore) dari rakyat setempat. KKO ini artinya ke laut dan ke darat oke. Bila musim hujan, terutama di bulan September, Oktober, November dan Desember, mereka bercocok tanam. Yang ditanam padi ladang, ketela pohon, pisang, sayur-mayur dan tanaman lainnya. Selain itu, di lahan-lahan warga ini terdapat pula pohon kelapa. Sedangkan musim kemarau, terutama pada bulan Mei, Juni dan Juli mereka melaut.

Pengetahuan masyarakat tradisional melalui kalender musim sangat membantu sistem pemanfaatan sumberdaya alam setempat. Kapan waktunya musim ikan lolosi (Caesio spp), malalugis (Decapterus ruselli), cakalang (Katsuwonus pelamis), mandidihang (Thunnus albacores), deho (Auxis thazard), sako (Tylosurus crocodiles) mereka ketahui. Begitu juga dengan ikan karang. Ikan-ikan yang berseliweran, mengikuti pola arus yang membawa sumber makanan.

Dalam peta sebaran alat tangkap nelayan di kawasan TN Bunaken, berupa pancing (termasuk pancing dengan layang-layang), huhate (pole and line), pukat kantong, pukat cincin dan alat tangkap lainnya. Huhate hanya ada di Desa Bunaken, sedangkan alat tangkap lainnya tersebar di semua kawasan. Guru besar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat, Siegfried Berhimpon (2003) menyebutkan bahwa penyebaran ikan di kawasan TN Bunaken antara lain, jenis cakalang, malalugis, selar dan teri. Potensi budidaya hasil laut yang dapat dikembangkan antara lain lobster, bandeng, kepiting, udang, kerang mutiara, ikan hias, teripang dan rumput laut.

Perpindahan sementara dari pulau-pulau ke Manado atau tempat lain untuk mencari pekerjaan juga dilakukan rakyat setempat. Kala pergolakan Permesta tahun 1958-1959, pulau-pulau di kawasan itu juga sempat menjadi tempat persembunyian rakyat yang mengungsi dari daratan Pulau Sulawesi. Mereka ini menempati Pulau Mantehage dan bekerja sebagai penebang mangrove (bakau). Hasil tebangan itu lalu dijual ke Manado.

Rakyat setempat berpenghidupan di darat, laut dan bergantung dari pasokan bahan-bahan yang dibeli dari Manado. Saling kunjung antar pulau juga terus terjadi karena masih adanya ikatan keluarga yang kawin-mawin.

Kehidupan rakyat di kawasan itu berjalan normal hingga akhir tahun 1970-an. Dikatakan normal karena Bunaken belum dikenal sebagai lokasi penyelaman bawah laut yang terindah di dunia. Adalah instruktur selam Ricky Lasut dan Locky Herlambang yang mengawali penyelaman di kawasan Bunaken. Survei kawasan Bunaken sebagai obyek wisata bawah laut dilakukan PT Ida Cipta pada tahun 1978. Setahun kemudian Pangeran Bernhard dari Kerajaan Belanda berkunjung ke Pulau Bunaken. Setelah itu, kawasan ini mulai “dijual” sebagai obyek wisata bawah laut yang terindah di dunia.

Cottage, sebagai tempat inap sementara para turis yang ingin menyelam di Bunaken mulai dibangun di Pantai Malalayang, Manado, tahun 1978. Usaha wisata ini dikerjakan oleh Kelompok Tirta Satwa. Hingga tahun 1981, belum ada cottage yang dibangun di Bunaken. Semua turis yang ingin ke Bunaken, tetap bermalam di Manado. Pada tahun 1982, sebuah cottage berdiri di Pantai Liang, Pulau Bunaken. Cottage itu dibangun oleh Stien Julian.

Sebelumnya, tepatnya tanggal 29 Desember tahun 1980, Gubernur Sulawesi Utara telah mengeluarkan Surat Keputusan nomor 224 tahun 1980 tentang obyek wisata laut Manado. Keputusan ini meliputi Pulau Bunaken dan sekitarnya. Gubernur memperluas kawasan ini meliputi perairan Arakan dan Wawontulap yang berada di pesisir Sulawesi, melalui SK nomor 201 tahun 1984.

Peneliti IUCN/WWF Rodney V. Salm dan Graham F. Usher juga telah melakukan survei di kawasan Bunaken. Penelitian tersebut menyangkut rencana pengelolaan zonasi taman laut Bunaken yang diajukan untuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA).2

Pada bulan Juli tahun 1984, Rodney V. Salm (IUCN/WWF) dan Matheus Halim (Sub Direktorat Konservasi Lautan, PHPA) mengajukan data atlas kawasan konservasi laut di seluruh Indonesia.3 Dalam data atlas itu, pada nomor 143 disebutkan bahwa Pulau Bunaken dan sekitarnya berstatus sebagai taman wisata laut. Sedangkan keterangan pada nomor 144, disebutkan bahwa Arakan sebagai suaka margasatwa. Di perairan kawasan Arakan dan Wawontulap ini merupakan habitat mamalia laut yang dilindungi, Dugong dugon (duyung).

Pada tahun 1986, kawasan perairan Arakan – Wawontulap, Bunaken dan sekitarnya dijadikan kawasan Cagar Alam Laut. Menteri Kehutanan mengeluarkan SK nomor 328/Kpts-II/1986 untuk Arakan – Wawontulap dan Bunaken. Status cagar alam laut ini sangat ketat. Kegiatan yang dapat dilakukan di lokasi itu hanya penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan serta kegiatan yang menunjang budidaya.

Benturan kepentingan antara Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara terjadi setelah keluar SK tersebut. Sebab, bila itu kawasan cagar alam, otomatis tidak diperbolehkan ada kegiatan wisata di tempat itu. Selang tiga tahun, yakni pada tahun 1989, SK Cagar Alam Laut itu mulai diralat. Diusulkan kawasan itu sebagai calon taman nasional. Tanggal 15 Oktober 1991, Menteri Kehutanan menetapkan Pulau Bunaken dan sekitarnya, serta Arakan Wawontulap sebagai taman nasional melalui SK bernomor 730/Kpts-II/91.

Perubahan status ini lantaran kondisi setempat bahwa penduduk sudah lama mendiami kawasan dan sebagian berpenghidupan dari sumberdaya laut dan mulai berkembang wisata bawah laut di Bunaken. Namun, ada anggapan bahwa perubahan status dari cagar alam menjadi taman nasional ini merupakan keistimewaan tersendiri.

Hal seperti ini juga melekat pada pimpinan tim NRM III di Sulawesi Utara, Mark V Erdmann. Entah memahami atau tidak fungsi kawasan sebagai cagar alam laut atau taman nasional, Erdmann menuliskan bahwa Bunaken naik status menjadi taman nasional sejak turun SK nomor 730/Kpts-II/91 dari Menteri Kehutanan.4

Taman Nasional Bunaken melingkupi kawasan Pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage dan Nain. Di Pulau Sulawesi yang masuk kawasan ini mulai dari pesisir Desa Molas hingga Wori. Sedangkan TN Bunaken bagian selatan membentang dari Tanjung Kelapa di Desa Poopoh hingga Popareng. Sebagian kawasan berada di Kotamadya Manado dan lainnya di Kabupaten Minahasa.

Tak ada peningkatan status atau hal yang istimewa dari perubahan, selain faktor adanya para pemanfaat sumberdaya alam di laut Bunaken dan sekitarnya. Dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budi daya. Sedangkan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan Kawasan Pelestarian Alam, disebutkan bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya (Sembiring, 1999). Karena itu, perlu dijaga keutuhan dan kelestarian fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Kawasan suaka alam terdiri dari kawasan cagar alam dan suaka margasatwa. Sedangkan kawasan pelestarian alam mencakup taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.5

Dengan perubahan status dan fungsi, bukan berarti mulus sudah lokasi ini sebagai kawasan konservasi. Antara Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan masih terjadi tarik-menarik. Pemda menginginkan Bunaken sebagai kawasan wisata saja. Ini berlangsung terus, meski krisis ekonomi dan moneter menerpa negeri ini tahun 1997. Krisis multidimensi membawa pengaruh yang besar dalam kawasan. Kegiatan pengeboman dan peracunan ikan terjadi di beberapa tempat di kawasan TN Bunaken.

Apalagi, ada berbagai kepentingan baik instansi dan pengusaha di TN Bunaken. Antara lain, pemerintah kota Manado dan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten Minahasa dan Balai TN Bunaken. Kemudian para pengusaha jasa wisata selam dan organisasi lainnya.

Sejak menjadi kawasan taman nasional, Bunaken, banyak menjadi polemik dan menimbulkan kontroversi dalam pengelolaannya. Kawasan yang banyak menarik turis asing untuk melakukan rekreasi bawah laut ini menjadi rebutan antara Pemda Sulawesi Utara dan Departemen Kehutanan. Pada awal tahun 1990-an bahkan Pemda menginginkan penduduk di dalam kawasan Bunaken dipindahkan. Keinginan Pemda ini mendapat tentangan keras dari pemerhati lingkungan, terutama dari Forum Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Utara.

Konsultan NRM, Jill Belsky yang melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Bunaken6 mengungkapkan bahwa banyak penduduk kepulauan mendengar Gubernur Sulawesi Utara ingin merelokasi penduduk Pulau Bunaken dan Arakan-Wawotulap. Seorang penduduk Pulau Bunaken menyatakan bahwa rencananya mereka akan dipindahkan ke Gorontalo dan warga sepakat menolak.

Akibat adanya isu pemindahan penduduk, menurut Kepala Urusan Pemerintahan Desa Alungbanua Yunus Kasehung, menimbulkan keresahan masyarakat di Pulau Bunaken. Pembangunan di desa terhambat karena keragu-raguan dalam mengembangkan kehidupan. Kerugian sosial akibat rencana tersebut sangat besar.














Catatan Bab 2

1 Menurut tua-tua kampung, pemukiman warga Manado Tua sekarang ini bukanlah tempat yang dulunya ditempati Kerajaan Bawontehu. Pemukiman kerajaan ini berada agak ke bukit yang terlindung dengan pepohonan. Pemukiman di bukit ini untuk menghindari serangan-serangan perompak laut, seperti dari Kepulauan Sulu dan Mindanao, Filipina. Dalam Disertasi Doktor Prof. Geraldine Manoppo-Watupongoh menyebutkan bahwa Manado Tua ini sudah dikenal sejak tahun 1514. Hal ini dijelaskan dalam buku Beschrijving der Moluccas, Jilid I, Buku II tahun 1724 yang ditulis Valentijin. Pulau itu disebut Manadu dalam peta Nicolaas Desliens. Sesudah tahun 1682, pulau kecil itu dikenal dengan nama Manado Tua. Sebutan ini muncul setelah daratan Wenang di Minahasa yang berhadapan dengan Pulau Manado Tua berubah menjadi Manado. Penduduk pulau ini disebut “orang dari kejauhan” atau dalam bahasa Tombulu’ (salah satu sub etnis Minahasa) mana’undou. Sebutan itu kemudian menjadi manadu oleh karena ucapan orang Eropa pertama.

2 Lihat Report IUCN/WWF no. project 3108, Marine Conservation, Bogor, February 1984. Awal 1980-an Rodney V. Salm juga telah meneliti di kawasan Bunaken.

3 Lihat Marine Conservation Data Atlas, diajukan Rodney V. Salm dan Matheus Halim untuk Direktorat Jenderal PHPA, Juli 1984.

4 Lihat Lestari, dengan judul Zona Tabungan, Modal Hidup Keberlanjutan. Edisi Sabtu 30 Agustus 2003. Lestari diterbitkan atas kerjasama Harian Manado Post dan program NRM/EPIQ. Edisi Lestari ini semacam sisipan di Manado Post. Sebelum menjadi team leader NRM di Sulawesi Utara, Mark Erdmann adalah penasehat kawasan perlindungan laut.

5 Ada salah penempatan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dalam Sulaiman N. Sembiring dkk (1999) buku Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia; Menuju pengembangan desentralisasi dan peningkatan peran serta masyarakat, yang diterbitkan ICEL-NRM-II/USAID. Di halaman 30, disebutkan bahwa terdapat beberapa jenis kawasan konservasi yang memiliki fungsi sangat strategis dan perlu untuk dilindungi seperti kawasan pelestarian alam (terdiri dari kawasan cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan suaka alam (yang mencakup taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam). Seharusnya kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa, sedangkan kawasan pelestarian alam mencakup taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.

6 Baca Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat di Taman Nasional Bunaken, rekomendasi pelibatan masyarakat setempat (NRMP, Oktober 1993). ARD – USAID, Jkt. Laporan nomor 14, diterjemahkan penasehat pengembangan masyarakat Taman Nasional Bunaken Arief Wicaksono. Dr. Jill Belsky, melakukan survei tahun 1992 di kawasan TN Bunaken. Tujuan utama survei adalah menyajikan data sosial ekonomi yang esensial tentang masyarakat setempat dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan Taman Nasional Bunaken. Asumsi pemandu dalam survei tersebut, pada poin empat menyebutkan bahwa pelarangan pemanfaatan sumberdaya untuk tujuan pelestarian dengan melibatkan strategi penegakkan hukum sangat tidak efektif. Pada poin lima, rencana relokasi penduduk sangat tidak disarankan karena mahalnya biaya, tingkat penolakan yang tinggi, serta berpotensi menciptakan perubahan besar-besaran dalam profil sosial dan ekologis, baik di daerah yang ditinggalkan maupun di tempat pemukiman baru: Rencana pemindahan penduduk di kawasan Bunaken, juga sering disorot melalui pemberitaan di media cetak yang terbit di Manado. Saat pertemuan Dengan Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja tahun 1993, Pemda Sulawesi Utara telah membuat Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, yang antara lain menginginkan adanya pemindahan penduduk dari kawasan TN Bunaken. Alasannya, pemerintah dan pihak swasta ingin memberikan nilai tambah agar kawasan lebih mudah dikelola dan dipantau kelestariannya. Selain itu, berkembang pula isu swastanisasi (penyewaan) Bunaken yang dilakukan pemerintah daerah kepada pengusaha di Manado. Pengusaha ini dapat mengelola Pantai Liang di Pulau Bunaken untuk pengembangan wisatanya dengan membayar Rp 37,5 juta per tahun kepada pemerintah daerah.

No comments: