Saturday, February 24, 2007

Bab 8. Multipihak

Sebelum Dewan Pengelolaan (DP) TN Bunaken terbentuk, NRMP telah memformulasikan dalam Rencana Pengelolaan TN Bunaken sebuah Forum Koordinasi. Tapi, Forum Koordinasi ini tidak berjalan efektif. Kepala Bappeda Sulut W. Punuh juga pernah menyampaikan bahwa Forum Koordinasi ini tidak memiliki kewenangan dan power yang kuat. Apalagi, dengan usulan bahwa PHPA hanya berperan sebagai fasilitator, sifat Forum akan lemah. Karena itu, diusulkan ada sebuah Badan Koordinasi.1

Dibentuknya Dewan Pengelolaan (DP) Taman Nasional Bunaken karena selama 10 tahun terakhir, upaya pengelolaan TN Bunaken melalui pendekatan sentralistis kenyataannya jauh dari harapan kita (Sondakh, 2000).2 Menurut Sondakh, dengan kemampuan pendanaan dan kapasitasnya belum mampu mempertahankan kelestarian, dan malah justru menunjukkan penurunan kualitas lingkungan, akibat pengelolaan yang kurang memperhatikan masalah konservasi.

Perhatian Gubernur Sondakh untuk pengelolaan TN Bunaken ini sangat menonjol sejak bulan September hingga Desember 2000. Hasil evaluasi dan kajian, serta masukan-masukan para ahli, kondisi dan keberadaan TN Bunaken disebabkan pelaksanaan kegiatan pelestarian, pengamanan dan penyusunan rencana pengelolaannya kurang, bahkan tidak melibatkan langsung masyarakat yang ada didalam maupun sekitar TN Bunaken.3

Dominggus, dkk (2001) mengemukakan bahwa secara defakto Balai TN Bunaken sebagai instansi teknis yang mengelola tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan dalam kawasan TN Bunaken.4 Terdapat beberapa pihak yang berkepentingan, antara lain: Dinas Pariwisata, Dinas Perikanan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah, Dinas Tata Kota, Satuan Polisi Air dan Udara, pengusaha wisata, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat di dalam kawasan TN Bunaken.

Karena itu, dalam lokakarya multi-stakeholders management TN Bunaken sebagai alternatif solusi pengelolaan taman nasional di era otonomi daerah, wadah Dewan Pengelolaan makin diperkuat. Apalagi, seperti dikatakan Protected Area and Forestry Management Advisor NRM/EPIQ Reed Merrill, Dewan Pengelolaan TN Bunaken adalah contoh penting bagi sistem desentralisasi pengelolaan taman nasional. Dewan ini tidak megambil alih fungsi Balai TN Bunaken, tapi mendukung pengelolaan yang dilakukan oleh Balai TN Bunaken.5

Dalam konteks pendekatan baru multi stakeholders yang difasilitasi NRM-II, Lowe menguraikan bahwa kegiatan dimulai dengan membangun kerja sama pengusaha jasa wisata selam yang usahanya tergantung pada kesehatan terumbu karang. Sebelumnya kegiatan dilakukan secara sukarela dengan bekerja sama dengan Kelola. Intervensi kelompok ini dengan mengambil posisi kerja-kerja formal dalam proyek NRM-II. Adapun NSWA didirikan oleh pengusaha bisnis lokal untuk memfasilitasi tujuan konservasi dan pariwisata di TN. Kegiatan proyek NRM-II antara lain dengan membuat pengusaha sadar akan dampak ekologi kawasan taman nasional. Proyek berusaha meyakinkan para pengusaha untuk turut “berkongsi” dalam model multipihak ini.

Dewan Pengelolaan sebagai wadah bersama pemangku kepentingan yang memiliki kewenangan secara langsung maupun tidak langsung melakukan kerjasama memperkuat pengelolaan TN Bunaken sehingga dapat memberikan manfaat secara berlanjut.

Prinsip-prinsip Dewan Pengelolaan
- Mendukung fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada dan berkembang di tengah masyarakat.
- Mendukung dana pengelolaan yang sudah ada
- Terbuka/transparan
- Menekankan pola kemitraan dan partisipasi
- Pertanggungjawaban publik dalam pengelolaan dan keuangan.
- Memperkuat dan mengakomodasi kepedulian dan kerjasama antara pemangku kepentingan
- Bersifat fleksibel dan dinamis
- Kesetaraan antara pemangku kepentingan

Pada tanggal 12 Desember 2002, Gubernur Sulawesi Utara menandatangani Surat Keputusan bernomor 233 tahun 2000, tentang pembentukan Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, dengan struktur sebagai berikut:

Ketua: Wakil Gubernur Sulawesi Utara
Wakil Ketua: Ketua Asosiasi Pengusaha Wisata Bahari Sulawesi Utara
Sekretaris: Ketua Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken
Anggota:
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sulawesi Utara
Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Utara
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Utara
Kepala Balai Taman Nasional Bunaken
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Minahasa
Kepala Bagian Lingkungan Hidup Manado
Walhi Sulawesi Utara
Empat wakil dari Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken.6

Di dalam Dewan Pengelolaan terdapat lima wakil masyarakat dalam kawasan TN Bunaken. Wakil masyarakat ini adalah mereka yang masuk dalam Forum Masyarakat Peduli (FMP) TN Bunaken. Forum ini terbentuk tanggal 14 Oktober tahun 2000 di Pantai Liang, Pulau Bunaken, saat semiloka pengelolaan taman nasional yang bertumpu pada dukungan masyarakat.

Sebelumnya, forum ini mulai digagas Yayasan Kendagu U’Ruata dan Badan Pekerja GMIM Wilayah Bunaken. Wakil setiap desa ada dalam forum, yang dibagi tiga rayon: utara, selatan dan pulau-pulau. Setiap rayon memiliki pengurus di tiap-tiap desa, di tiap desa terdapat dua sampai empat koordinator. Forum ini merupakan pembawa aspirasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di TN Bunaken. Fungsi utama forum, mewakili dan mendukung aspirasi masyarakat dalam pengelolaan TN Bunaken, merumuskan kegiatan konservasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat, serta mensosialisasikan kebijakan Dewan Pengelolaan dan instansi lain di TN Bunaken.

Tapi, menurut Frets Pieter, Forum Masyarakat Peduli TN Bunaken ini belum mendapat dukungan sepenuhnya dari warga Desa Bunaken. Apalagi, hasil-hasil pertemuan forum itu tidak disosialisasikan. “Yang mendukung (FMP TN Bunaken) hanya elit-elit di desa,” tutur Pieter.

Hal ini dapat dilihat bila ada masalah di dalam kawasan. Paling banyak kasus-kasus di 23 desa langsung disampaikan atau harus ditangani Dewan Pengelolaan. Hingga akhir 2005, peran Forum Masyarakat Peduli ini belum efektif untuk menjembatani berbagai permasalahan di lapangan.

Belsky (1992) telah menyarankan untuk membentuk komisi peran serta masyarakat di seluruh pulau untuk dilibatkan dalam pembahasan, sasaran, strategi, penyebaran informasi dan kegiatan-kegiatan spesifik untuk memaksimalkan dukungan. Komisi disarankan Belsky beranggotakan dua orang wakil setiap pulau dan kawasan pesisir. Wakil-wakil ini merupakan tokoh kunci yang disegani, baik formal dan non formal. Yang perlu diperhatikan, lanjut Belsky, bagaimana mengidentifikasi para tokoh kunci yang mampu terlibat aktif mewakili aspirasi masyarakat dalam pengelolaan TN Bunaken. Ada kemungkinan akan timbul konflik apa bila yang dipilih menjadi tokoh kunci, mengingat kurangnya dukungan masyarakat terhadap mereka di sebagian besar kawasan TN Bunaken.

Menurut Pieter, sebelum FMP TN Bunaken terbentuk, di Desa Bunaken sudah ada Badan Konservasi Desa. Badan konservasi ini telah membuat rencana pengelolaan terumbu karang. Saat ini Badan Konservasi Desa tidak berkegiatan lagi setelah terbentuk FMP TN Bunaken.

Apalagi, setelah FMP TN Bunaken masuk dalam DP TN Bunaken, Badan Konservasi Desa memilih sikap pasif. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Sulawesi Utara, Dewan Pengelolaan merupakan wadah bersama pemerintah provinsi, kota dan kabupaten, Balai TN Bunaken, instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat setempat, sektor bisnis dan akademisi untuk bekerjasama memperkuat pengelolaan TN Bunaken sehingga memberikan manfaat secara berlanjut.

Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nur Mahmudi Ismail, pada tanggal 16 Desember 2000 meresmikan terbentuknya Dewan Pengelolaan ini. Sondakh mengatakan bahwa sistem yang akan dilaksanakan Dewan Pengelolaan TN Bunaken ini akan memberikan hasil yang baik sehingga pada waktu yang akan datang mungkin bisa menjadi model pengelolaan taman nasional di Indonesia, Asia, bahkan internasional.

Tahun pertama Dewan Pengelolaan ini, beberapa lembaga dan pemerintah datang melakukan studi banding. Mereka ini diklaim ingin belajar model pengelolaan ko-manajemen, antara lain Yascita (Taman Nasional Wakatobi), Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan Balikpapan, Kalimantan Timur, Coremap, Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan Papua, Universitas Gadjah Mada, Universitas Newcastle Inggris dan Universitas Origon, Amerika Serikat. Peran Dewan pengelolaan antara lain mengawasi penyelesaian proses revisi zonasi, sistem pengelolaan, patroli bersama dan program peduli konservasi.

Namun, masuknya Walhi Sulawesi Utara dalam Dewan Pengelolaan TN Bunaken ini dipertanyakan mantan Deputi Direktur Walhi Suwiryo Ismail. Seharusnya, menurut Suwiryo, Walhi tidak perlu masuk dalam lembaga tersebut. Belakangan, Walhi Sulawesi Utara menarik diri dari struktur Dewan Pengelolaan TN Bunaken.

Sebelum Walhi Sulawesi Utara keluar dari Dewan Pengelolaan TN Bunaken sempat terjadi polemik antara pengurus Walhi, baik di daerah dan tingkat Eksekutif Nasional di Jakarta. Dengan masuknya Walhi di Dewan Pengelolaan ini seolah-olah menunjukkan bahwa semua organisasi yang tergabung di Walhi mendukung. Padahal, tidaklah demikian. Keluarnya Walhi dari Dewan Pengelolaan TN Bunaken itu dilakukan secara tertulis tahun 2002.

Kontroversi juga muncul di kalangan rakyat menyangkut wakil mereka di DP TN Bunaken. Beberapa warga Bunaken, ketika bertandang ke DPRD Sulawesi Utara meminta agar Dewan Pengelolaan TN Bunaken dibubarkan. Sebab, Dewan dinilai tak memberikan manfaat berarti bagi masyarakat.8

Menurut Pieter, penolakan dan permintaan agar DP TN Bunaken ini dibubarkan karena tindakan inspeksi mendadak yang dilakukan DP di Bunaken. Tim DP ini bersama-sama dengan petugas jagawana TN Bunaken dan Polairud. Tim ini datang pada pertengahan bulan Januari 2004 karena mendapat laporan dari tim patroli. Delapan warga Bunaken, ditangkap dan ditahan tanpa melalui prosedur hukum dan dibawa ke Markas Polairud. Mereka ditahan selama tiga hari. Ini yang menimbulkan konflik dengan DP TN Bunaken.

DP TN Bunaken, Balai TN Bunaken dengan difasilitasi NRM telah menerapkan sistem ko-manajemen. Sistem ko-manajemen ini dengan mengedepankan pengelolaan secara bersama-sama dengan keleluasaan dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemanfaat sumberdaya alam. Ko-manajemen merupakan tempat menyatu dan bekerjasama antara pemanfaat dan pengelola (baca: pemerintah).

Celso Roque,9 menawarkan enam persyaratan dasar ko-manajemen. Pertama, petugas dan agen pemerintah harus mendapatkan sikap dan keterampilan baru, belajar menghormati kebutuhan dan pengetahuan masyarakat setempat dan melihatnya sebagai bagian dari manajemen. Kedua, ko-manajemen membutuhkan pemberdayaan kelompok sosial yang lemah di dalam masyarakat lokal, terutama orang-orang dan perempuan yang tak memiliki lahan.

Ketiga, masyarakat lokal secara keseluruhan harus cukup terorganisir untuk tawar-menawar dengan wakil negara sehubungan dengan keadilan relatif. Keempat, ko-manajemen mengimplikasikan percampuran antara pengetahuan dan teknologi baru dan lama; dan bukan memperlakukan sesuatu secara tradisional atau modern yang pada hakikatnya dapat dianggap superior. Kelima, skema ko-manajemen harus menghasilkan keuntungan ekonomis yang nyata bagi masyarakat dan memenuhi tujuan manajemen negara. Keenam, rezim ko-manajemen harus didukung dengan penugasan yang jelas mengenai tanggung jawab dan hak-hak hukum, termasuk hak tenurial, persetujuan kontraktual, dan proses penyelesaian perselisihan.

Apakah enam persyaratan dasar ini telah dilakukan NRM? Umumnya, dalam manajemen sumberdaya alam, negara menolak untuk mengakui adanya kebutuhan untuk bekerjasama dengan masyarakat lokal. Kalau pun ada kerjasama ini tidak lain lebih pada kepentingan lain: bisnis yang didukung negara. Dan tentunya ini meminggirkan kepentingan rakyat sebagai pemanfaat sumberdaya alam.

Fahmi dan Zakaria (2004) menguraikan bahwa Multi-Stakeholder Processes telah menjadi jalan pintas proses demokratisasi yang dalam situasi tertentu mereduksi peran konstitusional lembaga-lembaga perwakilan yang ada. Dijelaskan bahwa sebagai wahana memperluas partisipasi politik warga dalam proses pengambilan keputusan public, keberadaaan Multi-Stakeholder Processes tentu saja absyah dan, untuk sementara, dapat dibenarkan. Namun sebagai arena menegosiasikan kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan, di antara pihak-pihak yang terlibat Multi-Stakeholder Processes masih membawa sejumlah pertanyaan. Dengan demikian Multi-Stakeholder Processes tidak lebih sebagai minus malum atau sebuah pilihan dari sejumlah kemungkinan yang semuanya buruk. Umumnya ini dilakukan secara terpaksa.

Catatan Bab 8

1 Lihat lagi laporan presentasi Rencana Pengelolaan TN Bunaken, 5 Oktober 1995.

2 Adolf Jouke Sondakh, Gubernur Sulawesi Utara saat memberikan sambutan pada acara pemilihan pengurus Dewan Pengelolaan TN Bunaken, Kamis 9 November 2000 di ruang Mapaluse, Kantor Gubernur Sulawesi Utara. Sambutan Gubernur Sulawesi Utara ini terdapat dalam Laporan Teknis Dewan Pengelolaan TN Bunaken: sebuah proses membangun dan memperkuat komitmen pemangku kepentingan terhadap pelestarian TN Bunaken oleh Dominggus, dkk, Maret 2001.
3 Ibid

4 Dominggus, dkk, 2001.
5 Ibid

6 Selain struktur tersebut, Dewan Pengelolaan juga telah memilih salah seorang Direktur Eksekutif DP TNB yang nantinya akan menjalankan roda organisasi semi pemerintah ini. Dari seleksi pencalonan akhirnya telah dijaring dua orang kandidat, masing-masing Dr. Hanny Tioho dan Dr. Rignolda Djamaluddin. Pemilihan dilakukan tahun 2003 melalui beberapa prosedur, termasuk pemaparan visi dan misi dalam menjalankan program di kawasan TN Bunaken. Akhirnya, dalam pemilihan Tioho memperoleh tujuh suara, sedangkan Djamaluddin meraih lima suara. Terdapat tiga suara yang kosong, masing-masing Ketua DP TNB (Wakil Gubernur Sulawesi Utara), Dinas Pariwisata yang tidak hadir saat pemilihan dan satu lagi suara Walhi yang sudah keluar dari DP TN Bunaken. Direktur terpilih tidak langsung menjadi definitif untuk berkegiatan selama dua tahun. Tapi, masih harus menjalani masa percobaan selama enam bulan. Setelah pemilihan Direktur DP TN Bunaken ini, muncul ketidakpuasan terhadap Dewan Pengelolaan di beberapa desa di kawasan TN Bunaken. Selain itu, Direktur DP terpilih juga dianggap tidak mencapai poin yang ditentukan selama masa percobaan. Dijaringlah kembali pemilihan Direktur DP TN Bunaken pada bulan Januari 2004. Terdapat dua kandidat masing-masing Verico Ngangi (Kelola) dan Reinhart Paat (staf Balai TN Bunaken) dalam pemilihan direktur. Akhirnya, Paat terpilih sebagai Direktur Eksekutif. Hanya setahun Paat sebagai Direktur Eksekutif, kembali terjadi perubahan struktur di Dewan Pengelolaan. Paat diganti Boyke Toloh, dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat.

7 Anggota Walhi, antara lain LBH Manado, Kelola, Yayasan Suara Nurani, KSLH Tumou Tou Tomohon, Lembaga Pembedayaan dan Pengembangan Sumberdaya (LP2S), Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Manado, Kelompok Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Tri Prasetya Tomohon, Koffas dan Yayasan Serat.

8 Harian Komentar, 2004, Loc. cit

9 Celsoe Roque, 1994, “Menciptakan Kondisi dan Insentif bagi Pelestarian Keanekaragaman Hayati Lokal,” dalam buku Strategi Keanekaragaman Hayati Global, WRI, IUCN, dan UNEP, diterjemahkan Walhi dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, hlm 94-95

No comments: