Saturday, February 24, 2007

Bab 17. Tantangan Gerakan Lingkungan

Saya teringat dengan kegiatan Forum Kemala 2 tahun 1998 di Manado. Saat sesi tanya jawab dengan wakil yang mempresentasikan arah program USAID, ada aktivis dari Papua yang mengatakan bahwa salah satu program dari USAID adalah komitmen terhadap masalah lingkungan. “Sekarang sedang ramenya masalah PT Freeport yang mayoritas sahamnya terbesar dari Amerika. Bagaimana posisi USAID sekarang dalam melihat masalah ini? Karena kami dengar bahwa LSM yang didanai USAID tidak boleh bicara tentang Freeport, teristimewa yang berkaitan dengan lingkungan,” kata aktivis ini.1

Wouter Sahanaya, dari program Biodiversity USAID menjawab dengan diplomatis bahwa tidak mengetahui hal tersebut. Sahanaya berjanji akan bertanya kepada teman-temannya di USAID Jakarta. “Karena masalahnya agak kurang jelas untuk saya, jadi saya harus tanya teman-teman USAID yang memberikan dana kepada salah satu LSM yang menangani Freeport di sana,” kata Sahanaya.2

Setahun kemudian, seperti telah dijelaskan di atas, Jatam mempersoalkan perusahaan tambang PT Newmont Minahasa Raya. USAID akhirnya menghentikan kerja sama pendanaan dengan Jatam.

Fauzi dan Zakaria (2000) mengemukakan bahwa masyarakat tercabut dari akar sosial, budaya, ekonomi dan politik lokal dan berubah menjadi budak-budak dari sistem eksternal yang dipaksakan. Salah satu logika globalisasi adalah menghancurkan sistem-sistem lokal dan menggantikannya dengan sistem global sehingga mempermudah ekspansi pasar dan penghisapan sumberdaya lokal.3

Secara umum, menurut Sam Ratu Langie, dasar undang-undang ialah persamaan hak anggota-anggota sesuatu bangsa. Tapi, asas seperti ini tak berlaku bagi perjanjian-perjanjian internasional. Dalam perjanjian-perjanjian internasional, hubungan kekuasaan timbal balik --baik dari sudut pandang ekonomi mapun kemiliteran—merupakan suatu faktor penentu bagi penetapan hubungan antara satu pihak dan pihak yang lain. Si lemah senantiasa merupakan pihak yang menderita.4

Pokok-pokok pendirian neoliberal, menurut Fakih, meliputi beberapa hal. Salah satunya, hapuskan “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat tradisional. Sebab, paham kesejahteraan dan kepemilikan bersama ini akan menghalangi pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut adalah serahkan “manajemen” sumberdaya alam pada ahlinya, dan bukan kepada masyarakat tradisional (sebutan bagi masyarakat adat) yang dianggap tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien dan efektif.5 Fakih (2002) menguraikan bahwa, globalisasi bagi banyak masyarakat adat di negara-negara Selatan hanyalah merupakan sistem tata dunia baru yang kejam, yang dipaksakan dan dilanggengkan melalui kekerasan. Kekerasan terhadap masyarakat adat terjadi di mana-mana dengan jalan kekuasaan untuk mendapatkan sumberdaya alam.

Globalisasi sebagai kelanjutan neokolonialisme ditandai dengan liberalisasi di segala bidang yang mulai dilancarkan sejak pemberlakuan secara global mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan perdagangan bebas.6 Ini diawali dengan GATT (General Agreement on Tariff and Trade), lalu dibentuklah organisasi pengawasan perdagangan yang dikenal dengan WTO. Di tingkat global WTO dan lebih kecil lagi ada APEC, AFTA, Sijori (Singapura, Johor dan Riau), BIMP-EAGA (Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipines-East Asean Growth Area) dan AIDA (Australia-Indonesia Development Agreement).

Bahkan kawasan pusat pertumbuhan ekonomi seperti Otorita Batam, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) dan Otorita Teluk Tomini yang sedang dirancang untuk dibentuk. Kapet diresmikan Presiden B.J. Habibie tanggal 26 September 1998 di Manado. Kapet ini berada di (1) Manado-Bitung, Sulawesi Utara, (2) Sasamba, Kalimantan Timur, (3) Batu Ulin, Kalimantan Selatan, (4) Mbay, Nusa Tenggara Timur dan (5) Sabang, Aceh.

Ekonom di Sulawesi Utara ada yang begitu antusias era perdagangan bebas ini. Mereka menyokong aturan-aturan yang telah disepakati dalam upaya memasuki era liberalisasi perdagangan dan informasi. Misalnya, dengan mengoptimalkan Kapet Manado-Bitung, melalui fungsi Bandara Sam Ratulangi dan Pelabuhan Samudera Bitung sebagai salah satu gerbang pengembangan ekspor di kawasan timur Indonesia bagian utara. Selain itu, di tingkat pemerintah daerah ada pula penandatanganan MOU Sister City-Regency Cooperation antara Pemda Kabupaten Sangihe dan Pemerintah General Santos. Kerjasama ini dalam bidang perikanan, sumberdaya kelautan, perdagangan, pertanian dan perkebunan, kebudayaan dan pariwisata, serta pendidikan dan teknologi. Di Kota Bitung pemerintah setempat juga memperjuangkan Free Trade Zone- Free Port (FTZ-FP). Hal ini telah diusulkan ke DPR-RI melalui Panitia Khusus RUU FTZ-FP, Maret 2004.

Sebelumnya, September 2002, sempat mencuat isu adanya kerjasama Pemerintah Kota Bitung dengan investor Amerika yang akan membangun pangkalan militer di Pelabuhan Samudera Bitung. Belakangan, setelah muncul kontroversi pangkalan militer itu diralat. Kerjasama yang dirintis berupa pembangunan dok komersial senilai Rp 3 triliun. Fasilitas perbaikan kapal ini akan melayani kapal sipil dan militer. Rencana tersebut telah dimulai dengan melakukan penandatanganan kerjasama antara investor Amerika dengan Pemerintah kota Bitung.

Pemerintah se-provinsi di Pulau Sulawesi pun telah merintis kerjasama lintas negara dengan sejumlah provinsi di Filipina Selatan. Hal ini diprakarsai oleh Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad sebagai Ketua Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS) yang telah memboyong para pengusaha datang ke Filipina Selatan. Pemerintah se Sulawesi juga memiliki komitmen untuk merumuskan tata ruang bersama yang mampu membuka akses semua daerah dengan pusat-pusat ekonomi regional dan global

Secara moral, menurut J. Kaloh (2002), globalisasi dapat merupakan bentuk eksploitasi dari negara yang kuat terhadap negara-negara yang lemah.7 Globalisasi juga dapat menciptakan ketidakseimbangan ekonomi dan merupakan suatu pemborosan terhadap negara dan masyarakat yang dikuasai oleh negara-negara maju yang menguasai teknologi. Dari segi sosial, Kaloh mengemukakan bahwa globalisasi dapat merupakan suatu bentuk yang dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial karena perbedaan antara yang punya dan tidak punya akan semakin lebar, sehingga dapat menimbulkan ketegangan sosial yang semakin ekslusif.

Sangkoyo (2004) mengatakan bahwa seluruh pengalaman rakyat Kepulauan Indonesia dengan rezim Suharto dapat kita lihat sebagai proses belajar yang disponsori oleh negara-negara alumni Perang Dunia II, pendukung rezim. Sebagai akibat langsung dari praktek pengelolaan politik dan ekonomi selama tiga dekade, proses pancarian ruh yang berlangsung sesudahnya sampai sampai saat ini beserta gangguan sistematis terhadapnya lewat sektor keuangan tidak bisa dianggap sebagai transisi ‘demokrasi’, karena demokrasi Pancasila Orde Baru maupun rezim pengelolanya adalah anak asuh demokrasi liberal. Kurikulum ‘transisi menuju demokrasi itu’ sendiri dalam kenyataannya didominasi oleh tema ‘transisi menuju moneta-kresi’ atau kekaisaran uang, serta transformasi lanjut dari apparatus kenegaraan untuk sepenuhnya menjadi pelancar proses kapital. Seperti kita tahu, sponsor dan kasir lapangan dari rezim Orde Baru dan rezim-rezim ‘transisionil’ sesudahnya, terutama adalah Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), serta kantor-kantor keuangan bilateral dan multinasional lainnya.8

Lebih lanjut, Sangkoyo menguraikan bahwa penundaan demokratisasi sejak beroperasinya rezim Suharto, dalam pembelaan dari para penyokong model pembangunan dan modernisasi adalah harga yang harus kita bayar untuk kemajuan dalam infrastruktur sosial dan industri. Tidak pernah ada pernyataan resmi dari para sponsor internasional dari pembangunan gaya Suharto, bahwa kemajuan ekonomi yang disebut-sebut itulah yang seharusnya digugat.9

Mengapa? Sebab, gaya Suharto inilah yang telah melanggengkan watak kapitalistik. Dalam kasus tambang skala besar. Amerika (baca: USAID) memberikan dana pengelolaan lingkungan hidup atau pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam, tapi jangan mengkampanyekan atau mengadvokasi kerusakan yang diakibatkan beroperasinya perusahaan asal Amerika, semisal Newmont dan Freeport McMoran.

Jadi, pembangunan gaya Suharto dan akumulasi kapital Amerika seperti dua sisi mata uang. Suharto tidak ingin keluarganya diusik, begitu juga dengan juru bayar lapangan (kasir) lembaga donor (seperti USAID) tidak mau perusahaan Amerika dipersoalkan pelanggaran hak asasi manusia atau lingkungan.

George Junus Adicondro (2001) menguraikan bahwa usaha bersama antara “perusahaan-perusahaan yang terkait dengan oligarki Suharto dan kekuasaan Amerika Serikat” dengan perusahaan pertambangan Amerika Serikat sangat tebal diwarnai korupsi dan praktik perdagangan yang tidak jujur.10 Perusahaan pertambangan raksasa berbasis di Amerika, Freeport McMoran, juga menghadapi kritik kuat karena catatan hak asasi dan lingkungannya sangat buruk di Papua Barat.11

Beberapa menteri di masa Abdurrahman Wahid, meminta peninjauan atas Kontrak Karya dengan Freeport ini. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengancam menutup pertambangan itu karena dampak lingkungannya. Segera saja muncul koor protes dari Duta Besar AS di Jakarta, yang juga salah satu pemegang saham Freeport, Hendry Kissinger yang juga pelobi kuat untuk banyak perusahaan besar Amerika. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pada tingkatan tertentu, stabilitas kepentingan bisnis keluarga Suharto terletak pada usaha bersama mereka dengan perusahaan-perusahaan kuat Amerika Serikat, yang bisa melakukan tekanan terhadap pemerintah Indonesia melalui saluran formal dan informal.12

Juru bicara lapangan dari berbagai sindikat rentenir internasional untuk negara Indonesia, maupun kelompok-kelompok anjing-pengawas untuk pemerintahan yang bersih dan benar selalu menekankan prosedur-prosedur politik yang harus dikoreksi, tetapi hampir tak satu pun berbicara tentang keadilan sosial-ekologis untuk kepulauan sebagai syarat dan tujuan utama dari pengelolaan ekonomi makro.13

Menurut Fakih (2002) tantangan gerakan lingkungan terhadap neoliberalisme sudah lama berkembang. Meskipun tidak semua gerakan lingkungan anti neoliberalisme, namun berkembangnya gerakan lingkungan untuk pemberdayaan rakyat (eco-populisme) yang lahir sebagai keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan justru karena hal itu akan menghancurkan kehidupan rakyat makin berkembang.14

Namun, James Petras (2004) menjelaskan bahwa NGO dalam gerakan-gerakan sosial politik, lebih menitikberatkan proyek dan bukannya gerakan. Mereka memobilisasi rakyat berproduksi di sisi marjinal, tetapi tidak menggerakkan mereka untuk berjuang demi mengontrol alat-alat produksi utama kekayaan. Mereka memusatkan perhatian pada pendampingan teknikal finansial proyek dan bukan pada kondisi-kondisi struktural yang terbentuk setiap harinya dalam kehidupan rakyat. NGO juga telah mengkooptasi bahasa-bahasa kaum kiri, antara lain ‘kekuatan popular’’ ‘ pemberdayaan’ , ‘ kesetaraan gender’ , ‘pembangunan berkesinambungan’ , ‘kepemimpinan dari bawah’, dan lain-lain. Masalahnya, istilah-istilah ini telah dikaitkan pada sebuah kerangka kerja mengenai kolaborasi para donor dan agen-agen pemerintah yang mensubordinasi aktivitas praksis menjadi politik-politik non konfrontasional.15

Petras mengingatkan bahwa di permukaan NGO mengkritik negara dengan menggunakan perspektif ‘kiri’ dalam mempertahankan masyarakat sipil, sementara sejatinya (sadar atau tidak) hal itu dilakukan atas nama pasar. Kontra posisi kekuasaan lokal telah dipergunakan untuk menjustifikasi peran NGO sebagai broker antara organisasi-organisasi lokal, donor-donor asing neoliberal (Bank Dunia, Eropa dan Amerika Serikat) dan rezim pasar bebas lokal. Namun, tetap saja, efeknya adalah memperkuat rezim-rezim neoliberal dengan cara memutuskan link antara perjuangan-perjuangan lokal dan organisasi-organisasi lokal dengan gerakan politik nasional dan internasional. NGO membangun jembatan ideologis antara kapitalis berskala kecil dengan penarika keuntungan monopoli dari adanya swastanisasi –semua itu atas nama ‘antistatisme’ dan pembangunan masyarakat sipil.16

Ideologi NGO, kata Petras, lebih mengarah pada minat dana luar negeri serta terpecah-pecah menjadi segerombolan pemohon subsidi eksternal yang saling bersaing. Aksi lokal dengan mengangkat isu besar mengenai sistem sosial dan mengaitkannya dengan kekuatan lokal guna menghadapi negara dan para beking imperialis-nya, agaknya diabaikan.

Bantuan dana NGO mempengaruhi sektor-sektor kecil di dalam masyarakat, menghadirkan kompetisi antar komunitas karena terbatasanya sumberdaya, membangkitkan berbagai perselisihan serta persaingan inter dan intra komunitas, dengan demikian mengikis solidaritas kelas. Hal yang sama juga berlaku di antara kaum profesional: masing-masing menjadikan NGO-nya untuk memperoleh bantuan luar negeri. Mereka bertanding dengan cara menyajikan proposal-proposal yang lebih cocok dibenak para donor asing, sambil tentulah mengklaim bahwa mereka bicara atas nama pengikutnya. Hal yang kemudian menjadi item dominan dalam agenda pendanaan adalah proyek-proyek yang mendukung pembangunan ekonomi selaras dengan ‘pasar bebas’ ketimbang organisasi sosial demi perubahan sosial.17

Catatan Bab 17


1 FPK Sulut dan BSP-Kemala, 1998, Laporan Kegiatan Forum Kemala 2, dengan tema Kedaulatan Rakyat atas Sumberdaya Alam dari Perspektif Krisis yang Melanda Negeri, Hotel Sahid Manado, 28 – 31 Oktober.

2 Ibid

3 Fauzi dan Zakaria, 2000, Loc. cit.

4 Ratu Langie, 1982, Loc. cit.

5 Fakih, 2002, Loc. cit, hlm 191-192

6 Fakih, 2002, Loc. cit

7 J. Kaloh adalah Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.

8 Hendro Sangkoyo, 2004, “Ekonomi Politik Pendanaan Pengerahan Sosial di Indonesia,” dalam Jurnal Wacana, Edisi 16, tahun IV. hlm. 12 - 13

9 Sangkoyo, 2004, Loc. cit.

10 George Junus Adicondro, 2001, Cermin Retak Indonesia, diterbitkan Cermin Yogyakarta, Cetakan pertama, Februari, hlm 77. Lihat juga TEMPO, 1999, dari Skandal ke Skandal, kumpulan tulisan investigasi Majalah Berita Mingguan TEMPO, diterbitkan Pusat Data dan Analisa TEMPO, PT Arsa Perdana, Jakarta, hlm 71-83. Presiden Direktur Freeport James Moffet, dikenal punya hubungan baik dengan para pejabat tinggi Indonesia maupun Washington, Bekas Presiden Suharto adalah rekan golfnya. Sementara itu, Henry Kissinger, bekas Menteri Luar Negeri Amerika yang anggota Dewan Direksi Freeport adalah sobatnya yang kerap naik satu pesawat. Menurut TEMPO, takkala isu kolusi Freeport pecah pada Juli 1998, perusahaan ini adalah entitas bisnis pertama yang menyangkal hubungannya dengan rezim Orde Baru. Adapun lokasi tambang Freeport di Papua Barat, mulai digenjot bulan Maret 1966. Suharto dan Orde Baru mulai menggenjot masuk modal asing dengan berbagai deregulasi baru. Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Sadli mengumumkan pemberian konsesi kepada Freeport McMoran di Papua dengan alasan merekalah satu-satunya yang lebih dulu meminta konsesi di kawasan itu. Kontrak Karya ini lalu ditandatangani tanggal 5 April 1967 dan Freeport ditunjuk menangani kawasan Ertsberg. Ketika Ertsberg –pertambangan tembaga, mulai digali pada 1972, lalu Grasberg— yang kandungan emasnya terbesar di dunia, serta tembaganya nomor tiga di dunia dengan nilai US$ 60 miliar. Temuan emas di Grasberg langsung melejitkan nama Freeport dari sebuah perusahaan penambangan sulfur kelas menengah menjadi raksasa tambang kelas dunia. Tapi, cerita Freeport bukan hanya emas, tembaga, teknologi canggih dan para insinyur asing. Ada juga vegetasi yang rusak, tentara yang menembak penduduk, dan suku-suku asli yang tetap miskin, setelah 30 tahun perusahaan raksasa Amerika itu berada di sana. Masih menurut TEMPO, pada tahun 1973, dua tahun setelah berproduksi, Freeport berhasil mengantongi perolehan bersih US$ 60 juta dari tembaganya. Keuntungan Freeport yang diraup setiap tahun US$ 1,8 miliar.

11 Ibid

12 Ibid

13 Sangkoyo, 2004, Loc. cit

14 Fakih, 2002, Loc. cit.

15 James Petras, 2004, Imperialisme dan NGO-NGO, jurnal WACANA edisi 16 Tahun IV, 2004, hlm 128.

16 Ibid, hlm 125 – 126.

17 Ibid, hlm 129. Pada bagian lain Petras mengemukakan bahwa bukanlah suatu kebetulan ketika NGO telah menjadi dominan di daerah-daerah tertentu, maka aksi-aksi politik kelas yang independen berangsur-angsur luntur, dan neoliberalisme melenggang tak tersaingi. Garis dasarnya adalah bahwa pertumbuhan NGO bertepatan dengan tercurahnya dana di bawa naungan neo-liberalisme dan makin dalamnya jurang kemiskinan di mana-mana. Meskipun terdapat berbagai klaim mengenai kesuksesan-kesuksesan lokal di banyak tempat, kekuatan neoliberalisme secara keseluruhan tetap tegak tak tergoyahkan dan NGO-NGO dengan cepat mencari tempat dalam celah-celah kekuatan tersebut. Seringnya ledakan massa dengan kekerasan yang terjadi di wilayah-wilayah di mana usaha-usaha mikro berada, jelas menyiratkan bahwa ideology itu tidaklah hegemonis dan NGO memang belum dapat menggantikan tempat gerakan-gerakan kelas yang independen, lihat hlm 130-131. Puncaknya, NGO-NGO membantu perkembangan sebuah tipe baru dari kolonialisme dan kebergantungan secara ekonomi dan kultural. Proyek-proyek didesain atau setidak-tidaknya disetujui, berdasarkan garis-garis pedoman dan berbagai prioritas dari pusat bercokolnya kaum imperialis, serta institusi-institusi mereka. Para manajer NGO telah menjadi cakap dalam mendesain proyek-proyek. Mereka mentransmisikan retorika baru tentang ‘identitas’ dan ‘globalisme’ ke dalam gerakan-gerakan populis. Aktivitas dan teks-teks mereka mempromosikan kerjasama internasional, self-help, usaha-usaha mikro dan menempa ikatan-ikatan ideologis dengan kaum neoliberal. Sambil mereka mendorong rakyat masuk dalam ketergantungan ekonomis terhadap donor luar negeri. Setelah satu dekade berlangsungnya aktivitas NGO, para profesional ini telah ‘mendepolitisasi’ seluruh area kehidupan sosial: perempuan, lingkungan dan organisasi-organisasi pemuda, lihat hlm 139.

No comments: