Saturday, February 24, 2007

Pengabaian Keselamatan dan Kesejahteraan Rakyat

Catatan Akhir

Sesungguhnya sengketa hak atas kepemilikan, peruntukkan dan pengelolaan lingkungan alam dalam suatu kawasan, bukanlah suatu gejala baru.1 Kawasan lingkungan alam yang kemudian disebut sebagai sumberdaya alam telah menjadi faktor penting sejak awal perkembangan kapitalisme. Dalam teori ekonomi kapitalis, sumberdaya alam dianggap sebagai salah satu dari tiga faktor produksi utama, selain sumberdaya manusia dan dana.2

Mari kita kembali pada persoalan Bunaken yang dikenal memiliki keindahan bawah laut itu. Di kawasan ini telah ada eksploitasi untuk sektor pariwisata. Memang Bunaken merupakan daya tarik utama untuk pengembangan pariwisata. Lokasi wisata bawah laut, terutama di Pulau Bunaken, sangat dekat dengan Kota Manado. Yang paling banyak menarik minat turis asing datang ke Bunaken adalah komposisi terumbu karang dan asosiasi jenis ikannya. Bangunan terumbu karang didominasi struktur tepian dan penghalang yang menjulang vertikal hingga kedalaman 50 meter. Selain itu terdapat komposisi mangrove dan alang-alang laut (lamun) yang relatif tinggi.

Sondakh (2000) mengemukakan bahwa pentingnya TN Bunaken untuk Sulawesi Utara, baik kelestarian dan kontribusinya terhadap perekonomian melalui pengembangan sektor pariwisata, maka secara bersama-sama kita kembangkan dengan mengedepankan prinsip-prinsip konservasi melalui sistem pengelolaan dan manajemen pengelolaan yang saling menguntungkan.3

Sondakh juga mengutip hasil studi NRM/EPIQ dan LPEM-UI tentang dampak krisis ekonomi di Sulawesi Utara pada tahun 1999, ternyata TN Bunaken mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan daerah Sulawesi Utara, yakni: (1) perikanan tradisional US$ 3,3 juta, (2) perikanan komersil US$ 1,6 juta, (3) rumput laut US$ 3,1 juta, dan (4) jasa penyelaman US$ 3,2 juta.

Bila satu dolar Amerika terhadap rupiah rata-rata Rp 8000 saja, kontribusi dari usaha perikanan dan budidaya rumput laut dapat meraup hasil sekitar Rp 64 miliar, sedangkan jasa penyelaman hanya Rp 25,6 miliar. Tapi, di kawasan TN Bunaken sektor pariwisata yang selalu dikedepankan.

Sebelumnya, pada tahun 1996, melalui studi yang dilakukan di TN Bunaken telah diestimasi keseluruhan manfaat langsung yang didapat oleh nelayan yang bekerja di kawasan TN Bunaken.4 Menurut Efendi, nelayan artisinal dan nelayan komersial skala kecil cukup tergantung pada terumbu karang yang dilindungi di TN Bunaken sebagai tempat penyemaian bibit ikan dan penetasan. Kira-kira 2100 nelayan dan 430 nelayan paruh waktu bermukim di sekitar kawasan TN Bunaken. Nilai ekonomi total dari perikanan bagi penduduk kawasan diperkirakan mencapai US $ 3,8 juta per tahun dan bagi nelayan paruh waktu US$ 330 ribu. Nilai perikanan di TN Bunaken diperkirakan sebesar US$ 6,4 juta jika dihitung pada tingkat provinsi.5

Namun, serangan penyakit pada alga bentik -- yang biasa disebut rumput laut dalam perdagangan—dan banyak dikembangkan di kawasan TN Bunaken, tak mendapat perhatian penuh. Padahal, budidaya ini sebagai tumpuan keluarga di dalam kawasan, terutama di Pulau Nain, Mantehage dan perairan Arakan-Wawontulap. Kerugian akibat serangan penyakit ini diperkirakan setahun mencapai Rp. 1,5 miliar.

Di Pulau Nain serangan penyakit ini menyebabkan batang rumput laut mengalami keputihan. Setelah memutih, rumput laut patah begitu saja. Tumbuhnya ganggang epifit di batang rumput laut mempermudah lumpur melekat sehingga rumput laut terlihat berwarna abu-abu. Nelayan di Rap-rap menyebut penyakit abu-abu. Penyakit ini menyerang seminggu setelah rumput laut dibudidaya. Batang rumput laut itu berubah menjadi putih dan patah. Biasanya, setiap bulan di Pulau Nain menghasilkan sedikitnya 300 ton Eucheuma cotonii. Serangan penyakit menyebabkan hasil E. cotonii hanya 10 ton per bulan.

Lowe (2003) mengemukakan bahwa belum ada jawaban yang jelas apa yang menjadi penyebab rumput laut itu memutih atau apakah ada cara yang mujarab yang mungkin bisa mengobati penyakit itu. Meski ahli biologi memungkinkan didanai oleh proyek NRM untuk melakukan penelitian dan mencari jalan keluar, namun tak satu pun tim NRM (II dan III) melakukan hal tersebut untuk membantu masyarakat.6 Lowe menjelaskan:

“Kegiatan budidaya rumput laut ini menyita banyak waktu dan tenaga. Pertama, rumput laut harus dipelihara dalam ikatan tali yang baik untuk menangani pertumbuhannya. Rumput laut ini memerlukan proses panjang mulai diikatkan pada tali, membuatnya terapung, dan menempatkan stok bibit dalam tali. Rumput laut juga harus dimonitor untuk menghilangkan alga-alga yang mengapung dan membuat tali tetap pada tempatnya. Akhirnya, rumput laut juga memerlukan proses pengeringan dan perlakukan-perlakuan. Satu siklus bisa dihasilkan dari satu sampai tiga bulan tergantung pada jenis rumput laut yang sedang ditanam. Dalam wawancara kami, masyarakat Nain secara eksplisit menyatakan bahwa produksi rumput laut adalah pengganti dari usaha menangkap ikan dan usaha dari laut lainnya. Melihat luasnya cakupan produksi rumput laut di Nain, ini adalah suatu klaim yang kredibel. Pada waktu yang sama, produksi rumput laut memiliki aturan tersendiri yang familiar dan pekerjaan independen sebagaimana menangkap ikan sebagai sesuatu yang menaikkan kehidupan ekonomi. Beberapa orang menyatakan bahwa penangkapan ikan komersial tidak ideal di Nain. Sebab, jarak pulau agak jauh dari Manado. Khususnya menjual ikan basah dan ikan kering (garam) dengan harga yang cocok. Penduduk Nain diwawancarai merasakan mereka mendapatkan banyak keuntungan dari introduksi rumput laut.”

Kasus pulau Nain ini menunjukkan bahwa persepsi dari rakyat setempat malah dianggap menjadi ancaman bagi konservasi. Proyek NRM melihat bahwa rakyat di Nain yang paling merusak di kawasan TN Bunaken. Lowe mengatakan bahwa program konservasi berbasis masyarakat antara lain untuk menggantikan praktek pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Dalam kasus di TN Bunaken, masyarakat lokal telah berpindah dari sebuah ketergantungan pada sesuatu jenis pengambilan hasil laut pada kegiatan lain. Ini berarti akan berkurang nelayan yang melakukan penangkapan ikan yang dengan cara yang merusak, lebih sedikit yang mengumpulkan teripang, siput dan beberapa produk karang, berkurang penangkapan hiu, makin sedikit yang menggunakan jaring. Lowe (2003) kembali menjelaskan:

“Penelitian biofisik yang kami lakukan menunjukkan bahwa karakteristik fisik dari salah satu karang yang kami survei lebih baik dari lokasi lain yang kita amati di taman nasional. Proyek malah menyudutkan masyarakat Nain dengan merepresentasikan mereka sebagai pelaku penangkapan ikan dengan cara yang merusak. Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan mengapa Balai TN Bunaken gagal melihat Nain sebagai suatu keberhasilan. Pertama, di Nain seperti kebanyakan masyarakat lain di taman nasional, terdapat nelayan yang melakukan praktek penangkapan ikan merusak. Ini berarti bahwa menguatkan pendapat sebelumnya bahwa Nain adalah yang paling merusak.

Biocenter dan pendekatan instumen dari proyek NRM telah menunjukkan bahwa tidak seorangpun staf asing dan sedikit staf Indonesia yang memiliki komitmen yang baik untuk masyarakat dan alam. Ini mungkin mengapa aspek “partisipasi” tidak cukup bagi kebutuhan konservasi di dalam kawasan taman nasional. Keahlian staf proyek menunjukkan lebih ke biologi, ekonomi dan manajemen dari pada aspek sosial. Sejalan dengan meningkatnya kritik atas konservasi keanekaragaman hayati, daftar pelanggaran konservasi potensial tidak terbatas sejak manusia mengkonsumsi sumberdaya alam. Dan akhirnya, telah ada sedikit pemberontakan terhadap konservasi di Nain. Dalam penelitian, kami mempelajari pengalaman dari penduduk pulau Nain dengan proyek NRM dan konservasi secara umum.

Kami mendengar korupsi masih mewarnai sistem ini. Selama ini, aliansi antara NRM dan NSWA hanya berhasil menghukum nelayan, mereka nampaknya memiliki kapasitas terbatas untuk menghukum yang memberi dana (backing pelaku perusakan), dan mendukung atau mendapatkan keuntungan dari praktek penangkapan merusak. Lebih-lebih lagi, dalam mengupayakan penguatan sistem pengadilan atas nama terumbu karang, tidak seorangpun yang mendukung proses “pembelaan” bagi seorang tersangka di dalam sistem ini.


Kasus Pulau Nain menunjukkan bahwa pengelola TN Bunaken dan perencana tidak mendefenisikan partisipasi atau fokus pada keuntungan semua masyarakat di kawasan TN Bunaken. Jika staf proyek cenderung melihat masyarakat Nain sebagai musuh konservasi, kemungkinan lain Proyek bisa menggunakan ahli biologi untuk membantu apa yang menjadi penyebab penyakit pada produksi rumput laut. Biaya utama dari paradigma penegakkan hukum yang muncul harus digantikan dengan pendekatan pengamanan yang lebih luas dan partisipasi yang sesungguhnya dari masyarakat Bunaken dalam mendukung kawasan konservasi.”


Apalagi kalau hanya menonjolkan kegiatan di kawasan TN Bunaken hanya untuk pariwisata saja. Ini tak dapat menjadi andalan untuk konstribusi perekonomian. Sudah terbukti bahwa dampak peristiwa WTC di Amerika tahun 2001, bom Bali tahun 2002 dan wabah SARS tahun 2003 telah menurunkan jumlah turis asing ke Indonesia, termasuk Manado. Apalagi, sekitar 80 persen turis asing yang datang ke Sulawesi Utara ini akan ke Bunaken, terutama pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September.

Persoalan genting saat ini, menurut Hendro Sangkoyo,7 bukanlah bagaimana melaksanakan pembangunan atau mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mencapai tingkat seperti sebelum krisis ekonomi, tetapi bagaimana rakyat mengatasi kerusakan pada rombongannya dan pada wilayah hidupnya, dan sekaligus menemukan jalan baru untuk mempertahankan kehidupan yang bermanfaat.

Dietz mengutip pendapat salah seorang guru pendekatan populis Robert Chamber, menuliskan bahwa rakyat yang rentan secara ekologis dan miskin sumberdaya, juga lingkungan di mana mereka hidup membutuhkan bentuk-bentuk baru pembangunan yang memungkinkan mereka mendapatkan suatu kehidupan yang aman dan layak untuk diri dan anak-anak mereka, di tempat mana mereka berada dan menguasai sumberdaya yang ada. Dimulai dengan mendahulukan kepentingan-kepentingan mereka yang paling miskin, serta memampukan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang mereka inginkan dan butuhkan, itulah yang terbaik yang dapat dilayankan oleh mereka sendiri dan oleh pembangunan berkelanjutan.8 Masalah pokok yang tak tergantikan di dalam agenda pengelolaan perubahan pada berbagai aras kelembagaan adalah bagaimana mengawal proses-proses produksi dan konsumsi masyarakat untuk memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat (Sangkoyo, 2001).9 Persyaratan sosial dan ekologis, seperti dikemukakan Sangkoyo, sebagai keadaan kehidupan masyarakat dan keadaan ekosistem setempat yang harus terpenuhi atau berlangsung di sepanjang proses perubahan. Secara skematis persyaratan yang dimaksud di sini mencakup tiga wilayah persyaratan. Persyaratan pertama, keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kedua, produktivitas rakyat dan ketiga, kelangsungan pelayanan alam. Sangkoyo mengatakan bahwa keselamatan rakyat sudah saatnya menjadi salah satu agenda inti dari proses pembaruan ketentuan-ketentuan kenegaraan. Keselamatan rakyat pada skala orang perorang maupun rombongan, tidak pernah kita urus sebagai syarat yang harus dipenuhi dan dijaga dengan baik oleh pengurus negara dan alat-alatnya. Sedangkan kesejahteraan rakyat, meskipun senantiasa menjadi semboyan program, pos anggaran dan indikator, tidak pernah kita urus sebagai syarat dari kerja birokrasi negara.
Perhatian yang berlebihan dalam penegakkan hukum di TN Bunaken yang dilegitimasi NRM, menurut Lowe (2003) telah beralih dari model yang memihak pada kepentingan “masyarakat” ke kepentingan “keamanan.” Sebagaimana dengan banyak donor yang membantu proyek konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia, keadilan lingkungan dan kebutuhan masyarakat dilihat sebagai isu yang terpisah. Tujuan lebih penting mengarah pada pengelolaan keanekaragaman hayati. Bisnis pengusaha jasa wisata selam telah digunakan NRM untuk melindungi kepentingan Proyek.

Bunaken hingga kini masih bisa dinikmati keindahan lautnya karena kondisi perairan di sana dapat mencuci dirinya sendiri. Pola arus dan adanya laut dalam, membuat terumbu karang dan asosiasinya masih berkembang dengan baik. Jadi, bukan sepenuhnya karena adanya proyek-proyek konservasi.

Ikan-ikan yang berseliweran mengikuti pola arus yang membawa sumber makanan. Pola arus dan gelombang ini juga menyuplai plankton baru. Pola gelombang yang dinamis memberikan sumber air segar dan memperlancar proses pertumbuhan karang. Di kawasan TN Bunaken terdapat sedikitnya 300 jenis karang, 2000 jenis ikan karang dan 28 jenis mangrove. Hutan mangrove tersebar di Pulau Mantehage seluas 1000 hektar dan Arakan-Wawontulap 750 hektar. TN Bunaken juga menjadi tempat hidup dan mencari makan duyung satwa laut yang dilindungi, jalur ruaya penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia midas), paus bongkok (Megaptera novae), lumba-lumba. Selain itu menjadi habitat kima dan triton terompet (Charonia tritonis).

Sumberdaya alam laut, baik yang dilindungi undang-undang dan memiliki nilai ekonomis untuk dikonsumsi ini telah lama akrab ditempat mereka berpijak. Rakyat setempat juga paham akan seluk-beluk di kawasan itu. Tak dapat dipungkiri, ada keinginan memperoleh hasil tangkapan ikan dengan cara yang merusak, seperti bom dan racun di dalam kawasan TN Bunaken. Ini merupakan ancaman terhadap syarat kelangsungan pelayanan alam. Begitu juga pengambilan terumbu karang untuk bahan bangunan secara berlebihan.

Dari tahun ke tahun, kegiatan wisata dan rekreasi yang merambah ke lokasi-lokasi tempat nelayan mencari ikan makin meluas. Instruktur selam dari Nusantara Diving Center (NDC), Fery Kamu, mengemukakan bahwa berkembangnya usaha wisata tidak dibarengi kontribusi bagi rakyat di kawasan TN Bunaken. Nelayan dilarang mencari ikan di zona inti dan pariwisata, tapi tidak diberikan alternatif bantuan peralatan untuk menangkap ikan di luar zona yang ada. Sebenarnya, kata Fery, nelayan setempat tidak merusak terumbu karang. Sebab, kalau karang rusak, mereka akan kesulitan mendapat hasil tangkapan ikannya. Begitu juga dengan penyelam. Makin banyak penyelam, keinginan untuk melestarikan terumbu karang juga makin berkembang.

Zona pariwisata alam dan rekreasi, telah merebut ruang nelayan untuk mencari ikan. Hilangnya tempat dan keterbatasan memanfaatkan sumberdaya alam di laut Bunaken ini hanya dihargai dengan sumbangan Rp 8 juta hingga Rp 10 juta per tahun dari hasil penjualan pin dan karcis masuk ke TN Bunaken. Itu pun orang kampung harus membuat proposal untuk kegiatan yang berkaitan dengan konservasi.

Hilangnya ruang nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan ikannya, juga dipahami NRM. Hal ini bisa dilihat dari kajiannya yang menyebutkan bahwa masyarakat dan daerah sekitar kawasan taman nasional menanggung biaya kehilangan kesempatan yang lebih besar untuk pemanfaatan akibat adanya taman nasional.10

Namun, penegakkan hukum dalam perspektif rakyat di kampung saat ini adalah tindakan kekerasan sosial dan lingkungan. Bila nelayan ingin mencari ikan harus menghadapi tim patroli yang terkadang membabi-buta melakukan pelarangan kegiatan di dalam kawasan. Keberadaan masyarakat di dalam kawasan tidak lepas dari interaksi dengan ketersediaan sumberdaya alam. Dengan memakai “seragam” tim patroli yang juga wakil masyarakat setempat telah menjadi alat sebagai tukang larang. Padahal, peran tim patroli ini seharusnya sebagai fasilitator dan tidak harus selalu sebagai penegak hukum.

Yang paling banyak merasakan atas hilangnya ruang tempat mencari ikan ini adalah nelayan di Pulau Bunaken. Di Pulau Bunaken, telah ada sekitar 15 spot penyelaman antara lain di Lekuan 1, Lekuan 2, Lekuan 3, Tanjung Parigi, Fukui, Ron’s poin, Raymond, Tengah, Mandolin. Selain itu, spot penyelaman di Bunaken berada di muka kampung Bunaken, Pangalisang, Sachiko poin, Bunaken Timur dan Meke’s Poin. Di Pulau Siladen spot penyelaman berada di Siladen Selatan (muka kampung) dan Siladen Utara.

Di Pulau Manado Tua, lokasi penyelaman berada di Bualo (muka gereja), Pangalingan dan Tanjung Kopi. Di Pulau Mantehage, spot penyelaman berada di Bango (muka kampung), Gorango dan Barakuda poin. Di Nain lokasi penyelaman di jalan masuk dan batu kapal. Sedangkan di Pulau Sulawesi berada di Molas dan Tanjung Pisok.

Penanganan dengan kekerasan negara lewat tindakan polisionil dan peradilan, maupun pengerahan dana untuk pemecahan teknis, seperti penanaman pohon, telah terbukti tidak mampu menghentikan laju perusakan, apalagi menumbuhkan keinginan rakyat memulihkannya.11 Karena itu, produktivitas rakyat desa harus kembali dipelajari, dibaca dan ditakar dalam bingkai persoalan setempat.

Pendekatan yang diklaim partisipatif melalui keterlibatan wakil masyarakat dalam tim patroli dan forum multipihak di Dewan Pengelolaan yang mengabaikan keselamatan dan kesejahteraan rakyat di dalam kawasan, tidak akan membawa hasil, baik itu untuk memulihkan kerusakan sosial dan ekologis.

Frank Momberg (1994) pernah memfasilitasi pelatihan PRA buat petugas jagawana di TN Bunaken. Harapannya, petugas jagawana dapat berubah dari tukang larang menjadi fasilitator. Sedangkan masyarakat menjadi pengelola, baik melalui pemanfaatan sumberdaya alam dan pengawasannya.12

Krisis ekonomi selama ini telah dijustifikasi memberi dampak buruk pada pola pemanfaatan, antara lain penangkapan ikan dengan bom dan racun di dalam kawasan TN Bunaken. Hal itu memberi legitimasi untuk melakukan patroli 1X24 jam setiap hari, terutama di Pulau Bunaken. Padahal, kawasan Bunaken telah menghadapi degradasi sejak 14 tahun lalu. Larangan-larangan yang tak mendapat dukungan penuh dari masyarakat juga pernah dilakukan di kawasan itu. Pihak Balai TN Bunaken dan NRM/EPIQ hanya menghitung, setelah patroli diberlakukan terjadi peningkatan tutupan terumbu karang di beberapa tempat di kawasan.

Muncul pertanyaan, apakah patroli tersebut juga berdampak pada peningkatan pendapatan dan penghidupan masyarakat, terutama nelayan setempat? Apalagi, saat melakukan kegiatan penelitian atau monitoring dampak tersebut hanya melibatkan Balai TN Bunaken, DP TN Bunaken dan NRM/EPIQ. Dalam patroli, masyarakat dilibatkan, tapi saat pemantauan dan penelitian tidak dilibatkan. Karena itu, masyarakat tidak belajar dari dampak tersebut. Memang di dalam DP TN Bunaken ada wakil masyarakat, tapi ini belum representatif.

Mulanya, sejak patroli diberlakukan di kawasan TN Bunaken, untuk bulan Januari hingga Oktober 2001, kegiatan penegakkan hukum itu berhasil menekan tingkat kerusakan dan menghasilkan kenaikkan tutupan terumbu karang sebesar tujuh persen di Pulau Bunaken. Lalu, tercatat pula angka yang lebih fantastis untuk kenaikkan tutupan terumbu karang hingga bulan September 2002 sebesar 11,20 persen.

Anehnya, naiknya tutupan terumbu karang itu dibarengi dengan kegiatan eco-reef yang difasilitasi NRM. Awalnya, eco-reef dilakukan pada bulan Oktober 2001 di perairan Desa Alungbanua. Sebanyak tujuh buah modul telah ditempatkan untuk rehabilitasi terumbu karang di Pulau Bunaken. Modul itu diklaim telah berhasil menarik ikan dan merekrut karang juvenil. Eco-reef ini tercatat sebagai pilot site yang pertama di dunia.

Bila tutupan terumbu karang meningkat, mengapa ada program eco-reef? Bukankah kegiatan itu menunjukkan bahwa ada kerusakan yang mengkhawatirkan terhadap ekosistem terumbu karang. Setelah disebut sebagai lokasi percontohan pertama di dunia, yang lebih lucu lagi, proyek eco-reef di Pulau Manado Tua telah diklaim lagi sebagai yang terbesar di dunia. Dengan kata lain, kalau program eco-reef itu terbesar di dunia berarti ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan yang besar di lokasi tersebut. Bagaimana dengan patroli penegakkan hukum yang telah diklaim menaikkan tutupan terumbu karang?

Rakyat di kawasan TN Bunaken menghadapi tiga ancaman serius. Pertama, hilangnya ruang mencari ikan di sekitar terumbu karang karena adanya kegiatan pariwisata. Kedua, penangkapan ikan dengan cara yang merusak, seperti bom dan racun. Ketiga, adanya rakit dan rumpon (sarang ikan buatan) yang tak jauh dari lokasi TN Bunaken. Rakit dan rumpon ini telah memutus jalur ruaya ikan. Akibatnya, sebagian besar nelayan yang hanya memiliki perahu londe dan bulotu (perahu tanpa cadik) sulit mendapatkan hasil tangkapan ikan jenis tertentu di laut lepas. Pemanfaatan sumberdaya laut di lokasi yang terbatas perlu dikaji terus-menerus.

Sekarang ini gerakan lingkungan untuk pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat perlu dicurigai karena istilah ini telah direbut pendukung neoliberalisme. Mereka masuk dengan proposal pemberdayaan rakyat, tapi mengabaikan masalah besar yang dihadapi rakyat. Semisal, kegiatan tungku dan tempurung yang difasilitasi NRM-III/EPIQ yang kini tengah membangun basis di 26 kampung di kawasan TN Bunaken dan 21 desa di Likupang. Kegiatan ini dilakukan dengan membentuk jaringan informasi tungku dan arang tempurung di kawasan TN Bunaken dan Likupang.13

Meski telah berkegiatan di Likupang, tim tersebut tak pernah mengusik masalah pipa buangan limbah PT MSM yang akan digelontorkan ke laut. Padahal, yang biasanya lebih dulu terkena dampak limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) adalah ibu-ibu dan anak-anak. Sebab, merekalah yang paling banyak tinggal di kampung.

Kegiatan tungku dan arang tempurung ini dianggap sangat membantu masyarakat dalam mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah dan kayu bakar.14 Dengan demikian, klaim NRM-III bahwa penebangan bakau berkurang bahkan tidak ada. Karena itu, program tungku dan arang tempurung ini sangat besar kontribusinya terhadap konservasi.

Padahal, di lapangan, tidak ada korelasi langsung penggunaan tungku dan arang tempurung ini dengan keperluan bakau untuk kayu bakar dalam skala rumah tangga. Sebab, pemakaian kayu bakau untuk keperluan memasak ini masih sangat kecil. Pemanfaatan bakau di Pulau Mantehage dan Arakan-Wawontulap paling banyak untuk kayu bakar yang dijual ke Manado atau tempat lain. Begitu juga untuk keperluan patok budidaya rumput laut dan proses pengeringan.

Apalagi kegiatan penebangan bakau, terutama kayu bakar yang akan dijual ke Manado, tak hanya melibatkan laki-laki. Perempuan juga ikut sebagai pekerja. Laki-laki mengambil kayu bakau dan ditumpuk di satu tempat yang tidak terjangkau air laut. Lalu, para perempuan (ibu-ibu) yang membelah kayu dan mengikatnya sebagai kayu bakar. Selain itu, di kawasan TN Bunaken, perempuan tidak hanya bekerja di rumah. Mereka ini justru sebagai tulang punggung, terutama dalam pertanian.

Pada akhirnya, pola pemanfaatan di daratan, pesisir dan laut memiliki keterkaitan yang unik. Pelibatan masyarakat di dalam kawasan perlindungan laut mutlak dilakukan, tanpa mengabaikan interaksi yang sudah lama ada.

Dalam syair Rumi:

Lautan Berombak, dan
Tampaklah Kearifan Abadi
Dan suaranya pun berkumandang....
Begitulah ia.
Lautan penuh buih
dan dari tiap-tiap buih ini
Muncul bentuk seperti ini,
Dan bintik itu tak lain sosok seperti itu,
Dan tiap-tiap bintik yang berbentuk jasadi
yang mendengar isyarat dari lautan itu,
Lebur dan kemudian kembali
ke lautan jiwa.....(D 649) 15
Catatan Akhir

1 Fakih, 1998, Loc. Cit

2 Fakih, 1998, Loc. Cit

3 Sondakh, 2000, Loc. Cit

4 Merrill dan Effendi, 2001, Loc. cit

5 Merrill dan Effendi, 2001, Loc. cit

6 Celia Lowe, 2003, Loc. cit.

7 Hendro Sangkoyo, 2001, Pembaruan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ekologis Pengurusan Daerah, Kertas Posisi KPA nomor 008.

8 Dietz, 1998. Loc. Cit

9 Sangkoyo, 2001, Op. Cit

10 Merill dan Effendi, 2001, Op. Cit

11 Sangkoyo, Op. Cit

12 Frank Momberg, konsultan NRM/USAID pernah memberikan pelatihan untuk staf TN Bunaken, melalui metode PRA

13 Maret 2004, NRM-III mulai mengajak tim Swara Parangpuan dalam kegiatan tungku dan arang-tempurung. Kegiatan itu dengan melibatkan sejumlah ibu-ibu.

14 Pembuatan tungku ini dipelajari dua warga TN Bunaken di Pontianak. Lalu, keduanya memberikan pelatihan pembuatan tungku itu kepada warga lainnya. Tujuan pengembangan tungku ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

15 Annemarie Schimmel, 2005, Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, PT Mizan Pustaka.

No comments: