Saturday, February 24, 2007

Bab 9. Pendekatan Partisipatif

Program dengan pendekatan partisipatif sudah menjadi wacana bahkan menjadi istilah yang sering kita dengar dari pemerintah, semi pemerintah dan organisasi non pemerintah. Sebelum era transisi dan otonomi daerah, istilah ini sering kita dengar sebagai peran serta. Tidak ada perbedaan antara partisipasi dan peran serta ini. Sebab partisipasi dapat diartikan turut ambil bagian, peran serta, penggabungan diri dan ikut serta.

Namun, sejauh mana manfaat partisipasi itu dilakukan, terutama untuk mengembalikan kedaulatan rakyat? Mari kita formulasikan partisipasi tersebut sebagai bentuk kekuatan rakyat sesuai dengan kajian Sherry R. Arnstein (Aliadi, 1994).1 Partisipasi menurut Arnstein (1969) adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh.2

Arnstein telah membuat delapan tangga partisipasi. Untuk tangga pertama disebut manipulasi dan kedua, terapi. Kategori manipulasi dan terapi ini bila yang dilakukan dalam bentuk mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua ini Arnstein menganggap itu bukan bentuk partisipasi.

Selanjutnya, tangga ketiga, menyampaikan informasi. Tangga Keempat, konsultasi dan kelima, peredaman kemarahan. Kategori pada tangga ketiga hingga lima ini disebut tingkat tokenisme. Tokenisme yaitu suatu tingkatan peran serta di mana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan.3

Seperti telah disinggung sebelumnya, dalam kegiatan usulan zonasi dari masyarakat di TN Bunaken, terjadi dualisme aturan yang dijalankan Balai TN Bunaken. Pertama dengan menggunakan sistem berdasarkan rencana pengelolaan Taman Nasional Bunaken yang ditetapkan tahun 1996. Kedua, berdasarkan SK Dirjen PHPA nomor 147/Kpts/DJ-VI/1997 tentang zonasi Taman Nasional Bunaken. SK Zonasi Dirjen PHPA ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat untuk usulan zonasi ini sudah didengar. Masyarakat juga telah berpendapat. Tapi, tidak ada jaminan bahwa pendapat dan pengetahuan masyarakat ini dapat diterima pengambil keputusan. Dengan demikian, tingkat partisipasi yang dilakukan untuk kegiatan zonasi yang dilakukan NRMP (tahap I) ini masuk kategori tokenisme.

Menurut Arnstein, jika partisipasi hanya dibatasi pada tingkat tokenisme, maka kecil kemungkinan ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Karena itu, masih ada kategori tangga teratas dalam tingkat kekuasaan di mana rakyat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Untuk tahap ini, tangga keenam disebut kemitraan.Tangga ketujuh, pendelegasian kekuasaan dan kedelapan, pengawasan masyarakat.

Kemitraan yang diklaim telah dilakukan NRM II dan III, antara lain dengan mempertemukan para pemimpin desa di kawasan TN Bunaken, termasuk wakil masyarakat. Di era transisi dan otonomi daerah, masyarakat kembali berpendapat melalui berbagai musyawarah khusus zonasi yang dilakukan NRM. Bahkan, telah ditelorkan Dewan Pengelolaan TN Bunaken, sistem tarif masuk dan patroli di dalam kawasan. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan NRM ini memang partisipatif.

Merrill (2001) mengatakan bahwa tim pengelolaan kawasan lindung dan hutan NRM telah bekerjasama dengan kelompok-kelompok yang berkepentingan, seperti operator selam, masyarakat setempat dan pemerintah daerah untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan kegiatan konservasi di TN Bunaken.4

Tapi, apakah pada tingkat kemitraan rakyat memiliki kemampuan tawar-menawar? Apakah wakil masyarakat yang ada di Forum Masyarakat Peduli TN Bunaken ini benar-benar mewakili aspirasi rakyat dalam kawasan TN Bunaken? Sebab, bila kita melihat komposisi dalam DP TN Bunaken, wakil masyarakat memang memiliki lima kursi atau lima suara. Tapi, dalam struktur itu negara memiliki tujuh kursi.5 Kursi lainnya diisi oleh wakil asosiasi pengusaha wisata bahari, dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat.

Menurut Arnstein pada tingkat ketujuh dan delapan, rakyat non elit memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu objek kebijaksanaan tertentu.6 Dengan ikut sertanya wakil masyarakat setempat dalam tim patroli, FMP Peduli TN Bunaken dan Dewan Pengelolaan TN Bunaken belum tentu rakyat memiliki kedaulatan di tempatnya berpijak. Penangkapan yang dilakukan Tim Patroli dan DP TN Bunaken yang merembes pada aksi unjukrasa dan penolakan, serta permintaan agar DP TN Bunaken dibubarkan menunjukkan ada proses yang keliru.

Penangkapan yang dilakukan tim patroli terhadap nelayan, begitu juga dengan ruang turis untuk menyelam adalah masalah ekonomi. Baik itu ekonomi di tingkat rumah tangga nelayan dan lebih luas lagi bagaimana turis asing dapat menikmati keindahan Bunaken setelah mengeluarkan biaya bepergian dari negaranya.

Terlepas dari retorika partisipasi, Lowe (2003) menguraikan bahwa proyek NRM-II telah menargetkan konservasi keanekaragaman hayati yang mengakibatkan
keuntungan pihak tertentu dibandingkan dengan kepentingan publik itu sendiri. Uang yang dipungut melalui sistem tarif masuk digunakan untuk melindungi kepentingan bisnis perorangan, pengusaha dan bukan rakyat di kawasan TN Bunaken itu sendiri.
Memang ada pemilik bisnis mempekerjakan beberapa penduduk dari TN Bunaken. Namun, umumnya penduduk telah kehilangan akses atas tanah, air tawar, daerah tangkapan ikan dan pertanian.

Dalam pada itu, dari perspektif pengelola TN Bunaken, upaya untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengelolaan taman nasional selama proyek NRM-I masih mengecewakan dan dinilai tidak berhasil. Lowe (2003) mengutip penjelasan Merril menuliskan bahwa NRMP telah membuat banyak langkah positif untuk menyertakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan di kawasan TN Bunaken. Tapi, tidak banyak waktu, visi atau landasan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Level partisipasi yang dicapai adalah penyadaran masyarakat dan konsultasi, koleksi data primer dan zonasi. Partisipasi melalui pertemuan masyarakat dihasilkan dalam konsultasi dengan siapa saja yang masuk didalamnya, tidak selalu menghasilkan apa yang diinginkan. Pada level ini tidak cukup untuk pengelolaan taman nasional. Selain itu, untuk mencapai level partisipasi yang lebih tinggi tidak akan datang hanya melalui pertemuan dengan masyarakat.7

Lebih lanjut, Lowe (2003) mengemukakan bahwa umumnya nilai-nilai yang berguna dari taman nasional melalui pendapatan produksi sosial telah dipindahkan dari masyarakat di kawasan TN Bunaken ke elite Indonesia dan kepentingan bisnis Eropa-Amerika, pariwisata Eropa-Amerika dan proyek NRM. NRM-II telah melanjutkan pekerjaan NRMP dalam tahapan implementasi. Dengan kedatangan NRM-II, setelah Suharto lengser ada perubahan pada beberapa staf lokal dan asing dan proses desentralisasi. Agenda masyarakat melalui proses pengelolaan pesisir secara terpadu di kawasan TN Bunaken juga berubah. Hal ini lantaran arah baru dari lembaga donor dan sebagian karena proses desentralisasi di Indonesia. Level partisipasi telah berubah dan lebih menekankan dengan pengusaha serta operator selam. Dalam perubahan dari pendekatan “masyarakat” ke pendekatan “para pihak” dalam arti pengusaha penyelaman yang investasinya tergantung pada kualitas dari terumbu karang Bunaken ini mulai memainkan posisi penting dalam proses konservasi di kawasan TN Bunaken.8

Untuk lebih mendekatkan kita pada persoalan partisipasi yang diklaim dalam program TN Bunaken, saya meminjam ungkapan yang disampaikan Guru Besar Sri Edi Swasono. Mengapa bangsa ini tidak maju? Ini lantaran kita tidak terpaku pada pendekatan partisipasi. Kita tergila-gila dengan partisipasi, tapi tidak memikirkan apakah itu memang partisipasi atau mobilisasi.9 “Saya ingatkan cultuurstelsel pun adalah partisipasi, rakyat ada di sini,” Swasono mengungkapkan. Begitu juga dengan rodi dan sistem Daendles. Yang tidak dipikirkan di sini adalah emansipasi.

Jadi, menurut Swasono, cultuurstelsel, rodi dan lain-lain adalah partisipasi tanpa emansipasi. Mengapa emansipasi tidak ada, karena kita bicara mengenai kedaulatan rakyat, namun pada akhirnya kita tidak memperhatikan kepentingan rakyat.10 Yang dimaksud dengan emansipasi adalah pembebasan diri dari perbudakan atau gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, hak dan kewajiban dalam hukum.

Cultuurstelsel ini mengingatkan kita pada sistem tanam paksa di masa kolonial Belanda. Apa saja yang dibutuhkan Belanda, rakyat harus mengikuti dan menanam komoditi tersebut. Sistem cultuurstelsel ini dibawa Johannes van den Bosch pada tahun 1780-1844. Sistem ini tidak menguntungkan rakyat, tapi bagi tuan tanah dan pejabat yang tentunya memihak pada Belanda. Hal ini menimbulkan dendam dan perlawanan rakyat. Begitu pula dengan rodi yang merupakan kerja paksa atau kerja yang wajib dilakukan rakyat. Sedangkan Daendels, mengingatkan kita pada Marsekal Herman Willem Daendels (1808-1811), seorang Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Daendles telah membentuk tentara yang sebagian adalah orang Indonesia.

Hendro Sangkoyo (2004) mengatakan bahwa sejak pengurusan produksi ekspor di tangan VOC beralih-rupa menjadi pengerahan politik lewat negara Hindia Belanda di awal abad ke-XIX, pulau-pulau ‘India Timur’ terus menerus mengalami pembongkaran hasil bumi besar-besaran. Perluasan kebun-kebun bahan industri ekspor dan perluasan ladang-ladang pakan penduduk berlangsung bukan untuk mempertahankan syarat hidup rakyat dengan tumbuhnya populasi, tapi justru untuk melancarkan produksi, distribusi dan konsumsi di wilayah imperium pemilik modal.11 Lahirnya tradisi untuk mengeruk apa yang bisa dikeruk dari tiap pulau dan menghisap apa yang bisa dihisap dari penduduknya dapat dikatakan sebagai kelahiran krisis sosial ekologis yang meluas sekarang ini.12

Dalam konteks kawasan TN Bunaken, kita dapat melihat pengembangan pariwisata sebagai objek yang menyingkirkan ruang nelayan untuk mencari ikan. Memang ada rakyat yang datang setiap kali musyawarah untuk membahas zonasi ini dilakukan. Tapi, apakah ini mobilisasi atau benar-benar keinginannya untuk memikirkan masa depannya?

Hal yang sama dapat dilihat pada tim patroli yang menggabungkan wakil masyarakat di dalamnya. Mereka ini menjadi kontra produktif karena lebih bersikap sebagai petugas yang tukang larang. Kalau ada nelayan yang melewati batas zonasi –yang memang tidak jelas tata batasnya di lapangan— langsung ditindak. Tapi, jarang sekali terdengar ada tim patroli yang menindak operator perahu penyelaman yang membuang jangkar seenaknya. Padahal, sekali mereka membuang jangkar, karang bercabang banyak yang patah karena ditarik paksa.

Bagi kaum ekopopulis pemecahan masalah adalah melalui teknik PRA. Ini yang sesungguhnya partisipasi yang setara untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Sebab, metode pengkajian atau penaksiran dan perencanaan bersama masyarakat dalam konteks pelestarian alam adalah proses belajar yang terstruktur. Maksudnya, secara bersama-sama mengamati karakteristik sosial dan ekonomi di dalam dan sekitar kawasan konservasi sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.

PRA merupakan metode dan pendekatan belajar mengenai kondisi dan kehidupan bersama. Belajar di sini melingkupi kegiatan analisis dan perencanaan dan tindakan. Prinsip-prinsip PRA ini antara lain, belajar dari masyarakat dan orang luar sebagai fasilitator, saling belajar dan berbagi pengalaman. Selain itu, keterlibatan semua kelompok dalam masyarakat, berlaku santai dan informal, serta menghargai perbedaan dan lain-lain.

Catatan Bab 9

1 Arif Aliadi dkk, 1994, Peranserta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan; Studi di Ujung Kulon Jawa Barat, Tenganan Bali, Krui Lampung, diterbitkan WALHI, cetakan pertama. Hlm. 3-5

2 Ibid

3 Ibid

4 Merrill, 2001, Loc. cit.

5 Yang dimaksud negara antara lain, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Wakil Gubernur Sulawesi Utara), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sulawesi Utara, Dinas Pariwisata Sulawesi Utara, Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Utara, Balai Taman Nasional Bunaken, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Minahasa dan Bagian Lingkungan Hidup Manado.

6 Aliadi, dkk, 1994, Op. cit

7 Celia Lowe, 2003, Loc. cit

8 Celia Lowe, 2003, Loc. cit

9 Sri Edi Swasono, 2001, “Evaluasi Kebijakan-kebijakan Makro Ekonomi Rezim Orde Baru dan Kemungkinan Perubahan di Masa Depan”, dalam proseding Rekonstruksi Kebangkrutan Ekonomi Indonesia, Rabu 7 Maret, yang diselenggarakan Forum Kajian Reformasi Total. hlm 22.

10 Ibid

11 Hendro Sangkoyo, 2004, “Pemilu Keselamatan Rakyat dan Keberlanjutan Sumber-sumber Kehidupan.,” Tanar Air edisi 5 Maret 2004, diperoleh dari mailing list Lingkungan@yahoogroups.com.

12 Ibid

No comments: